Menghormati Bulan Puasa
Sarlito W Sarwono
menjelang bulan puasa, seperti biasa, para tokoh mulai
mengimbau agar seluruh masyarakat menghormati umat
yang berpuasa dengan cara menutup semua tempat hiburan
yang berbau maksiat (walaupun di lapangan sulit untuk
membedakan antara kafe atau hotel yang maksiat dan
yang bukan) dan menutup restoran-restoran serta
warung-warung di siang hari. Maka pemerintah daerah
dan polisi pun mengeluarkan berbagai peraturan yang
membatasi pengoperasian tempat-tempat hiburan
tersebut.
Kalau ada yang membandel juga, pasukan jihad siap
men-sweeping dan menghancurkan semua yang berbau
maksiat itu. Tidak peduli apakah ribuan karyawan dan
karyawati (yang kebanyakan muslim juga) bisa
berlebaran atau tidak (carilah pekerjaan yang halal,
kata mereka). Tidak terpikir bahwa para boss pemilik
tempat hiburan sedang santai di Bali (atau di
Singapura) setelah menutup usahanya, sementara para
pekerja seks melanjutkan prakteknya di hotel-hotel
(termasuk yang berbintang lima) atau di tempat kos
masing-masing.
Dengan perkataan lain, penulis jadi bertanya pada diri
sendiri, apakah praktek minta dihormati dengan cara
itu mencapai sasaran? Yang jelas, puluhan bulan
Ramadhan sejak kita merdeka, tidak mengurangi maksiat
(bahkan makin menjadi-jadi, sementara KKN Indonesia
menduduki peringkat ke-3 dunia), sedangkan
partai-partai politik Islam (jika semuanya disatukan
sekaligus) tidak pernah meraih lebih dari 10-11 persen
suara sejak Pemilu 1955 sampai 1999. Jauh di bawah
gabungan suara PDI-P dan Golkar (1999), atau Golkar
sendirian (zaman Orde Baru), atau gabungan PNI dan PKI
(zaman Orde Lama). Padahal 90 persen dari 210 juta
penduduk Indonesia beragama Islam.
Tak Minta Dihormati
Penulis memang bukan kiai atau pakar agama Islam,
tetapi ajaran Islam yang penulis percayai adalah bahwa
Islam bukanlah agama yang mengajarkan gila hormat.
Umat Islam justru disuruh menghormati orang lain:
menghormati orangtua, menghormati guru, teman, orang
yang berprestasi, tetangga, orang miskin - pokoknya
semua. Bahkan juga yang berbeda agama (non-Islam) atau
sesama muslim yang berbeda versi. Islam mengajarkan:
lakum dinukum waliyadin (untukmu agamamu, untukku
agamaku).
Hanya dengan menghormati orang lain, maka orang lain
juga akan menghormati kita. Hanya dengan menghargai
orang lain, maka orang lain akan menghargai kita.
Dengan demikian, akan terjadi suasana yang saling
menghormati dan saling menghargai. Islam bukan agama
yang sombong atau menyuruh umatnya untuk menyombongkan
diri dengan menyuruh orang lain menghormatinya.
Di sisi lain, Islam juga tidak membiarkan kemungkaran.
Amar ma'ruf nahi munkar (dekati kebaikan, jauhi
ketidakbaikan). Demikian selalu didengungkan di setiap
telinga muslim. Tetapi, bagaimana caranya? Islam
mengajarkan setiap orang untuk memperkaya diri sendiri
melalui jalan yang halal karena dengan menjadi kaya,
seorang muslim akan mampu menciptakan lapangan kerja
untuk orang lain dan membantu menghidupi sekian banyak
jiwa dari keluarga para karyawan yang bekerja untuk
dirinya.
Setidak-tidaknya, orang yang mampu, Insya Allah, tidak
akan terpaksa atau terdesak untuk melakukan kejahatan,
bahkan akan bisa memberi sedekah untuk yang tidak
mampu. Alangkah indahnya Indonesia ini jika banyak
muslim kaya yang mempunyai banyak pabrik atau
perusahaan, baik dengan modal sendiri maupun bekerja
sama dengan investor asing, sehingga tidak perlu lagi
ada muslim yang harus bekerja di tempat-tempat
maksiat.
