Mulai Proklamasi, Supersemar Hingga Kisah Cinta Bung Karno
SENSASI Andaryoko Wisnu Prabu yang mengaku Supriyadi (Pejuang Pembela Tanah Air-Peta), terus menggelinding. Hal yang menarik, Andaryoko banyak mengungkap kisah zaman perang kemerdekaan secara meyakinkan. Bahkan dia mengklaim selalu hadir dalam peristiwa bersejarah RI. Mulai penyiapan naskah proklamasi, pembacaan teks proklamasi, hingga penandatanganan Surat Perintah 11 Maret 1966, bahkan kisah cinta Bung Karno pun diketahuinya.
Hal tersebut tertuang dalam buku bertajuk ‘Mencari Supriyadi, Kesaksian Pembantu Utama Bung Karno’ yang ditulis oleh sejarawan Baskara T Wardaya SJ terbitan Galangpress 2008. Dalam buku itu, Andaryoko menceritakan kisah pelarian-nya dari kejaran tentara Je-pang pascapemberontakan Peta di Blitar, 14 Februari 1945. Dia berhasil lolos dengan ber-sembunyi di gua-gua dan hu-tan belantara di Jawa Timur. Sampai akhirnya dia memu-tuskan pergi ke Jakarta untuk bertemu Bung Karno setelah melakukan tapa brata di hu-tan. Untuk sampai ke Jakarta pada Mei 1945, dia harus me-nempuh perjalanan berhari-hari. Dari Ngawi, Jawa Timur menuju Solo, kemudian dilan-jutkan ke Salatiga hingga Se-marang. Dari Semarang sete-lah beristirahat di rumah orangtuanya, Andaryoko ke-mudian pergi ke Jakarta menggunakan kereta api.
Selama beberapa hari di Ja-karta, Andaryoko sempat ber-temu dengan Bung Karno di rumahnya di Pegangsaan Ti-mur nomor 56. Dia juga sem-pat berada di Gedung Joeang, Jalan Menteng Raya untuk ber-gabung dengan para pejuang lainnya. Bahkan sempat meng-hadiri rapat-rapat BPUPKI (Ba-dan Penyelidik Usaha Persiap-an Kemerdekaan Indonesia).
Saat bertemu Bung Karno di rumahnya, dia sempat tak per-caya. Bung Karno menatap dan melihat Andaryoko de-ngan tajam dan menanyai-nya. Dan setelah Andaryoko menjelaskan siapa dirinya, Bung Karno percaya dan mengajaknya berbicara di ruang belakang. Dia bahkan diminta tidur di rumah Bung Karno. Setelah itu dia kembali ke Semarang untuk menemui Wakil Residen Semarang, Mr Wongsonegoro untuk me-nyampaikan pesan Bung Karno kepadanya. Menjelang kemerdekaan RI tepatnya 16 Agustus 1945, An-daryoko sudah berada di Ja-karta lagi bergabung dengan pemuda-pemuda Indonesia. Dia juga menyaksikan para pemuda seperti Sukarni, Wi-kana yang mendesak Bung Karno agar segera memprokla-mirkan kemerdekaan Indone-sia. Versi Andaryoko, para pe-muda itu bukan menculik Bung Karno dan Hatta menuju Rengkasdengklok, namun untuk diajak berunding. Dalam penyusunan naskah proklamasi hingga pengibar-an bendera merah putih, An-daryoko juga ikut menyaksi-kan peristiwa penting Indone-sia 63 tahun yang lalu. Nas-kah teks proklamasi yang sempat diremas-remas hingga kumal dan dibuang ke tempat sampah itu juga dilihat oleh Andaryoko. Ketika bendera merah putih dikibarkan, An-daryoko mengaku ikut me-ngibarkannya. Dia mengaku orang yang bercelana pendek membelakangi kamera adalah dirinya, bukan Ilyas Karim. Sementara itu di buku -buku sejarah diterangkan pengibar bendera merah putih itu adalah Shudanco Singgih dan Latief Hendraningrat.
Setelah itu, Andaryoko kem-bali ke Semarang, namun se-sekali pergi ke Jakarta untuk bertemu Bung Karno. Selama di Semarang, dia juga sempat ikut peristiwa pertempuran 5 hari di Semarang pada tanggal 14-18 Oktober 1945.
Pascakemerdekaan, hampir semua peristiwa yang berkait-an dengan Bung Karno, An-daryoko selalu hadir. Namun Andaryoko tidak banyak cerita soal hijrahnya Bung Karno ke Yogyakarta karena kepindah-an ibukota RI. Padahal Bung Karno tinggal di Gedung Agung Yogyakarta selama lebih ku-rang tiga tahun, yakni tahun 1946-1949.
Peristiwa penting lain yang diceritakan Andaryoko adalah peristiwa Istana Negara dikepung tank dan tentara, yakni peristiwa 17 Oktober 1952. Saat peristiwa itu terjadi, dia sudah resmi menggunakan nama Andaryoko. Menurut Andaryoko hubungan antara Bung Karno dengan dirinya bersifat pribadi. Dia pun di-angkat sebagai pembantu utama. Jabatan itu tidak di-ketahui umum, tapi di bawah tanggung jawab langsung presiden, bukan di bawah kementerian.
Tugas pembantu utama, kata dia, adalah memberitahu pre-siden bila ada peristiwa, gerak-an politik, militer atau gerakan yang membahayakan kesela-matan presiden. Namun dalam buku itu, Andaryoko tidak ber-tutur soal peristiwa Cikini, yakni saat Bung Karno hendak dibunuh dengan lemparan granat di SD Cikini Jakarta. Demikian pula dengan peristi-wa Trikora (Tri Komando Rak-yat) di Alun-alun Utara Yogya-karta ketika Bung Karno meng-gelorakan perjuangan untuk membebaskan Papua/Irian.
Sedang cerita mengenai kisah percintaan Bung Karno misalnya dengan Hartini atau-pun Ratna Sari Dewi, Andaryo-ko masih bisa bercerita. Di akhir buku itu, dikisahkan peristiwa lahirnya Surat Perintah 11 Maret 1966 di Istana Bogor. Andaryoko mengaku ikut me-nyaksikan ketika tiga perwira tinggi TNI AD, yakni Basoeki Rachmat, M Yusuf dan Amir Machmud mendatangi Soekar-no untuk menandatangani su-rat perintah untuk memberikan kekuasaan kepada Soeharto.