Siang keesokan harinya ....
Karin mendaki bukit kecil di sebelah selatan perkebunan itu dengan langkah santai. Bahkan sambil bersiul-siul kecil, dan sesekali memetik dedaunan yang menjulur di pinggir jalan setapak yang sedang dilaluinya. Jam baru menunjukkan 11.45 ... masih ada sekitar 10 menit sebelum rendevouz-nya dengan Iwan di puncak bukit.
Wajah gadis kota yang kali ini memakai celana pendek khaki dan kaos ketat hijau tua itu tampak cerah. Sebuah senyum terkadang terkembang tipis ... membayangkan apa yang akan ia lakukan hari ini dengan lelaki yang sudah berhasil memikat tubuhnya itu. Kadang Karin heran juga, mengapa keisengan yang dulu ia rencanakan cuma berlangsung sekali itu kini berkepanjangan. Hati kecilnya mengatakan bahwa apa yang ia lakukan kali ini agak berlebihan. Suara di kepalanya juga memberikan peringatan tentang bahaya main api yang seperti ini ... Tetapi tubuhnya tidak bisa diajak kompromi. Tubuhnya merindukan sentuhan-sentuhan liar yang terkadang kasar dari lelaki kekar itu!
Karin tersenyum untuk kesekian kalinya. Ah, kali ini yang terakhir saja! sergah hatinya. Aku harus kembali ke ibukota dan menulis laporan penelitian. Lagipula, Iwan bukan tipe idealnya. Pegawai rendahan itu tidak mungkin bisa menjadi pacarnya karena tidak punya sedan atau punya cukup uang saku untuk mengajak nonton midnight dan makan di restoran. Kali ini aku akan menikmati Iwan sepuasnya, bisik hatinya, lalu mengatakan selamat tinggal. Kalau dia patah hati, itu urusannya sendiri! 
Terakhir mereka bercumbu tiga hari yang lalu, di sebuah gubuk di pinggir sungai tempat mereka biasa bertemu. Karin jadi ingin tertawa mengingat betapa gairah mereka berdua telah membuat bangku kayu di gubuk itu patah. Waktu itu Karin minta Iwan duduk di sana sementara ia mengangkangi lelaki yang menggairahkan itu, dan mengendalikan persetubuhan mereka dari atas. Ia suka sekali dipangku seperti itu, dengan kejantanan Iwan yang melesak tegak dalam-dalam di antara kedua pahanya yang mulus dan penuh keringat. Ia suka sekali mencengkram bahu pemuda itu dan menaik-turunkan tubuhnya yang di bagian atas masih lengkap berpakaian. Ia bahkan masih memakai sepatu, dan Iwan masih berpakaian lengkap. Cuma resleting celana pria itu saja yang terbuka untuk meloloskan kejantanannya.
Ah ..., Karin merasa mukanya menjadi hangat kalau ingat betapa ia mengerang-erang keenakan karena setiap kali ia menurunkan tubuhnya, bagian paling sensitif dari kewanitaannya membentur-bentur celana jean Iwan ... memberikan sentuhan-sentuhan mantap yang membuat orgasmenya seperti berlipat ganda. Entah sudah berapa kali ia menikmati orgasme, ketika pada suatu saat ia sedang menurunkan tubuhnya keras-keras untuk mencapai puncak kenikmatan, kursi itu patah berderak dan mereka berdua terhempas ke lantai tanah gubuk itu!
Karin tertawa kecil sambil memetik sebuah bunga liar di sebelah kanannya. Langkahnya masih ringan dan perlahan.
Tawa kecil itu juga terdengar oleh seseorang yang diam-diam mengikutinya sekitar 10 langkah di belakang. Orang itu adalah Ferry, yang tadi telah diberitahu oleh Pak Rustandi bahwa Karin sudah meninggalkan gua Jepang yang sedang ia teliti. Diam-diam, Ferry sejak tadi mengikuti gadis itu dari kejauhan. Sebuah konspirasi telah terjadi antara manajer muda ini dengan penjaga senior yang sama-sama membutuhkan alasan untuk naik pangkat!
Ferry menghentikan langkahnya sejenak, memastikan agar gadis itu tidak tahu bahwa ia sedang diikuti. Sementara Pak Rustandi bertugas menunda-nunda keberangkatan Iwan, agar Ferry punya waktu untuk mencari tempat persembunyian. Di bahu manajer itu tergantung sebuah tustel dilengkapi lensa panjang. Ia bermaksud mengambil beberapa foto untuk dijadikan bukti. Lalu ia berencana mengirim foto itu .... ah, mungkin membawanya sendiri ... ke ibukota untuk diadukan ke orang tua Karin yang adalah pemilik perkebunan! Terbayang di benak manajer muda ini kedudukan empuk yang akan ia tawarkan demi nama baik orang tua itu!
Setiap konspirasi memiliki risiko gagal, walaupun bervariasi dari satu konspirasi ke konspirasi lainnya. Ada konspirasi yang begitu kecil risikonya sehingga memberikan hasil maksimal bagi para konspirator. Ada konspirasi yang begitu besar risikonya sehingga belum apa-apa sudah gagal terlaksana. Tergantung pula dari para konspirator, terutama pada kesungguhan dan motivasi yang mendasari konspirasi mereka. Seringkali sebuah konspirasi gagal karena salah satu atau kedua pihak yang berkonspirasi menganggap bahwa segalanya berjalan lancar, sehingga cenderung kurang hati-hati.
Konspirasi antara Ferry dan Pak Rustandi memiliki satu titik kelemahan.
Pada suatu sore yang diselingi gerimis, Pak Rustandi bercerita ke Bu Rustandi sambil menyeruput kopi tubruk dan mengunyah singkong goreng di rumah mereka yang sederhana. Mengapa lelaki itu harus "bernyanyi" tentang konspirasinya? 
