Tiga penyebab kecenderungan kita susah untuk mengalah:
Rintangan ego atau diri sendiri. Secara alamiah kita adalah makhluk yang mementingkan diri sendiri. Maka untuk mengalah yakni mendahulukan kepentingan orang merupakan sesuatu yang melawan kodrat manusiawi kita.
Rintangan orang lain. Kita menginginkan pengakuan dari orang dan sikap mengalah dianggap sebagai kekalahan. Jadi waktu kita mengalah kita berpikir orang melihat kita sebagai orang yang kalah. Akibatnya kita lebih susah untuk mengalah karena kita ingin mendapatkan pengakuan.
Rintangan budaya. Ada budaya-budaya tertentu yang menyuburkan rasa mengalah, jadi yang mulia adalah mengalah. Yang mulia adalah mengesampingkan kepentingan pribadi. Tapi ada budaya-budaya yang justru menyuburkan sikap tidak mengalah, budaya-budaya ini akan berkata kalau mengalah berarti engkau pengecut, orang yang pengecut dikeluarkan dari budayanya. Dari pada dia menanggung malu karena dianggap pengecut akhirnya terpaksalah dia menyuburkan sikap tidak mau mengalah, agar tetap bisa diterima sebagai bagian dari budaya itu.
Pandangan terhadap sikap mengalah berpengaruh besar terhadap keputusan kita bersedia mengalah atau tidak.
Tentang keyakinan, biarlah masing2 individu memilih apa yang diyakininya benar.
Sebagai manusia berkendak bebas, kita menentukan agama apa yang dia akan anut tanpa harus melakukan kekerasan terhadap org lain yang beda keyakinan dengan kita...
Kadang2 agama seakan-akan bukan lagi alat kedamaian umat, tetapi
sudah menjadi ancaman menakutkan. Hal ini dapat
dilihat dari hubungan positif antara praktik beragama
dengan aksi kekerasan yang terjadi akhir-akhir ini.
Sebab, kekerasan yang terjadi belakangan ini
menunjukkan adanya faktor agama sebagai pendorong
kekerasan yang amat efektif, terutama praktik dan
pemahaman beragama yang mengarah sikap fanatisme dan
militansi. Tak heran, agama dianggap punya andil atas
terjadinya kekerasan di Tanah Air. Tetapi juga PEMERSATU BANGSA