BERIKANLAH kepada kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah.” Itulah jawaban yang Yesus berikan kepada orang-orang Farisi yang bertanya apakah mereka boleh membayar pajak atau tidak pada kaisar. Jawaban Yesus amat tepat. Ia tidak pernah melarang orang memenuhi kewajibannya kepada negara. Akan tetapi, Yesus juga menuntut orang tidak melupakan kewajibannya terhadap Allah.
Jawaban Yesus merupakan dasar paling hakiki tentang bagaimana Gereja harus bersikap terhadap politik. Gereja Katolik sampai sekarang tetap setia pada amanat Yesus. Gereja Katolik tak merasa perlu untuk bersikap alergi terhadap politik atau berbicara tentang politik. Bahkan Kongregasi Ajaran Iman sebagai organisasi dalam tubuh Gereja Katolik yang bertugas untuk menjaga kemurnian ajaran iman Katolik pernah mengeluarkan dokumen yang mendorong umat Katolik untuk berpartisipasi dalam politik.
Gereja Katolik tidak setuju dengan pernyataan bahwa politik itu kotor. Gereja Katolik justru melihat bahwa yang kotor itu bukan politik dalam arti sesungguhnya melainkan pelaksana politik itu sendiri yang cenderung kotor. Kita harus bisa membedakan antara politik dalam artian hakiki dengan politikus yang sering menyalahgunakan kekuasaan politisnya.
Tujuan politik sejati menurut Gereja Katolik adalah Bonum Commune yang artinya kesejahteraan umum. Maka, panggilan sejati seorang politikus adalah menjadi pelayan dalam mengusahakan kesejahteraan umum tersebut. Kesejahteraan umum harus menjadi cita-cita yang senantiasa dikejar dan diusahakan. Kesejahteraan umum makin mungkin diwujudkan bila lewat politik nilai-nilai seperti keadilan, kemakmuran dan kedamaian terus menerus direalisasikan.
Politik harus berpihak kepada manusia. Kesejahteraan umum tidak berarti harus mengorbankan kebahagiaan tiap-tiap individu. Negara yang baik tidak bisa bersikap bahwa demi kepentingan mayoritas maka hak-hak minoritas itu diinjak-injak. Jika itu terjadi maka bukan kesejahteraan umum yang tercipta melainkan diskriminasi. Politik dari dirinya sendiri tak pernah menjadi tujuan. Politik hanya sebuah instrumental untuk mengangkat kebahagiaan dalam hidup manusia.
Gereja sebagai institusi tentu tak pernah boleh berpolitik praktis. Politik praktis yang dimaksudkan di sini adalah memihak secara praktis kepada salah satu partai. Gereja Katolik adalah institusi yang berdiri di atas semua partai. Gereja tak pernah boleh menjadi alat untuk berkampanye. Gereja terlalu suci untuk dikotorkan oleh kepentingan-kepentingan segolongan orang. Namun, kaum awam Katolik sangat dianjurkan untuk berpolitik. Paus, uskup dan para pastor berharap umatnya mampu memilih tokoh politik yang sungguh-sungguh mau menjadi pelayan sejati yang tak kenal lelah mengusahakan keadilan, kebenaran, kedamaian dan kesejahteraan. Gereja pun tak pernah melarang umatnya untuk meraih jabatan politis sejauh pencapaian itu dilakukan bukan atas nama Gereja tetapi atas nama nilai-nilai yang disebutkan di atas dan berdasarkan keinginan hati nurani pribadi.
Negara Indonesia bukan negara yang berdasarkan atas nama agama tertentu. Indonesia adalah negara yang berdasarkan ideologi Pancasila. Dengan asas negara yang demikian, maka setiap warga negara berhak untuk berpartisipasi dalam politik. Apa pun agama, suku atau bahasanya. Gereja Katolik amat menghormati ideologi Pancasila karena itulah solusi cukup yang mampu menampung pluralitas masyarakat Indonesia. Usaha keras bapa-bapa pendiri bangsa kita dalam merumuskan ideologi ini perlu kita jaga dan tafsirkan secara sehat. Kita semua bersatu padu mempertahankan ideologi ini. Setiap usaha yang ingin meruntuhkan Pancasila merupakan ancaman yang ingin merusak kesatuan, keharmonisan dan kehormatan bangsa.
Tanggal 17 Agustus ini merupakan momentum yang bagus bagi kita untuk mengingat maksud utama para pendiri bangsa ini. Kita telah merdeka dari tangan penjajah asing maka tugas kita adalah menjaga dan memelihara amanat-amanat yang para pendiri wariskan kepada kita. Warisan-warisan itu dirumuskan dengan amat bagus misalnya dalam Pancasila dan UUD ’45.**
Copas dari :
Oleh : Fr. Stepanus Ilwan, CP