Sejarah Republik memang tidak semata tersusun dari perjuangan fisik karena juga masih ada perjuangan diplomasi. Tetapi tak diragukan lagi bahwa heroisme dan patriotisme, khususnya semasa perang mempertahankan Kemerdekaan 1945-1949, kuat diwarnai romantika perjuangan fisik. Kisah-kisah dari front perlawanan pejuang Republik memang banyak melahirkan inspirasi.
Di tahun Kemerdekaan RI, lahir lagu Karangan Bunga dari Selatan yang romantis, berkisah tentang permintaan seorang pejuang pada kekasihnya kalau ia gugur di medan juang. Sementara di tahun 1946 lahir lagu-lagu terkenal, seperti Selamat Jalan Pahlawan Muda, Sepasang Mata Bola, dan Saput Tangan dari Bandung Selatan, dan setahun kemudian (1947) tercipta Juwita Malam dan Melati di Tapal Batas.
Bersama dengan lagu Gugur Bunga yang umumnya diperdengarkan di hari-hari nasional, atau manakala ada tokoh besar Republik tutup usia, Ismail lalu memang keluar dari konteks perjuangan Kemerdekaan semata. Ia-bersama dengan lagu-lagu romantisnya, seperti Rindu Lukisan-tidak saja terus menjadi komponis yang karya-karyanya banyak menjadi favorit generasi sepuh, tetapi ternyata juga terus merembes ke generasi muda.
Demikianlah Ismail Marzuki dan ciptaannya mampu menerobos kotak sejarah, walaupun tentu yang menjadi pertimbangan mendasar bagi negara untuk menganugerahinya gelar Pahlawan Nasional adalah pengaruh lagu-lagu perjuangan yang telah menggerakkan semangat juang bangsa Indonesia kala itu.
RIWAYAT yang telah banyak dikisahkan ini rasanya tetap menarik untuk dikisahkan kembali, khususnya ketika kini Ismail Marzuki telah ditempatkan ke status lebih mulia sebagai Pahlawan Nasional bagi bangsa Indonesia.
Ismail lahir pada tanggal 11 Mei 1914 di Kwitang, Jakarta. Putra Kwitang ini lalu menambahkan nama ayahnya-Marzuki-di belakang namanya, jadilah Ismail Marzuki, atau sering pula ditulis ringkas Ismail Mz. Ismail baru berumur tiga bulan ketika ibunya meninggal. Ia pun kemudian diurus oleh kakak perempuannya, Anie Hamimah, yang lebih tua 12 tahun dari dirinya.
Menamatkan sekolah HIS Idenburg, Menteng, hingga kelas 7, Maing lalu melanjutkan sekolah ke MULO di Jalan Menjangan, Jakarta. Tamat dari sini, Maing yang lancar berbahasa Belanda dan Inggris dengan mudah diterima bekerja di Socony Service Station di Java Weg (kini Jl Cokroaminoto, Jakarta) sebagai kasir. Tampaknya Maing tidak cocok di sini, lalu pindah ke perusahaan dagang KK Knies yang menjual alat musik dan merekam piringan hitam merek Polydor.
Maing betah bekerja di sini. Kesenangannya terhadap musik yang sudah ada sejak kecil seperti punya penyaluran. Koleksi piringan hitamnya pun lalu bertambah banyak. Rekaman aneka lagu, mulai dari keroncong, jali-jali, cokek, gambus, dan lagu-lagu Barat, terus bertambah banyak.
Konsekuen dengan kegemarannya, Maing membeli dengan uangnya sendiri piringan hitam yang lalu dengan tekun ia dengarkan melalui gramofon yang yang ada di rumahnya.
Boleh jadi, kesenangan Ismail terhadap musik yang demikian besar ini juga menurun dari ayahnya. Pak Marzuki dikenal sebagai orang yang rajin berzikir dan pintar main rebana. Maing cilik pun-sebelum minat memainkan alat musik- lalu juga ikut pintar menyanyi.