Sebab Pak Rustandi adalah tipe suami yang rajin memberi laporan kepada istri yang telah menemaninya lebih dari 30 tahun itu. Sebab Pak Rustandi juga ingin segera berbagi mimpi tentang kedudukan dan gaji yang lebih baik daripada sekadar anggota satpam penjaga kebun. Ia tak sabar menahan rahasia yang ia janjikan ke Ferry, sang manajer muda itu. Maka terbukalah peluang kegagalan konspirasi mereka.
"Apa betul begitu, Pakne!?" sergah Bu Rustandi sambil membetulkan kutang di balik kebaya lusuh yang dikenakannya. Kedua matanya yang sudah mulai rabun itu membelalak, seakan-akan ingin melihat muka suaminya sejelas mungkin.
"Betul, Bune!" sahut Pak Rustandi sambil mengangkat kakinya ke kursi sehingga sarungnya merosot hingga pangkal paha, "Aku yakin kedua anak muda itu bercinta-cintaan di kali!"
"Edan betul," kata Bu Rustandi, segera bersemangat karena mendapatkan gosip baru yang menghebohkan, "Anak muda jaman sekarang memang edan-edan. Apalagi yang perempuan itu, kan, anak ibukota. Pasti lebih edan lagi!"
"Wah, yaaa ... kalau yang laki tidak edan, yang perempuan juga tidak edan tho, Bune!" sela Pak Rustandi, merasa agak perlu membela "yang perempuan" karena notabene gadis itu adalah anak juragan besarnya.
"Ah, jaman sekarang laki perempuan sama saja, Pakne!" ujar Bu Rustandi tak mau kalah.
"Iya, ya ....," sahut Pak Rustandi setengah merenung, "Jaman kita dulu, mana ada cinta-cintaan di kali!"
Bu Rustandi tertawa terkekeh, "Lha, aku saja masih perawan sampai dua bulan setelah kawin sama Pakne!"
"Lhaa ... itu karena Bune yang sempit kepripit, tho!??" sergah Pak Rustandi acuh tak acuh.
Bu Rustandi tertawa gelak, "Apa tho 'ke-pri-pit' itu, Pakne?"
"Ah, pura-pura tidak tahu!" sahut Pak Rustandi sambil mengibaskan tangannya dan melanjutkan menyeruput kopinya.
Dan begitulah akhirnya Bu Rustandi tahu tentang kehebohan antara Iwan dan Karin. Lalu, keesokan harinya ibu tua itu mencuci baju bersama selusin ibu-ibu lain di pinggir sungai. Lalu, seperti tak sengaja, ibu itu menceritakan sepenggal cerita yang diterimanya dari sang suami kepada salah seorang ibu peserta cuci-bersama tersebut. Lalu, ibu yang menjadi penerima cerita sekunder itu bercerita lagi kepada ibu yang lain ketika sedang berjalan pulang membawa cucian.
Sampai akhirnya, setelah matarantai demi matarantai gosip itu memanjang, seorang ibu menerima cerita yang sudah berkali-kali diberi bumbu tambahan itu. Kebetulan ibu ini bersuamikan salah seorang buruh yang aktif di serikat pekerja perkebunan. Suaminya inilah yang membawa berita menghebohkan ke lingkungan serikat pekerja, dan kepada sang ketua yang tak lain tak bukan adalah Iwan.
Tetapi berhubung Iwan adalah tokoh yang disegani di kalangan buruh perkebunan, maka berita itu pun disampaikan secara pribadi serta dengan penuh hormat. Selain itu, sebagai wujud solidaritas, para pekerja ikut melacak dari mana gerangan sumber gosip yang menghebohkan itu. 
Dalam waktu dua hari, Iwan dan para buruh perkebunan sudah tahu bahwa Pak Rustandi lah awal dari segalanya.
******
Ferry memarkir motornya setelah tadi mengirim satu rol film ke ibukota, ke salah seorang sahabatnya yang memiliki studio foto. Ia telah menginterlokal temannya itu dari kantor telpon di M, dan mengabarkan maksud-tujuannya secara hati-hati. Ia mengingatkan sahabatnya pula, bahwa kalau film itu gagal dicuci, maka segala tujuannya akan gagal. Tentu saja ia belum tahu bahwa Pak Rustandi telah membuka peluang kegagalan itu, dan ia sama sekali tak punya prasangka ketika melihat satpam senior itu berlari tergopoh-gopoh ke arahnya.
Ferry baru saja menaruh kunci motor di sakunya, ketika Pak Rustandi sampai di depannya. Manajer muda itu membuka kacamata hitamnya dan segera terkejut melihat wajah rekan konspirasinya. Sebuah lingkaran biru-hitam kemerahan terlihat jelas di mata kiri Pak Rustandi. Sebuah lebam karena tinju!
"Mereka memukuli saya, Tuan Ferry!" seru Pak Rustandi terengah-engah sambil memegangi pipi kanannya yang terlihat membengkak pula.
Ferry terkejut, "Siapa mereka?"
"Tiga orang buruh muda berbadan kekar!" sahut satpam itu sambil meringis.
Insting Ferry segera menyatakan bahwa ada sesuatu yang tidak beres. Cepat-cepat ia menarik lengan Pak Rustandi untuk masuk ke kantornya sambil bertanya, "Kenapa mereka memukuli bapak?"
"Tidak tahu, mereka tiba-tiba mengamuk!" sahut Pak Rustandi berbohong. Ketiga buruh itu sempat bertanya-tanya tentang gosip Iwan-Karin sebelum memukulinya.
"Tidak mungkin mereka tiba-tiba mengamuk tanpa alasan!" sergah Ferry sambil membuka lemari es kecil untuk mengambil es sebagai kompres sementara yang bisa mengurangi rasa sakit di muka satpam malang itu.
"Mereka memang sering mengamuk, terutama buruh-buruh muda sering marah tanpa alasan!" kata Pak Rustandi mempertahankan cerita bohongnya. Ia ingin membangun simpati di manajer muda yang memang sering bertentangan dengan para buruh dalam segala soal, mulai dari jam kerja sampai upah harian.
"Ya, mereka memang banyak menuntut!" sahut Ferry menyetujui, "Tetapi kenapa mereka memukuli Pak Rustandi? Apa salah bapak?!"
