YESUS memulai pewartaanNya dengan sebuah perumpamaan yaitu perumpamaan tentang penabur. Sang Penabur yang diceritakan Yesus ini cukup asing bagi telinga kita, terutama bagi para petani yang biasa menanam padi di Indonesia. Mengapa asing? Karena penabur menaburkan benihnya di sembarang tempat. Apa yang akan terjadi pada benih itu jika ia jatuh tidak pada tempatnya?
Seperti yang digambarkan oleh Yesus ada yang jatuh “di pinggir jalan” maka dapat dipastikan bahwa benih itu tidak akan menghasilkan apa pun. Ia tidak dimakan burung atau akan diinjak-injak. Ada yang jatuh “di tanah yang berbatu-batu” maka dapat dipastikan benih itu akan mati karena kekurangan tanah dan tidak memperoleh cukup makanan untuk hidup. Ada juga yang jatuh “di semak duri” dan “di tanah subur”.
Walau pun ulah Sang Penabur dalam perumpamaan Yesus membuat kita bingung namun makna perumpamaan itu langsung tersingkap. Penulis Injil Matius langsung menyambung kisah perumpamaan ini dengan menerangkan arti dari perumpamaan itu sendiri.
Yang menarik untuk kita refleksikan ialah: Sang Penabur itu menggambarkan Allah yang menabur Sabda. Mengapa menaburnya di sembarang tempat? Dengan kata lain mengapa benih itu tidak langsung ditabur di tanah yang subur karena sudah dapat dipastikan benih-benih itu tidak terbuang percuma. Memang, akan banyak benih yang jatuh sia-sia tetapi penabur tidak peduli. Penabur berani ambil resiko rugi. Mari kita keluar dari pola pikir manusiawi kita dan kembali menyerahkan perhatian kita pada benih dan Penabur. Kedatangan Kristus ke dunia sebagai Sabda Allah dan Penabur Sabda itu sendiri mengandung kosekuensi diterima dan ditolak. Tak sedikit orang yang menolaknya. Itulah “tanah di pinggir jalan, tanah yang berbatu-batu dan tanah di semak duri.” Dan tak sedikit orang-orang menerimaNya. Itulah “tanah yang subur.” Resiko ditolak dan diterima menjadi sebuah jawaban dari benih yang ditabur pada suatu tempat.
Benih-benih yang ditaburkan dimaksudkan untuk tumbuh dan berbuah. Potensi untuk tumbuh dan berbuah sudah ada dalam bibit itu sendiri. Sekarang yang menjadi persoalan ialah bagaimana kondisi tanah untuk mengembangkan potensi tumbuh dan berbuah dari benih itu sendiri. Tuhan masih berharap!!!!
Saudara-saudari terkasih kita sudah mengetahui bahwa Benih dan Penabur ialah Sabda Allah dan Kristus sendiri, kemudian tanah itu siapa? Tanah itu tiada lain ialah manusia itu sendiri. Bagaimana kondisi dari kita yang menjadi tanah bagi benih itu? Tanah yang bagaimana yang ingin kita berikan bagi perkembangan benih itu? Kita tidak perlu melihat atau menilai kondisi tanah yang lain dan ini tidak penting demikian juga orang lain tidak perlu tahu kita masuk kategori tanah yang mana. Dalam hal ini hanya kita sendiri yang dapat mengukurnya.
Untuk mengetahui kondisi tanah, kita dapat dibantu dengan suatu refleksi ketika persoalan hidup menghimpit kita. Lalu bagaimana kita melibatkan Alah atau sejauhmana Allah dilibatkan ketika persoalan-persoalan hidup menghimpit kita? Dan iman kepercayaan kita menjadi sebuah ancaman bagaimana sikap kita. Atau ketika iman kepercayaan menjadi sebuah batu sandungan untuk karier dan kesuksesan kita apa yang kita buat? Hari ini persoalan itu mungkin tidak terjadi dalam hidup kita sehingga kita dapat tertawa dan merasa hal ini terlalu jauh dari kita. Tetapi mungkin ada saatnya bagi kita dimana hal ini terjadi pada kemudian hari adakah kita bernai tertawa dan tertawa yang bagaiman yang kita tunjukkan. Tertawa karena kita tetap pada iman kita atau menertawakan iman kita.**
< YESUS memulai pewartaanNya dengan sebuah perumpamaan yaitu perumpamaan tentang penabur. Sang Penabur yang diceritakan Yesus ini cukup asing bagi telinga kita, terutama bagi para petani yang biasa menanam padi di Indonesia. Mengapa asing? Karena penabur menaburkan benihnya di sembarang tempat. Apa yang akan terjadi pada benih itu jika ia jatuh tidak pada tempatnya?