Perkembangan Ismail pun lalu kuat diwarnai dengan minat besar untuk memainkan berbagai alat musik. Tak kurang ukulele, gitar, banyo, biola, piano, akordion, saksofon, bisa ia mainkan.
Nyanyi, main musik, pastilah membutuhkan wadah untuk bisa tampil di hadapan publik. Ismail pun menemukan Lief Java yang dipimpin oleh Hugo Dumas. Sejak ia masuk ke orkes ini pada tahun 1937, saat berusia 23, berkembanglah secara luar biasa bakat-bakat kreatifnya. Ia membuat aransemen lagu-lagu Barat, keroncong, maupun langgam Melayu. Melalui Lief Java ini pula Ismail bisa ikut siaran radio NIROM (Nederlands Indische Radio Omroep Maatschappy) yang berdiri tahun 1934.
Sejak itulah Ismail tak pernah meninggalkan dunia radio, dan juga dunia menggubah dan mengaransemen lagu. O Sarinah menjadi lagu ciptaannya yang pertama, yang lalu direkam oleh Polydor dan Odeon bersama lagu Ali Baba Rumba, Olhe Lheu di Kotaradja, dan lainnya. Rekaman ini mendapat sambutan hangat, khususnya dari kaum muda.
Kepopuleran Ismail sendiri bertambah setelah ia mengisi suara untuk film Terang Bulan yang dibintangi Rd Mochtar. Dalam film ini Ismail menyanyikan lagu Duduk Termenung karena Rd Mochtar tak sanggup menyanyikannya. Premier film ini sukses besar, masyarakat ingin mendengar kemerduan suara Rd Mochtar yang sebenarnya berasal dari suara Ismail.
Kesuksesan Terang Bulan membawa Ismail dan Lief Java ke Singapura, Semenanjung Malaka (Malaysia), karena film ini juga sangat populer di sana.
ISMAIL yang pada tahun 1940 menikah dengan Eulis binti Empi, yang lalu berubah menjadi Eulis Zuraidah setelah Ismail memberi nama kedua tadi, terlibat tuntas dengan kehidupan bermusik.
Berkaitan dengan judul di atas, yakni yang menyangkut irama, tak sulit mengerti mengapa Ismail bisa berkembang menjadi ahli irama musik. Dari piringan hitam yang sering ia beli, ia juga banyak memilih lagu-lagu dari Perancis dan Italia. Tetapi selain itu ia juga menggemari lagu-lagu Latin. Besar kemungkinan ia akrab dengan lagu-lagu Xavier Cougat. Oleh karena itu pula ia akrab dengan irama rumba, samba, tango, dan beguine, dan rag. Ini semua tentu di luar irama keroncong dan irama yang waktu itu populer di Tanah Air. Musik Dixieland pun bukan jenis yang asing bagi Ismail.
Dalam artikelnya tentang Ismail di Pikiran Rakyat (22/11/1987), Yadi Suyadi WS menulis, kalau sampai Ismail bisa mengambil peran sebagai instrumentalis, penyanyi, penulis lirik lagu, dan juga pencipta lagu, itu tidak mengherankan. Kesenangannya mendengarkan lagu, mendengarkan lagu yang disukai berulang-ulang, membawakan diri sebagai pendengar yang baik adalah "kunci kemahiran bakatnya menghasilkan karya-karya cipta yang terkenal sesudah itu".
Ismail menganalisis sebuah lagu, ia simak susunan harmoninya. Ia juga membuka buku perpustakaan untuk mencari rujukan mengenai teori musik, mengani tangga nada, ilmu melodi, komposisi, lalu mencobanya di piano yang tekun ia geluti.
Tokoh besar ini jatuh sakit tahun 1956. Di tahun 1957 ia masih menyerahkan ciptaan terakhir berjudul Inikah Bahagia, dan setelah itu ia sakit makin parah. Pak Maing dipanggil menghadap Ilahi pukul 14.00 pada tanggal 25 Mei 1958, pada usia 44 tahun.