"Tidak tahu, Tuan!" sahut Pak Rustandi sambil menerima sepotong es yang sudah dibungkus saputangan, dan segera menempelkannya ke lebam di sekitar mata.
"Apakah bukan karena soal yang lain?" sergah Ferry, kali ini dengan nada menyelidik.
"Tidak tahu, Tuan!" kata satpam itu mempertahankan diri. Ia kini sadar bahwa kedudukannya agak terjepit. Kalau Ferry tahu bahwa mereka mengamuk karena gosip tentang Iwan-Karin, maka tamatlah sudah hubungan konspirasi mereka.
"Apakah bukan karena persoalan pribadi?" desak Ferry sambil memutar telpon. Ini urusan serius yang perlu dilaporkan ke kantor serikat buruh di kota kabupaten.
Pak Rustandi melihat Ferry memutar telpon, dan lelaki itu menjerit mencegah, "Jangan telpon polisi atau yang lain, Tuan!"
Ferry menghentikan gerakan jarinya. Kedua matanya menatap tajam dan instingnya semakin keras mengatakan bahwa ada sesuatu yang disembunyikan Pak Rustandi darinya.
"Kita selesaikan saja dulu persoalan ini secara baik-baik, Tuan," rengek Pak Rustandi sambil meringis merasakan pedih di pipi dan mata kirinya.
"Baik-baik bagaimana?" umpat Ferry, tak sabar melihat tingkah satpam yang mencla-mencle itu, "Bapak dipukuli sampai babak belur begitu, dan sekarang mengajak saya menyelesaikan persoalan ini baik-baik. Bagaimana kalau buruh-buruh keparat itu tidak mau diajak bicara baik-baik?"
Pak Rustandi meringis lagi. Selain sakit di mukanya, ia juga meringis mendengar istilah "buruh keparat" yang digunakan Ferry. Biar bagaimana pun, buruh-buruh itu adalah penduduk sekitar yang sebagian besarnya ia kenal sejak mereka masih anak-anak.
"Kalau perlu kita selesaikan di pengadilan. Buruh-buruh itu perlu diberi pelajaran!" hentak Ferry sambil melanjutkan memutar nomor telpon.
"Mohon dengarkan saya dulu, Tuan Ferry!" sergah Pak Rustandi dan dengan tangannya yang legam terbakar matahari ia menahan gerakan tangan Ferry.
Ferry terkejut campur geram. Berani betul satpam ini menahan keputusanku? jeritnya dalam hati.
Pak Rustandi tidak mempedulikan sinar mata marah Ferry yang terpancar tajam. Ia memohon sekali lagi, "Ijinkan saya menceritakan kejadiannya, Tuan Ferry!"
Ferry menggebrak meja. Kemarahannya kini memuncak. Ia tidak suka kekuasaannya diganggu gugat. Apalagi oleh buruh atau petugas rendahan semacam satpam di depannya ini. Ia sudah bosan menghadapi orang-orang yang banyak menuntut dan menurutnya pemalas serta bodoh itu.
"Bapak membuat saya muak!" jerit Ferry membuat Pak Rustandi terperangah.
"Sejak saya bekerja di sini, tujuan saya adalah menertibkan kalian!" sambung Ferry dengan nada tinggi, "Kalian adalah orang-orang yang tidak tahu diri. Kami memberi pekerjaan yang baik dan gaji yang cukup. Tetapi kalian tetap malas dan kini bahkan buruh-buruh itu bertindak ugal-ugalan. Saya tidak mau melihat ada yang ugal-ugalan di daerah kekuasaan saya!"
Pak Rustandi terdiam dan membuka mulutnya tanpa mengeluarkan suara. Kata-kata terakhir Ferry, terutama tentang "daerah kekuasaan" membuat lelaki tua ini merasa sekaligus sedih bercampur geram. Bagiamana mungkin orang kota yang tidak lahir di sini bisa mengakui bahwa tanah tempatnya bekerja adalah "daerah kekuasaan"-nya?
"Sekarang bapak diam saja di sini, sementara saya menelpon polisi dan serikat buruh. Persoalan ini harus diselesaikan secara hukum!" lanjut Ferry sambil langsung memutar nomor telepon.
Pak Rustandi menundukkan kepalanya, menekuri lantai kantor yang licin dan tampak dingin. Menyesal sekali ia menceritakan gosip Iwan-Karin kepada istrinya. Tetapi lebih menyesal lagi ketika ia kini tahu bahwa orang yang diajaknya berkonspirasi untuk kedudukan dan gaji yang lebih baik ternyata seorang keparat pula. Seorang yang dengan pongah mengklaim tanah leluhurnya sebagai daerah kekuasaan. Layaknya seorang raja kecil saja dia! Seorang raja kecil yang berbakat zalim! sergah hati lelaki tua ini dengan getir.
******
Sementara itu, di tengah kesibukan buruh yang mengangkati karung-karung cengkeh ke atas truk, tiga orang buruh muda mendekati Iwan yang sedang berdiri mengawasi kerja mereka.
"Kami sudah memberesi dia, Mas Iwan," ucap Gatot, seorang buruh muda yang jarang memakai baju dan yang ototnya memang seperti Gatotkaca.
Iwan mengernyitkan dahi, "Memberesi siapa? Apa yang diberesi?"
Suadi, buruh muda yang lain dan yang bertubuh kerempeng tetapi liat, menyela dengan suara bangga, "Satpam tua itu, Mas Iwan, kami sudah pukuli biar kapok!"
"Hah!?" Iwan membelalakkan mata ketika menyadari bahwa mereka sedang membicarakan sang sumber gosip, "Kenapa kalian pukuli Pak Rustandi?"
"Biar kapok dia, Mas!" sergah Rodin, buruh lain yang tadi ikut meninju pipi Pak Rustandi.
"Kalian sudah gila!" bentak Iwan, kini sepenuhnya sadar bahwa anak buahnya telah melakukan langkah ilegal. Ia memang sudah memikirkan persoalan gosip yang menyangkut dirinya, tetapi ia punya rencana lain yang tidak melibatkan tinju sama sekali.
