Andai kita tahu akan sesuatu yang belum terjadi, pastinya kita akan cermati setiap detik yang mengiringi langkah pergi.
Andai kita tahu akan sesuatu yang akan kita petik di esok hari, pastinya kita akan senantiasa berusaha sekuat tenaga mempersembahkan yang terbaik.
Andai kita tahu akan sesuatu yang indah menanti kita, pastinya kita akan senantiasa berterimakasih dan menerima segala yang telah diberi.
Andai kita tahu, dan sayangnya kita takkan pernah tahu. Mengenai hal-hal yang ghaib, tentunya Allahlah yang lebih mengetahui bila dibandingkan dengan diri kita. Kalaupun ada, itu hanyalah sebatas perkiraan saja, tidak lebih.
Andai kita tahu, dan sayangnya kita takkan pernah tahu.
Maka dari itu Allah memberikan hikmah dari setiap detik yang berlalu, agar kita mempelajarinya. Lebih jauh lagi tentang itu, menjadikan kita lebih mensyukuri terhadap apa-apa yang telah terjadi, menjadikan kita lebih siap, atau bahkan hanya sekedar tersenyum menanggapi hal-hal yang kita anggap biasa.
Andai kita tahu.
Andai kita tahu, dan sayangnya kita takkan pernah tahu.
Kita lebih memikirkan kekecewaan demi kekecewaan kita bila dibandingkan dengan apa yang akan kita raih dengan kita menerimanya sebagai pembelajaran dalam hidup, menuntut sebuah keadaan untuk lebih sempurna dan sesuai dengan harapan serta idealisme. Memaksakan sesuatu dalam hidup, padahal Allahlah yang menentukan semua itu.
Andai kita tahu.
Andai kita tahu, dan sayangnya kita takkan pernah tahu.
Teringat dengan hikmah empat orang manusia dengan sebuah benda di antara mereka, semua melakukan penilaian atas apa yang dilihatnya. Masing-masing dari mereka melihat dari empat posisi, empat sisi yang berbeda. Setelah itu, mereka pun memulai penilaian mereka masing-masing. Sudah dapat ditebak, tak ada satupun penilaian di antara mereka yang sama. Silakan kita mengambil pelajaran dengan contoh demikian.
Andai kita tahu.
Andai kita tahu, dan sayangnya kita takkan pernah tahu.
Mengapa demikian?
Karena kita memiliki keterbatasan dan kita harus sadari itu, dan di antara kita memiliki keterbatasan yang berbeda satu sama lain. Hal ini tidak akan diketahui oleh kita selama kesombongan melekat pada diri kita, sedang orang-orang yang dapat merasakan nikmat adalah mereka yang menerima segala sesuatu dengan sikap bijaksana. Tidak menuntut tetapi tetap berusaha, tidak memaksakan sesuatu sesuai pengharapan kita sebagai sesuatu yang harus terjadi tetapi tetap memiliki pengharapan bahwa esok harus lebih baik lagi.
Mempertahankan kesabaran dalam memaknai segala memang tidak mudah tetapi juga tidak sulit, selama kita mau mawas diri dan berbesar hati dengan segala keterbatasan saudara-saudari kita. Dan, lagi-lagi berpikir positif mengajarkan kita akan sesuatu yang jauh lebih berharga.
Dan semoga kita lebih menghargai diri dan orang lain, dengan memberikan sikap dan ucap yang tepat pada tempatnya. Innallahu 'aliimun hakim, hanya Allahlah yang berhak menyandang predikat demikian.
Wallahu a'lam.
http://www.pks-jaksel.or.id/Article1549.html