Seperti yang digambarkan oleh Yesus ada yang jatuh “di pinggir jalan” maka dapat dipastikan bahwa benih itu tidak akan menghasilkan apa pun. Ia tidak dimakan burung atau akan diinjak-injak. Ada yang jatuh “di tanah yang berbatu-batu” maka dapat dipastikan benih itu akan mati karena kekurangan tanah dan tidak memperoleh cukup makanan untuk hidup. Ada juga yang jatuh “di semak duri” dan “di tanah subur”.
Walau pun ulah Sang Penabur dalam perumpamaan Yesus membuat kita bingung namun makna perumpamaan itu langsung tersingkap. Penulis Injil Matius langsung menyambung kisah perumpamaan ini dengan menerangkan arti dari perumpamaan itu sendiri.
Yang menarik untuk kita refleksikan ialah: Sang Penabur itu menggambarkan Allah yang menabur Sabda. Mengapa menaburnya di sembarang tempat? Dengan kata lain mengapa benih itu tidak langsung ditabur di tanah yang subur karena sudah dapat dipastikan benih-benih itu tidak terbuang percuma. Memang, akan banyak benih yang jatuh sia-sia tetapi penabur tidak peduli. Penabur berani ambil resiko rugi. Mari kita keluar dari pola pikir manusiawi kita dan kembali menyerahkan perhatian kita pada benih dan Penabur. Kedatangan Kristus ke dunia sebagai Sabda Allah dan Penabur Sabda itu sendiri mengandung kosekuensi diterima dan ditolak. Tak sedikit orang yang menolaknya. Itulah “tanah di pinggir jalan, tanah yang berbatu-batu dan tanah di semak duri.” Dan tak sedikit orang-orang menerimaNya. Itulah “tanah yang subur.” Resiko ditolak dan diterima menjadi sebuah jawaban dari benih yang ditabur pada suatu tempat.
Benih-benih yang ditaburkan dimaksudkan untuk tumbuh dan berbuah. Potensi untuk tumbuh dan berbuah sudah ada dalam bibit itu sendiri. Sekarang yang menjadi persoalan ialah bagaimana kondisi tanah untuk mengembangkan potensi tumbuh dan berbuah dari benih itu sendiri. Tuhan masih berharap!!!!
Saudara-saudari terkasih kita sudah mengetahui bahwa Benih dan Penabur ialah Sabda Allah dan Kristus sendiri, kemudian tanah itu siapa? Tanah itu tiada lain ialah manusia itu sendiri. Bagaimana kondisi dari kita yang menjadi tanah bagi benih itu? Tanah yang bagaimana yang ingin kita berikan bagi perkembangan benih itu? Kita tidak perlu melihat atau menilai kondisi tanah yang lain dan ini tidak penting demikian juga orang lain tidak perlu tahu kita masuk kategori tanah yang mana. Dalam hal ini hanya kita sendiri yang dapat mengukurnya.
Untuk mengetahui kondisi tanah, kita dapat dibantu dengan suatu refleksi ketika persoalan hidup menghimpit kita. Lalu bagaimana kita melibatkan Alah atau sejauhmana Allah dilibatkan ketika persoalan-persoalan hidup menghimpit kita? Dan iman kepercayaan kita menjadi sebuah ancaman bagaimana sikap kita. Atau ketika iman kepercayaan menjadi sebuah batu sandungan untuk karier dan kesuksesan kita apa yang kita buat? Hari ini persoalan itu mungkin tidak terjadi dalam hidup kita sehingga kita dapat tertawa dan merasa hal ini terlalu jauh dari kita. Tetapi mungkin ada saatnya bagi kita dimana hal ini terjadi pada kemudian hari adakah kita bernai tertawa dan tertawa yang bagaiman yang kita tunjukkan. Tertawa karena kita tetap pada iman kita atau menertawakan iman kita.**
Copas dari :
Oleh : Fr. Petrus Dapet, CP