"Lho ... kami cuma mau membela Mas Iwan!" sahut Gatot terkejut karena dibentak, padahal tadinya berharap menerima pujian.
Iwan menggeleng-gelengkan kepalanya dengan keras, "Bukan begitu caranya! Kalian memukuli orang yang tak bersalah!"
"Tetapi dia merusak nama baik Mas Iwan!" sahut Suadi membela diri. Seperti halnya Gatot, buruh ceking ini juga berharap mendapat pujian dari pimpinannya.
"Kita harus menjaga martabat pekerja, Mas!" sambung Rodin bersemangat. Buruh muda ini memang selalu bersemangat kalau sudah berkaitan dengan serikat pekerja tempatnya bergabung bersama buruh lain.
"Ya ... ya... ya!" sahut Iwan jengkel, "Tetapi memukuli Pak Rustandi yang tua itu sama dengan memukuli diri kalian sendiri. Dia juga anggota serikat pekerja, dungu!"
Gatot terbengong. Otaknya belum bisa menangkap logika Iwan. Baginya, seorang semacam Pak Rustandi musti dihajar agar kapok. Suadi juga melongo, sadar bahwa ucapan sang ketua yang cerdik ini memang benar. Rodin menggaruk kepalanya yang terasa gatal.
"Sekarang urusannya jadi pelik!" kata Iwan dengan suara tinggi, membuat beberapa buruh wanita menengok kearah mereka. Segera ia menurunkan nada suaranya dan berkata, "Kalian tutup mulut, dan bekerja lagi. Biar saya urus persoalan ini dengan Pak Rustandi!"
Gatot, Suadi dan Rodin membungkamkan protes yang sudah ada ditenggorokan mereka. Kalau Iwan sudah berkata tegas begitu, tak ada yang perlu diprotes. Sambil menunduk lesu, ketiga buruh muda itu kembali bekerja.
Iwan bergegas melangkah menuju markas satuan pengaman di sebelah kantornya. Ia tidak melihat sebuah jip berisi tiga orang polisi memasuki halaman perkebunan dan menuju kantor pusat.
******
Kino sedang asik membaca sebuah buku tentang misteri piramida di Mesir ketika di pintu rumah muncul Karin dan Dani.
"Hei, apa kabar!" sapanya riang sambil bangkit dari kursi menuju pintu.
Dani melambaikan tangan dan tersenyum manis. Karin mengucap "halo" samar-samar sambil berdiri kikuk. Ia dan Dani belum pernah datang ke rumah Kino.
"Ayo masuk!" seru Kino melangkah mendekat. Dani dan Karin saling pandang sejenak, lalu melangkah masuk dengan ragu-ragu.
Kino menarik mundur dua kursi tamu dan melemparkan buku yang dibacanya secara sembarangan.
"Ayo jangan malu-malu. Kalian tumben muncul!" kata Kino dengan riang untuk mencairkan suasana. Sudah lama juga ia tidak bersua keduanya. Mungkin sudah dua minggu lebih.
"Maaf, kami tidak bilang-bilang mau datang," kata Karin sambil mengambil tempat duduk. Dani bergumam tidak jelas.
"Tidak apa-apa. Aku juga sedang tidak punya teman!" sahut Kino terus terang menyatakan kegembiraannya mendapat teman di siang yang sepi menjemukan ini. Ia segera ikut duduk dan berbasa-basi menanyakan kabar kedua gadis cantik di depannya. 
"Kami ingin menyampaikan kabar tentang Iwan," kata Karin dengan suara pelan. Kino mengernyitkan dahinya. Mengapa harus berkata-kata dengan pelan dan serius begitu? Biasanya gadis ini periang dan blak-blakan saja. Apalagi Dani juga terlihat menunduk.
"Ada apa?" tanya Kino ketika Karin tidak melanjutkan ucapannya.
"Kamu belum mendengarnya?" Karin balik bertanya. Kino menggeleng.
"Iwan ditahan di kantor polisi," kata Dani karena Karin tidak terlihat hendak berkata-kata.
Kino melongo, memandang kedua gadis di depannya secara bergantian. Ia memang telah lama tidak bersua dengan Iwan, sejak terakhir berdebat tentang petualangan cintanya. Kini salah satu gadis pasangan kencannya itu datang dengan berita mengagetkan. Amboi, hidup ini penuh variasi, bukan!?
"Gara-gara saya ...," bisik Karin menunduk, seperti burung kecil yang basah kuyup tersiram air hujan. Beda sekali dengan saat ia berteriak-teriak riang di sungai!
Kino masih melongo, mencoba mencerna segala berita singkat yang barusan diterimanya. Segala sesuatunya masih membingungkan, walaupun ia sudah membuat sebuah dugaan samar-samar. Apa yang ia dulu kuatirkan, tampaknya kini menjadi kenyataan. Iwan dan Karin berbuat terlalu jauh, ... terlalu jauh untuk kota sekecil ini. Lalu, kini polisi ikut campur.
Ketika akhirnya Karin dan Dani menceritakan secara ringkas duduk perkaranya, barulah Kino bisa menghela nafas panjang. Ia tercenung sekian menit, lalu meminta kedua gadis itu menunggu sejenak sementara ia berganti pakaian. Mereka bertiga akan pergi ke kantor polisi menjenguk Iwan.
Tidak sembarangan orang bisa bertemu dengan seorang tahanan polisi. Bahkan keluarga Iwan sendiri pun tak mudah bisa minta ijin bertemu pemuda itu. Apalagi tiga anak muda yang tak punya hubungan apa-apa. Kantor polisi menjadi sebuah rumah angker yang menyeramkan, dan para penjaga di sana semuanya bermuka dingin serta berucap dengan suara tegas. Walau di depan mereka ada dua gadis cantik, pikiran mereka terpaku pada satu rumus saja: polisi harus tampak tegas dan tidak boleh mencla-mencle.
