Guruku : Oemar Bakri dan Ojek
Senin, 15 Januari 2007
Sebuah topik lawas dan sudah sangat bosan untuk dibahas. Namun saya terdorong menulis karena anak-anak kita ini menurut konstitusi kita yang sudah kita sakralkan walau belum diamalkan, UUD 45 mengatakan bahwa kita semua berhak mendapatkan pendidikan.
Belum segunduk perundangan lain yang dibuat dengan lobby-lobby (bukan asinan Medan lobi-lobi) mahal untuk bisa "GOALLLLL" tentang pendidikan.
Lalu toh tetap para Oemar Bakri masih pulang sekolah, nongkrong di mulut gang untuk ngojek.
Tahun-tahun sebelum kiridit motor begitu mudah, sudah jadi cerita zaman baheula, para Oemar Bakri narik becak sepulang mengajar. Apalagi kalau mata pelajaran yang dia jago bukan yang popular alias kering kerontang. Yang jago matematika, aljabar, fisika, masih bisa "narik" dari uang les populernya.
Yang mau saya cerita soal kemauan orang tua memberikan pendidikan bagi anak.
Tiap tahun ajaran baru, jutaan orang tua kaya miskin degdegan tentang SPP, Uang Gedung, dan sejumlah nama uang yang eufimitis kreatif ditelurkan untuk menarik dari kantong ortu-ortu ini.
Yang kaya berusaha mati-matian agar bisa bayar sama dengan si miskin. Jantungnya dukduk mong sebagai permainan negosiasi dan adu pintar teatrikal.
Pada hari negosiasi uang SPP, pemandangan biasa di banyak tempat, mobil Mercedez, BMW nya diparkir jauh dari sekolah, baju pake yang paling kumel, sepatu Bally diganti dengan sepatu sandal Bata kalau perlu sandal jepit pembantu atau pak supir dipinjam dulu.
Jalan kaki panas-panasan ke sekolah biar kringetan, parfum Hugo Boss ga dipake tentu biar bau asem dan bau matahari. Menghiba-hiba minta pembebasan SPP kalau bisa dapat beasiswa malah. Kalau berhasil menjadi sebuah kebanggaan, anak gue sekolah di sekolah favorit dan gue kaga bayar SPP.
Ini kejadian-kejadian benar yang saya tahu dari kawan-kawan lingkungan saya. Betapa bangga mereka bisa ngelecehin panitia penerimaan murid. Belum cerita katabelece dari sana-sini yang beredar cepat seperti planet Mercury di musim SPP ini.
Berapa sih besarnya SPP? Lihat di pasarswalayan.Sekali belanja di supermarket ga pake dilihat lagi totalnya, kartu kredit dihunus dan bayar.
Lantas kenapa untuk pendidikan kita begitu pelit? Lha kalau ntar semua seperti itu bagaimana dengan dunia pendidikan kita? Belum guru-guru selalu submisif terhadap anak-anak dengan duit bergepok di saku untuk jajan.
Anomali masyarakat kita ini aneh. Disatu pihak kita sibuk berkoar-koar menuntut pendidikan yang baik. Semua sepakat 61 tahun kemerdekaan kita sudah menelantarkan pendidikan.Pamor guru tidak seterang pamor keris Nagasasra atau Sabukinten, paling seterang pamor golmin alias golok mintul yang karaten.
Apa kata Anda kalau anak Anda bilang : "Bunda, saya bercita cita jadi guru" di tengah arisan ibu- ibu? Anak diharapkan mengatakan: "Bunda saya kalau udah gede mau jadi tukang insinyur atau dokter"
Mungkin sekarang juga ada yang bangga kalau putra atau putrinya mengatakan "Romo, saya mau jadi bintang sinetron sabun"
Sekolah guru kita kenal namanya IKIP, mungkin tidak banyak yang tahu apa singkatan IKIP itu. Alamak, sekarang rame rame IKIP dijadikan Universitas, seolah IKIP itu kelas bawah dan tidak macho kalau ga jadi Universitas.Tanpa jadi Universitas sendiri, 80% dari lulusan IKIP toh tidak menjadi guru.
Kapan profesi guru itu betul dimuliakan secara kesejahteraan seperti ucapan salah kaprah: "Pahlawan tanpa tanda jasa?"
Besok. Tolong bila Anda ketemu guru anak anda coba pandang dengan penuh perhatian dan kasih sayang. Renungkan apa jadinya anak anda tanpa mereka?
Teddy Halim
Jadi seperti hari ini berkat jasa guru-guruku.