Berkibarlah Benderaku
(Sebuah refleksi perayaan 17 Agustus 2008)
“Berkibarlah benderaku, Lambang suci gagah perwira”
Lagu perjuangan tersebut yang berirama mars dan membakar gelora semangat menggebu-gebu, terasa menggugah jiwa setiap insan indonesia dari Sabang sampai Merauke, dari Minangas sampai Rote. Kibaran Sang Saka Merah Putih di mana-mana semakin mengobarkan semangat dan cinta Tanah Air, Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang sejak dulu kala di perjuangkan para leluhur kita, diproklamirkan pada tahun 45 oleh Sukarno-Hatta dan dengan keringat dan darah dan nyawa diperjuangkan secara hidup dan mati oleh para gerilyawan Pejuang Kemerdekaan, sampai diakui dunia internasional pada Desember 49, merdeka dan berdaulat, lalu membanting tulang dan membangun mengisi kemerdekaan, terus berusaha merealisasikan masyarakat adil makmur bersatu-padu rukun dan damai………..
Iyakah? Sudahkah?
Saya mau mengatakan: BELUM!
Pada tahun 1951 setelah menyelesaikan pendidikan umum dan mengabdikan diri sebagai alat negara, lalu bekerja selama 37 tahun terus menerus ditambah tugas-tugas tambahan di lembaga legislatif dengan gaji dan tunjangan-tunjangan yang tidak pernah mencukupi (tidak seperti sekarang yang terkesan berlimpah ruah), aku tidak pernah mundur selangkahpun dalam pengabdian mengisi kemerdekaan. Sindiran dari lingkungan kanan kiri pada tahun enam pul;uhan agar aku meninggalkan dinas dan berpindah di tempat yang lebih ‘basah’ yang siap menampung dengan tangan terbuka, aku tampik dengan halus. Aku sudah terlanjur berprinsip: Setia Sampai Akhir. Kesulitan dan halangan kuanggap sebagai resiko seorang Pejuang sejati. Bahwa tugas kita kedepan adalah tetap tegar berjuang merintis jalan bagi kesejahteraan anak keturunan kita. Biarlah kita yang menderita agar kelak anak keturunan kita yang akan menikmati kehidupan adil makmur sejahtera.
Ternyata sampai aku pensiun di tahun 1988, dan kini di tahun 2008, aku masih saja harus terus berjuang membanting tulang. Istilah menikmati pensiun di hari tua sungguh Cuma sebuah ilusi. Oke tidak apa-apa. Karena memang aku tidak suka hidup menganggur, makn tidur berleha-leha. Tetapi yang menyedihkan adalah bahwa ternyata, anak-anak dan kini cucu-cucuku juga harus menjalani kehidupan seperti aku,membanting tulang jungkir balik di tengah lingkungan yang justru semakin tidak kondusif. Persatuan dan kesatuan sepertinya sudah kuno sudah kadaluarsa. Perbedaan dalam kebersamaan, bhineka tunggal ika yang alahmia dan kita bangga-banggakan, apa ya artinya? Suku minoritas, golongan minoritas, agama minoritas, gimana ya, kita berangus saja? Kan kita yang terbanyak! Korupsi dan kolusi dan nepotisme sepertinya bukan masalah lagi. Diekspose di media masa bukannya malu malahan dianggap semakin terkenal dan celakanya, yang melakukannya justru par pejabat negara, para pemimpin lembaga pemerintahan maupun lembaga swasta terhormat!
Sepertinya semuanya sudah rusak. Maka menjelang perayaan memperingati momen bersejarah 17 Agustus kali ini, di tahun 2008 yang bertepatan peringatan 100 tahun Hari Kebangkitan Nasional, dengan sedih aku menyaksikan penyebab terjadinya semua yang kacau balau itu. yaitu sikap masa bodoh dan lunturnya semangat Cinta Tanah Air dari kebanyakan lapisan masyarakat kita. Lihat saja pesta sepak bola Piala Dunia maupun yang jauh sampai di desa-desa, lihatlah, bendera-bendera kebangsaan negara asing berkibar megah di depan rumah bahkan sampai di atas puncak pohon kelapa di atas gunung! Lalu di kendaraan bermotor pribadi dari Bapak-bapak Pejabat terpasang bendera Jerman Itali Argentina dsb dst dengan sangat megahnya, dengan sangat bangganya! Di mana kedaulatan negara kita? Mana wibawa alat negara kita? Walah-walah! Aku juga gila bola dan kesebelasan yang ku kagumi justru adalah Belanda yang dahulu ku perangi, tetapi pantang aku mengibarkan bendera peserta lomba Piala Dunia maupun bendera kebangsaan negara asiang maupun di halaman rumahku, di tanah tumpa darahku!
Tetapi wahai, lihatlah sekarang. Seminggu bahkan sehari sebelum tanggal 17 Agustus 2008, aku masih menyaksikan dengan teramat pedih, pemandangan miris masih menyaksikan dengan teramat pedih, pemandangan miris masih berkibarnya bendera Jerman dan Itali tinggi-tinggi di atas atap rumah bertingkat dan ada yang melintang di atas jalanan, sedangkan bendera Merah Putih, aduhai di manakah engkau lambang suci-ku? Astaganaga, banyak ulangi sangat banyak rumah-rumah di tepi jalan yang tidak mengibarkan bendera Merah Putih, padahal di halaman rumah tersebut berkibar megah bendera Golkar dan PDIP dan PBR dan Gerindra dan entah apalagi yang berlomba-lomba hendak menyongsong pemilu 2009. keadaan ini semakin di ramaikan dengan umbul-umbul berwarna merah putih yang seragam dan sangat banyak sehingga barangkali dianggap bahwa warnamerah putih umbul-umbul toh sudah mewakili Merah Putihnya bendera kebangsaan kita?!
Sementara menghormat kepada sang Merah Putih pada upacara resmi di halaman Kantor Bupati Minahasa Selatan di Pondang, Amerang, aku menghormat dengan sigap, dengan dada bergelora, dengan semangat tetap membara, sambil terus beriklar di dalam hati, bahwa apapun yang terjadi, aku akan terus berjuang dengan caraku sendiri, dengan talenta yang ada padaku, mengisi kemerdekaan dengan karya dan karsa seorang pejuang sejati. Aku tetap yakin masih banyak dan akan semakin banyak putra-putri Indonesia sejati yang memiliki dan mewarisi jiwa dan semangat cinta tanah air warisan leluhur, amanat Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.
Mari terus berjuang. Merdeka !!!
Oleh : C.Kowaas