Ketika anak muda itu berdiri gontai di depan pos jaga. Kino sudah berkali-kali membujuk salah satu petugas jaga, tetapi dia tak bergeming. Malah dia lalu membentak keras sekali, mengancam akan mengurung mereka bertiga sekalian kalau masih bersikeras ingin bertemu Iwan.
Iwan kini adalah properti -hak milik polisi, sama halnya dengan mesin tik tua di kantor polisi itu. Sama dengan borgol yang tergantung di tembok itu. Sama dengan pistol dan senapan laras panjang yang mereka minyaki dengan rajin setiap hari itu. Iwan adalah barang yang perlu disimpan baik-baik, dijaga siang malam, tak boleh tersentuh oleh tangan-tangan luar yang tak mengerti apa-apa. Apalagi anak-anak ingusan berpakaian rapi yang tampak kurang pengalaman ini.
Kantor polisi kini adalah wakil negara. Dan negara adalah sesuatu yang besar dan sakral. Sesuatu yang melebihi manusia-manusia kecil itu, melebihi siapa pun di kota kecil ini. Negara adalah raksasa perkasa yang boleh bertindak apa saja demi ketertiban dan kemajuan semua orang. Tidak ada yang boleh melawan negara, karena itu artinya melawan hukum yang telah tertulis lewat proses panjang di ibukota. Melawan negara, seperti halnya Iwan, adalah perbuatan tercela sehingga perlu diberi ganjaran tegas. Salah satunya adalah dengan mengurung Iwan, mengurung fisiknya sekaligus bathinnya. Memisahkannya dari dunianya, dari orang-orang di sekitarnya.
Kino, Karin dan Dani akhirnya menyerah setelah tahu bahwa mereka tidak punya pilihan lain selain pulang tanpa bertemu Iwan. Mereka melangkah lesu keluar dari halaman kantor polisi. Karin menunduk sambil menggigit bibir bawahnya yang sudah berkali-kali ia gigit sejak tadi. Dani merangkul lengan sepupunya, mencoba memberikan penguatan. Kino melangkah agak lebih ke depan dengan pikiran bimbang.
Pada saat itulah masuk sebuah mobil milik perkebunan tempat Iwan bekerja. Di dalamnya duduk Ferry dan seorang manajer lain, kalau tidak salah dari bagian Hubungan Masyarakat.
Ferry melihat Karin dan Dani. Ia segera menghentikan mobil dan melompat turun.
"Nona Karin, .... sedang apa di sini?" sapanya dengan kaget.
Karin, Dani dan Kino menghentikan langkah. Mereka belum tahu persoalan konspirasi antara Ferry dan Pak Rustandi, sebab itu mereka menyangka Ferry datang untuk mengurus pembebasan Iwan. Atau setidaknya hendak menjenguk pemuda itu.
"Pak Ferry ingin menjenguk Iwan?" Karin balik bertanya dengan mata berbinar penuh harapan.
"Eh ... saya ... saya ..," Ferry menjawab gugup sambil menengok ke dalam mobil, ke arah manajer Humas yang diam saja.
"Boleh kami ikut menengok?" Dani menyerobot tanpa menunggu jawaban Ferry.
"Kami mengkuatirkan keadaaannya," Kino ikut menyela, "Kami cuma ingin bertemu sebentar."
Ferry menggaruk kepalanya. Ia tidak menyangka persoalannya akan jadi rumit begini. Ia belum bilang kepada siapa-siapa bahwa justru konspirasinya dengan Pak Rustandi lah yang membuat Iwan masuk tahanan polisi. Justru dia lah yang mengadukan Iwan ke polisi dengan tuduhan mendalangi gerakan buruh memberontak melawan perusahaan. Dia juga bingung harus bersikap bagaimana kepada Karin yang notabene adalah anak dari big boss -nya. Bingung karena foto-foto bukti skandal Karin dan Iwan masih dalam perjalanan ke ibukota. Bingung karena sebetulnya ia tidak siap dengan perkembangan cepat yang kini di luar kendalinya itu.
"Saya .... saya memang .... memang akan menjenguk ....," sahut Ferry gugup, dan berkali-kali menengok ke arah manajer Humas yang masih diam saja. 
Tentu saja manajer Humas diam saja, karena ia juga tidak tahu banyak tentang konspirasi Ferry dengan Pak Rustandi. Ia tahu tentang skandal Iwan dan Karin yang memicu pemukulan Pak Rustandi, dan justru itu pula lah yang membuatnya sungkan berbicara. Buat apa ikut campur urusan anak big boss, lebih baik bersikap aman kalau memang ingin terus punya pekerjaan!
"Kalau begitu, tolong ajak kami masuk," rengek Karin sambil mencengkram lengan Ferry dan mulai menggoyang-goyangkannya.
"Sebentar saja, Pak Ferry!" desak Dani sambil ikut mencengkram lengan yang satu lagi. Bahkan Dani langsung menggoyang-goyang dengan keras.
Ferry tersenyum kikuk, menggaruk lagi kepalanya, lalu berkata lemah, "Baikllah, mari ikut saya!"
Mereka lalu masuk kembali ke pos jaga, sementara manajer Humas memarkir mobil kantor di bawah pohon.
Petugas jaga kini berubah sikap. Berhadapan dengan Ferry, para polisi itu kini menjadi ramah. Sebab Ferry mewakili sebuah perusahaan besar. Sebuah sumber keuangan bagi negara dan birokrasi dan juga polisi. Kalau saja para polisi tahu bahwa Karin adalah anak pemilik perusahaan itu, pastilah tadi ketiga anak muda itu bisa masuk dengan leluasa. Para polisi hanya tahu bahwa Ferry lah yang mewakili perusahaan besar itu. Ferry lah yang harus dihormati, karena manajer muda itu punya hubungan baik dengan kepala polisi. Hubungan baik yang mewakili hubungan negara dengan perusahaan besar.
Ferry pula lah yang secara tidak langsung membawa Iwan ke dalam tahanan, karena Ferry memberi cap "pemberontak" kepada Iwan sang pemimpin buruh. Kata "pemberontak" itu adalah sesuatu yang sangat berarti, baik bagi negara maupun bagi perusahaan. "Pemberontak" adalah sesautu yang berbahaya, yang mengancam keutuhan perusahaan, dan dengan demikian mengancam sumber keuangan negara pula!
