DARI langit yang pasi, hujan tiba-tiba turun. Gemuruh petir bersahutan dari jarak yang jauh. Orang-orang yang tengah arak-arakan pun bubar dari barisan. Mereka yang berkebaya dan berdandan dengan riasan lengkap pun berpencar, mencari tempat berteduh. Ada yang masuk ke kandang sapi, ke gubuk di pinggir lapangan, ada juga yang bergerombol masuk rumah penduduk.
SAMBIL menunggu hujan reda, para ibu yang membawa rebana pun bernyanyi menghibur diri. Lebih dari lima lagu mereka nyanyikan dengan gembira. Mereka tertawa-tawa sambil bercanda dan bermusik.
Tidak jauh dari tempat mereka, para lelaki yang membawa dongdang berlindung di bawah atap sebuah bangunan. Dongdang adalah tandu berbentuk rumah yang dihiasi berbagai hasil bumi.
Dongdang-dongdang mereka memikat hati. Bawang, padi, atau daun bawang yang besar-besar dibuat sebagai atap dongdang. Dinding-dindingnya dihiasi tomat, cabai, nanas, rambutan, labu siam, manggis, durian, buah menteng, kacang tanah, dan lainnya.
Hasil bumi mereka segar-segar. Tidak heran kalau orang- orang yang berteduh di tempat itu mencomot sedikit demi sedikit buah-buahan yang terpajang. Hasil bumi itu memperlihatkan kesuburan tanah Kampung Banceuy. Nyanyian dan tawa para ibu menggambarkan keakraban masyarakatnya.
ARAK-arakan merupakan sebagian kecil dari rangkaian acara ngaruat bumi yang diselenggarakan oleh masyarakat Kampung Banceuy, Desa Sanca, Kecamatan Jalancagak, Kabupaten Subang, Jawa Barat.
Ngaruat atau ruwatan adalah upacara tolak bala dan ungkapan rasa syukur terhadap alam. Dalam bahasa Sunda, ruat berarti ’mengumpulkan dan merawat’. Yang dikumpulkan dan dirawat adalah masyarakat dan hasil buminya.
Ruwatan bumi berlangsung pada hari pertama di tahun baru. Masyarakat menggunakan awal tahun dengan patokan penanggalan Jawa. Ruwatan bumi yang dilaksanakan pada tahun 2005 ini merupakan ruwatan ke-205. Upacara ini sudah berlangsung sejak tahun 1800 Masehi.
Ruwatan Bumi di Kampung Banceuy dilakukan setelah terjadi malapetaka sebelum tahun 1800. Saat itu, Kampung Banceuy masih bernama Kampung Negla yang hanya dihuni tujuh keluarga. Saat mereka membuka lahan di kampung itu, angin ribut meluluhlantakkan desa tersebut.
Sejak saat itu, tujuh keluarga di desa itu melaksanakan upacara tolak bala. Tolak bala dipimpin oleh Eyang Ito. Sebelum meninggal, Eyang Ito mengamanatkan agar ruwatan bumi dipimpin oleh keturunannya. Untuk tahun ini, ruwatan dipimpin Mbah Karlan Sastradijaya atau Mbah Ahrub.
Tolak bala dimaksudkan untuk memohon kepada Tuhan agar masyarakat dan alam di kampung itu diberi keselamatan dan kemakmuran. Kampung Negla pun berganti nama menjadi Kampung Banceuy.
BANCEUY berarti ’bermusyawarah’. Itulah yang selalu dilaksanakan masyarakat Banceuy. Untuk persiapan ruwatan, misalnya, warga melakukan musyawarah terlebih dahulu.
Persiapan ruwatan dilakukan selama dua hari. Masyarakat mempersiapkan musyawarah ini dengan kompak. Puluhan perempuan menyiapkan makanan. Mereka bekerja di tiga rumah. Ada yang khusus menanak nasi, membuat kue, dan membuat lauk. Sejak hari kedua mereka sudah datang pagi-pagi untuk memasak. Sebelumnya mereka menyempatkan diri bekerja di sawah.
Para lelaki bertugas mendirikan panggung, membuat pintu hek atau gapura dari daun kawung dan bambu. Sementara para perempuan menyiapkan bumbu, para lelaki menyembelih kerbau di kebun.
Menurut seorang anggota panitia, Atip Tarmo (40), kerbau seberat 123 kilogram dibagi-bagi. Sepertiga dagingnya digunakan untuk menjamu tamu yang datang pada hari ruwatan, sisanya dibagikan pada seluruh masyarakat yang ikut melaksanakan ruwatan. Dari 270 keluarga di kampung itu, ada 120 keluarga yang ikut ruwatan.
Kerbau dibeli dengan harga Rp 4,8 juta. Uang itu dikumpulkan masyarakat selama sebulan. "Sebetulnya terkumpul lebih dari Rp 10 juta," kata Atip. Selain untuk membeli kerbau, uang itu juga dipakai untuk menyewa panggung, membeli bambu, dan membayar grup kesenian yang akan menghibur masyarakat, seperti wayang golek yang didatangkan dari Bandung.
DI sore hari, para sesepuh kampung ngawawar atau menempatkan sesaji di empat penjuru dan di tengah kampung. Mereka juga melakukan shalawatan dan puji-pujian pada Tuhan dan rasul-Nya. Acara hari itu ditutup dengan pagelaran gembyung atau kesenian Sunda yang sarat dengan puji-pujian kepada Tuhan.
Pada hari ketiga, barulah dilaksanakan upacara utama. Diawali dengan numbal atau menyembelih ayam di tengah kampung. Upacara dilanjutkan dengan arak-arakan, nyawer Dewi Sri. Nyawer berarti ’menyawer, menebarkan uang dan beras pada masyarakat’. Sawer dilakukan Mbah Karlan. Saat ia menebarkan uang dan permen, anak-anak pun memburu untuk memungutinya.
Seluruh rangkaian upacara berakhir sekitar pukul 14.00. Meskipun sempat dihambat hujan cukup lebat, masyarakat tidak mengurungkan niat melanjutkan upacara. Saat hujan reda, mereka yang berteduh di kandang sapi, di gubuk-gubuk, maupun di rumah-rumah penduduk berkumpul kembali.
Rombongan berarak-arakan mengelilingi kampung, melintasi tanah gembur yang dilingkupi pepohonan perkebunan. Kopi dan rupa-rupa pohon buah merapat, mengurung huma dan ladang penduduk.
Di jalan-jalan kampung, pohon-pohon manggis, menteng, mangga, rambutan, durian, dan jambu berdiri tegak-tegak dengan buah-buah yang lebat dan ranum.
Selama berkeliling, suara tetabuhan rebana dan kendang bersahut-sahutan diiringi nyanyian para ibu. Dengan riasan yang telah meleleh karena keringat dan air hujan, anak-anak dan orang dewasa berkeliling kampung, mempertontonkan hasil buminya dari tanah yang subur, serta keakraban penduduknya.
Melihat semangat mereka melaksanakan warisan budaya dan penghormatan pada alam, rasanya bumi tidak akan menangis di Kampung Banceuy.