Kalau bisa memilih antara bekerja di panti wreda atau
panti asuhan dengan gaji Rp 1,5 juta sebulan dengan
bekerja di panti pijat dengan gaji yang sama, orang
tentu akan memilih yang pertama. Masalahnya adalah
bahwa penghasilan di panti pijat dalam kenyataannya
bisa 10 kali lipat dari di aneka panti yang lain.
Islam menjawab masalah ini dengan meningkatkan peluang
dan menciptakan kesempatan yang lebih baik di tempat
lain, bukan hanya dengan merusaki sumber kehidupan
yang sudah ada.
Hanya untuk yang Beriman
Ayat Al Quran tentang puasa (QS.2) termasuk salah
satu ayat yang unik karena Allah mengawali ayat itu
dengan kata-kata, "Hai orang-orang yang beriman....''
Dengan demikian, pada hakikatnya, Allah hanya menyuruh
orang-orang yang beriman saja untuk berpuasa, yaitu
orang-orang yang berpuasa karena Allah semata (lillahi
ta'ala), bukan karena mengharapkan pahala, apalagi mau
show.
Orang beriman akan tetap berpuasa walaupun ia
minoritas di tengah mayoritas yang tidak berpuasa
(misalnya: muslim yang sedang studi di negara lain)
dan jelas orang beriman ketika ia sedang menjadi
mayoritas (seperti muslim di Jakarta) tak akan
menyuruh orang lain (termasuk yang nonmuslim) yang
minoritas untuk ikut berpuasa bersama dia (berpuasa
mak- siat, bahkan berpuasa makan-minum di depan umum).
Buat muslim, apalagi yang sungguh-sungguh beriman,
maksiat tidak akan singgah di hatinya, apalagi sampai
melakukannya. Tetapi, ia pun tidak mengingkari bahwa
banyak orang lain yang masih melakukan hal-hal maksiat
itu karena memang mereka bukan muslim atau imannya
belum cukup kuat. Allah memang tidak menyuruh
orang-orang seperti ini untuk berpuasa dan karenanya
kita tidak perlu repot-repot mengatur mereka.
Karena itulah orang Malaysia membuka pusat perjudian
di Genting Island (khusus untuk nonmuslim) dan
membiarkannya tetap buka sekalipun dalam bulan puasa.
Tidak ada hujatan pada pemerintah, tidak ada sweeping,
tidak ada kerusuhan agama, tetapi umat Islamnya lebih
sejahtera, tingkat pendidikannya lebih baik dari
Indonesia (catatan: tahun 1970-an Indonesia mengirim
guru-guru terbaiknya ke SMU-SMU di Malaysia, sekarang
orang Indonesia meraih doktornya di Malaysia, termasuk
Prof Dr Yusril Ihza Mahendra), ongkos naik haji lebih
murah, dan KKN-nya jauh lebih sedikit. Padahal umat
Islam bukan mayoritas jika dibandingkan dengan
gabungan penduduk Cina dan India di negara itu.
Padahal usia negaranya lebih muda ketimbang usia RI.
Mentalitas Anak Bongsor
Kalau muslim Malaysia yang jumlahnya sedikit dan tidak
mayoritas pula bisa lebih maju dari kita, maka apa
yang sebenarnya sedang terjadi pada umat Islam
Indonesia? Jumlahnya besar (negara dengan penduduk
muslim terbesar di dunia) dan mayoritas pula, tetapi
tidak menghasilkan apa-apa setelah proklamasi
kemerdekaan, selain terus-menerus minta dihormati dan
KKN yang makin menjadi-jadi.
Saya jadi teringat pada Rawud, kawan saya di SD, yang
bongsor yang selalu menyuruh setiap anak lain di
sekolah untuk menuruti setiap kemauannya. Kalau ada
yang berani melawan, diancamnya. Anak-anak lain
dibuatnya ketakutan sehingga ia makin malang
melintang. Tetapi, ketika ada seorang anak yang lebih
kecil bernama Narto yang berani menjotos matanya, ia
menangis meraung-raung memanggil-manggil mamanya.
Mengingat hal itu, saya kok jadi cemas, jangan-jangan
umat Islam Indonesia, apalagi yang minta dihormati
selama Ramadhan, hanya bermental anak bongsor seperti
si Rawud yang langsung tekuk lutut jika ada masalah
sedikit saja. Itukah yang membuat Indonesia terpuruk
terus, sementara Malaysia sudah lama pulih kembali?
Penulis adalah Guru Besar UI.