Ferry tidak banyak omong karena masih sibuk memikirkan strategi selanjutnya. Ia cuma bilang ingin menengok Iwan dan menjamin bahwa ketika anak muda yang dibawanya ada di bawah tanggungjawabnya. Ia tidak bilang bahwa Karin adalah anak pemilik perkebunan, karena ia sudah mencium gelagat tidak baik jika polisi tahu tentang fakta itu. Polisi bisa kalang kabut jika tahu bahwa urusan Iwan ternyata bukan urusan perburuhan, melainkan urusan keluarga kaya itu!
Berlima mereka digiring masuk ke sebuah ruangan bezoek di dekat sederetan kamar tahanan sementara. Ruangan itu tidak terlalu luas, dan hanya ada satu kursi panjang serta satu kursi biasa. Karin dan Dani duduk di kursi panjang, sementara Kino, Ferry dan manajer Humas berdiri saja menyandar ke tembok.
Tak berapa lama Iwan muncul dengan tangan diborgol, diiringi seorang polisi yang kemudian membuka borgol itu dan menutup pintu ruangan bezoek.
Karin bangkit dari duduknya dan langsung memeluk Iwan.
Ferry berdiri kikuk. Manajer Humas membuang muka, memandang ke luar lewat jendela. Dani menyusul Karin dan ikut memeluk Iwan, sementara Kino diam saja menyaksikan adegan itu.
Iwan memandang Ferry dengan sorot mata tajam. Ferry membalas pandangan itu, tetapi segera membuang muka setelah melihat sinar marah di mata pemuda itu. Tentu saja, bagi Iwan manajer muda itu adalah musuh. Adalah lawan dari gerakan buruh yang dipimpinnya. Adalah lawan yang kini sedang di atas angin, karena bisa menjerumuskannya ke tahanan polisi lewat laporan yang didramatisir.
Kino melihat kedua lelaki itu berpandangan, dan ia mencium sesuatu yang tidak beres.
"Saya akan melawan ...," desis Iwan, membuat Karin dan Dani terkejut.
"Saya akan menjelaskan ...," sahut Ferry, dan semua orang memandang ke arahnya, kecuali manajer Humas.
Manajer Humas pelan-pelan berjalan menjauh, mendekati jendela. Ia tidak suka urusan seperti ini. Ia tidak suka polisi, tidak suka Ferry, tidak suka Iwan, tidak suka kepada semua yang bisa membuat kedudukannya tidak aman!
"Ada apa?" sergah Karin kebingungan melihat Iwan dan Ferry berhadapan seperti dua koboi yang akan berduel.
"Saya akan menjelaskan," terdengar Ferry berkata lagi dengan nada yang jelas terlihat berusaha ditenang-tenangkan.
"Tidak perlu penjelasan!" desis Iwan menahan geram, "Bapak sudah membuka konfrontasi dengan kami!"
Karin mempererat pelukan ke lengan Iwan, pandangannya berpindah-pindah dari wajah pemuda itu ke wajah Ferry. Kebingungan menyelimuti mukanya yang cantik. Dani pun demikian.
Kino berjalan mendekat, berdiri di tengah-tengah antara Ferry dan Iwan. Ia kini merasakan dengan jelas ketegangan telah terbangun di kamar bezoek ini. Ia kini merasa harus ikut campur, tetapi terlebih dahulu ia harus tahu duduk persoalannya. Tampak jelas bagi Kino, ini bukan urusan polisi. Ini urusan dua pribadi yang membawa serta urusan kelompok. Urusan buruh melawan urusan majikan.
"Saya hanya menjalankan peraturan!" sergah Ferry, berdiri dengan kaki terpisah. Persis seperti koboi yang siap menarik pistol dan menembak musuhnya.
"Peraturan yang cuma menguntungkan kalian!" bentak Iwan keras, membuat semua orang terperanjat, termasuk manajer Humas yang sudah jauh berdiri di pojok ruangan.
"Tetapi tetap saja bernama peraturan!" balas Ferry, walau tidak sekeras lawan bicaranya.
"Omong kosong!" bentak Iwan, tetap dengan suara keras, "Peraturan itu selalu merugikan buat buruh. Peraturan itu selalu menjerumuskan kami ke polisi!"
"Kalau kalian tidak melanggar peraturan, mana mungkin kami mengadu ke polisi!" sergah Ferry tak mau kalah.
"Tidak ada yang kami langgar. Semua itu cuma karangan kalian belaka!" teriak Iwan, membuat Karin meringis dan Dani mengkerut.
Kino melangkah semakin mendekat, tetap berada di tengah kedua pihak yang berseteru.
"Kalian memukuli Pak Rustandi, itu perbuatan kriminal!" sahut Ferry dengan muka merah menahan geram. Ia memang sejak dulu geram jika harus berurusan dengan ketua buruh ini.
Iwan bergerak sangat cepat. Satu tangannya merengkuh lepas pelukan Karin dan Dani sekaligus, sementara tangan lainnya sudah melayangkan tinju ke muka Ferry. Tetapi Kino lebih cepat lagi, dan satu sentimeter dari hidung Ferry, tinju Iwan berhenti tertangkap oleh tangan Kino.
Kegemparan segera terjadi, Ferry cepat-cepat mundur ke arah pintu dan sebentar kemudian ia sudah membuka pintu itu hendak memanggil petugas jaga.
"Tidak perlu!" hentak Kino, membuat Ferry menghentikan langkah. Siapa pemuda ini?
"Tidak perlu memangil petugas jaga," lanjut Kino dengan tenang sambil merangkul bahu Iwan dan mengajak pemuda itu duduk di bangku panjang.
Ferry masuk kembali ke dalam ruangan, menutup pintu pelan-pelan. Manajer Humas tidak bergeming di pojok ruangan, wajahnya risau dan kedua tangannya bersidekap gelisah.
"Apa-apaan ini!?" jerit Karin tidak tahan melihat kekacauan yang terjadi. Mata gadis itu membelalak marah, walau tak bisa menghapus keindahannya.
Ferry menggaruk-garuk kepalanya, dan bergumam tidak jelas.
"Pak Ferry tolong jelaskan!" seru Karin lagi, kini sambil bertolak pinggang memperlihatkan ke-"asli"-annya. Bukankah ia adalah anak pemilik perkebunan tempat Ferry bekerja.
Ferry duduk di kursi satu-satunya di ruangan itu, menekur dan menyandarkan kedua sikunya di lutut. Ia lalu berkata pelan, "Saya yang melaporkan Iwan ke polisi."
"Saya tahu itu!" sergah Karin tidak sabar, masih bertolak pinggang di tengah ruangan, dan kini menjadi penguasa baru di panggung drama kecil di kantor polisi itu.
"Dia ditahan dengan tuduhan menggerakkan buruh memukuli Pak Rustandi," sambung Ferry, masih dengan suara pelan.
Iwan menggeram, tetapi cengkraman tangan Kino di bahunya membuat pemuda itu tidak jadi mengeluarkan pendapatnya.
"Saya tahu ada buruh memukuli Pak Rustandi!" sahut Karin dengan lantang, "Saya tahu Pak Rustandi menyebar gosip tentang hubungan saya dengan Iwan. Tetapi apa hubungannya ini dengan perusahaan?!"
"Nona Karin adalah pemilik perusahaan, jadi ....," Ferry tidak meneruskan kata-katanya.
"So what!?" potong Karin dengan logat asing yang sangat bagus, "Saya bercinta dengannya .... orang-orang mendengarnya dari pak tua itu .... lalu teman-temannya Iwan marah ... lalu mereka memukuli si tua itu .... so what!?"
"Itu perbuatan kriminal, Nona Karin," kata Ferry, terkejut melihat mulut Karin yang seksi itu berubah menjadi mitraliyur.
"Apa yang kriminal?" bentak Karin, "Apakah saya bercumbu dengan Iwan di sungai itu perbuatan kriminal!?"
Ferry terperangah, dan menyahut gugup, "Bukan .... bukan itu !"
"Apakah teman-teman Iwan yang marah itu berbuat kriminal karena memukul pak tua yang suka bergosip?!" bentak Karin tak memberi kesempatan.
Ferry kini terdesak. Tetapi ia perlu membela diri. Ia bangkit dari duduknya dan berkata setenang mungkin, "Memukul seorang petugas keamanan adalah perbuatan kriminal!"
"Petugas keamanan itu menyebar gosip!" bentak Karin.
Semua orang lainnya terbengong-bengong saja menyaksikan Ferry dan Karin saling membentak. Cepat sekali Ferry bertukar lawan. Tadi ia berkelahi melawan Iwan, kini melawan Karin. Manajer muda itu rupanya berbakat menjadi sparring partner!
Iwan mengangkat kedua tangannya, "Saya cuma menjalankan tugas, Nona Karin .... saya hanya menjalankan tugas!"
"Omong kosong!" desis Iwan, tidak cukup kuat untuk melibatkan dirinya dalam perdebatan Karin versus Ferry.
"Saya minta Pak Ferry mengurus pembebasan Iwan!" hentak Karin.
Manajer Humas meringis diam-diam. Sejak tadi ia sudah tidak bisa lagi mengerti apa yang terjadi di hadapannya. Kini ia ingin cepat-cepat keluar dari kantor keparat ini. Usul Karin sangat masuk akal baginya! Lebih baik cepat-cepat mengeluarkan Iwan dengan menarik tuntutan dan tuduhan, daripada berurusan dengan anak big boss yang suaranya lantang itu!
"Tetapi ...," Ferry menengok ke manajer Humas, meminta dukungannya. Tetapi yang dipandang cuma angkat bahu.
"Kalau tidak, saya akan menelpon Papa sore ini juga!" ancam Karin, "Saya akan bilang bahwa pacar saya ditahan di kantor polsisi, dan Pak Ferry yang menjerumuskannya!"
Ferry menelan ludahnya yang terasa pahit. Kalau sampai Karin menelpon hari ini ke ibukota, sementara foto-fotonya belum lagi dicetak, maka buyarlah sudah konspirasi yang ia susun. Foto-foto itu bisa jadi bumerang, kalau big boss menganggap bahwa Ferry adalah manajer muda yang suka mengintip anaknya bercumbu dengan pacarnya.
Iwan terperangah mendengar ucapan Karin. Sejak kapan ia menjadi pacar gadis itu?
Dani menahan senyumnya dan di dalam hati memuji kecepatan berpikir sepupunya.
Kino juga menahan senyum. Semua kejadian di hadapannya ini terasa menggelikan belaka. Bagaimana tidak? Sebuah urusan anak muda yang tidak bisa mengekang birahi berkembang menjadi gosip. ..... Lalu gosip itu berkembang menjadi picu bagi sebuah solidaritas antar buruh. ...... Lalu solidaritas itu menyinggung otoritas perusahaan dan negara. ....... Lalu Iwan dan Karin masuk ke dalam lingkaran kusut yang melibatkan perasaan sekaligus birahi. 
Sekarang akan ada persoalan baru: betulkah Iwan adalah kekasih Karin? Seandainya "ya" ... betulkah itu karena Karin tiba-tiba jatuh cinta. Seandainya "ya" .... betapa anehnya cinta yang terucap di sebuah kantor polisi!
Kino tertawa dalam hati: Sebuah cinta yang terbentuk setelah polisi ikut campur! Betapa anehnya!
*******
Iwan segera keluar dari tahanan polisi. Sebuah amplop dari perusahaan perkebunan memperlancar segala urusan. Para polisi menepuk-nepuk bahu pemuda itu ketika ia melangkah keluar dari tahanan. Segalanya lalu berjalan seperti biasa, seperti tidak ada apa-apa. Pertentangan telah berubah menjadi musyawarah. Sekian tangan sudah saling berjabatan. Kata-kata sopan sudah saling dipertukarkan. Segalanya kembali seperti biasanya.
Walau tentu saja tidak begitu halnya bagi Iwan. Pemuda ini kini menyandang gelar tidak enak: "bekas tahanan polisi". 
Itu gelar yang tidak senonoh untuk seorang pemimpin buruh. Barangkali mudah melupakan pengalaman buruk itu sebagai pribadi. Bahkan kedua orang tua Iwan pun dengan mudah bisa menganggap pengalaman Iwan sebagai sebuah kenakalan biasa. Sebuah kenakalan yang timbul karena anak-anak muda tidak bisa mengekang birahi dan gairah mereka. Gampang saja menganggap bahwa kejadian yang menimpa Iwan adalah pelajaran berharga baginya agar tidak mengulang kesalahan di kemudian hari.
Tetapi, "bekas tahanan" adalah seperti karat bagi besi. Seperti luntur di baju. Seperti codet luka di dahi. Ia tidak mudah hilang, terutama bagi seorang pemimpin dari sebuah kelompok yang juga sudah lama dikenai berbagai stigma. Sebuah kelompok yang sejak lama dipandang penuh curiga. Sebab kelompok itu, para buruh itu, bisa mengganggu jalannya roda industri penghasil uang dan devisa. Sebab kelompok itu, para buruh itu, bisa menjadi penantang utama kekuasaan perusahaan yang mendatangkan uang bagi negara.
Kalau sumber keuangan negara terancam oleh kelompok itu, maka kelompok itu adalah ancaman bagi negara. Begitulah logikanya. Sangat sederhana dan masuk akal, bukan?
Maka Iwan kini ada dalam pengawasan negara. Mungkin tidak secara langsung, tetapi lewat tangan-tangan negara yang panjang dan menjangkau diam-diam ke segala penjuru. Lewat catatan-catatan di kantor polisi yang dilanjutkan ke kantor camat, lalu diteruskan ke kantor lurah, ke para ketua RW dan akhirnya ke para ketua RT.
Diam-diam Iwan telah terpatri dalam memori raksasa perkasa yang bernama negara itu.
"Terimakasih atas segala bantuanmu," bisik Iwan sambil merangkul pinggang Karin.
Kino dan Dani berdiri di kejauhan, berdampingan menyaksikan pasangan itu berpelukan. Mereka menjemput Iwan di kantor polisi dan bermaksud mengantarkan pemuda itu kembali ke rumah. Kedua orangtua Iwan tidak tahu proses pelepasan ini, karena dua orang sederhana itu memang tidak pernah mengerti soal-soal hukum. Mereka menyerahkan segala urusan Iwan ke Iwan sendiri, atau ke teman-temannya, atau ke rekan-rekan buruhnya.
Rekan-rekan buruhnya tidak bisa ikut menjemput Iwan karena mereka harus bekerja. Terlebih lagi, karena mereka tidak mau kehilangan upah, karena Ferry mengancam barangsiapa yang menjemput Iwan ke kantor polisi akan dicatat namanya. Begitulah, bagi Ferry perjuangan melawan solidaritas buruh harus terus berlanjut.
Maka hanya Karin, Dani dan Kino yang menjemput Iwan di halaman kantor polisi. Lalu mereka pergi ke pinggir sungai merayakan pembebasan itu. 
Kini Karin dan Iwan bisa melepas rindu. Sementara Kino dan Dani menyaksikan dari kejauhan.
Lalu Dani berbisik, "Sebaiknya kita tinggalkan mereka ..."
Kino tersenyum maklum. Tanpa menjawab, ia membalikkan badan dan berjalan menjauh mengiringi langkah Dani.
Langit cerah. Awan berarak. Angin sepoi basah.
"Tidak mungkin Karin jatuh cinta," kata Dani pelan ketika mereka sudah jauh.
"Kenapa kamu begitu yakin?" tanya Kino.
"Iwan bukan tipe pria kesukaannya," jawab Dani.
"Lalu pria apa yang disukainya?"
"Kaya ..., berkuasa ..., bermasa depan gemilang ...," kata Dani sambil tertawa kecil.
"Tetapi ia membela Iwan mati-matian," sergah Kino.
"Itu cuma menyenangkannya sesaat. Ia suka petualangan yang menegangkan," sahut Dani.
"Dia gadis yang hebat!" kata Kino sambil tertawa, diikuti tawa Dani yang tergelak.
Seminggu kemudian Karin dan Dani kembali ke ibukota. 
Ferry dan Pak Rustandi tak lagi berbicara satu sama lain. Konspirasi mereka tak lagi berlanjut, dan Ferry membatalkan pesan mencetak foto-foto percintaan Karin dan Iwan. Tetapi ia tetap menyimpan filmnya, berharap bahwa suatu saat ia bisa menggunakannya untuk keuntungan pribadi.
Kino bertemu Iwan di suatu senja. Segalanya tampak biasa. Mereka mengobrol ke sana ke mari. Iwan tampak normal, seperti biasanya berbicara dengan penuh keyakinan. Segalanya tampak kembali ke keadaan sebelumnya, ke saat-saat sebelum Karin mengusik hidupnya. Seperti musim kembang, segalanya kini kembali ke masa sebelum putik merekah. Ke masa saat daun-daun masih merajai pepohonan, karena produksi makanan di tumbuh-tumbuhan itu sedang diarahkan untuk upaya pembuahan. Tidak ada lagi kembang dan bunga. Mereka akan muncul lagi di musim yang berikut. 
Mereka adalah kembang-kembang semusim.
"Dia gadis yang hebat ...," bisik Iwan di suatu saat.
Kino tersenyum. Menepuk bahu sahabatnya, ia berucap pelan, "Relax man !"
"Aku tidak jatuh cinta!" umpat Iwan, "Tetapi dia gadis yang hebat!"
"Siapa bilang kamu jatuh cinta?!" sahut Kino sambil tertawa.
"Jangan tertawa!" bentak Iwan.
Kino tertawa lebih keras lagi. Terbahak-bahak sampai air mata memenuhi kedua matanya.
End of this story...