KEMERDEKAAN Indonesia yang diproklamirkan tanggal 17 Agustus 1945 di Jakarta secara resmi diterima Gunco/Demang KA Latif di Tanjungpandan pada 6 September 1945 melalui kawat yang dikirim oleh Residen Bangka Belitung Masyarif. Namun, kawat yang berisi maklumat resmi dari Presiden Soekarno itu tidak diyakini betul oleh KA Latif. Karena itu, maklumat yang juga berisi ajakan untuk mengibarkan bendera Merah Putih di seluruh nusantara tidak langsung tersebar luas.
Berita kemerdekaan Indonesia tetap tidak tersebar luas hingga masa KA Muhammad Jusuf yang menggantikan KA Latif pada 29 September 1945. KA Muhammad Jusuf ketika itu berpangkat Departements Hoofd. Karenanya, pada 8 Oktober 1945 empat pejuang, yaitu Moch Saat, Mahran, Elias dan KA Djohar, mendesak KA Muhammad Jusuf untuk mengumumkan kemerdekaan RI serta menjelaskan dukungan rakyat Belitung terhadap kemerdekaan Indonesia.
Usaha ini tidak sia-sia. Pada tanggal 16 Oktober 1945, KA Muhammad Jusuf akhirnya mengumumkan kemerdekaan Republik Indonesia kepada rakyat di Sekolah HIS ––sekarang SMP Negeri 1 Tanjungpandan. Esok harinya, 17 Oktober 1945, Komite Nasional Indonesia (KNI) terbentuk.
Di Belitung Timur beda lagi. Pemuda di sana antara lain Boerhan, Amir Siregar, Sutan Arbi, P Lubis, Abdullah Zaini dan HM Jasin melaksanakan pengibaran bendera Merah Putih pada 12 Oktober 1945 di Taman Kemajuan GMB Lipat Kajang Manggar tepat pada pukul 10.00 WIB. Lalu, pada 14 Oktiber 1945 para pemuda memprotes pimpinan pemerintahan setempat yang tidak juga mengumumkan maklumat kemerdekaan RI, padahal sudah diketahui rakyat.
Protes ini berbuah hasil. Tanggal 15 Oktober 1945 mereka akhirnya diundang untuk membentuk Komite Nasional Indonesia Cabang Belitung Timur. Namun, yang hadir saat itu tidak memenuhi syarat sehingga pembentukan Komiter Nasional Indonesia Cabang Belitung Timur baru terlaksana pada 16 Oktober 1945.
Bertempur Lima Hari
Kasman Suwarno, veteran yang kini menjabat sebagai Ketua Markas Cabang Legiun Veteran Republik Indonesia (MCLVRI) Belitung. Pria kelahiran 29 September 1929 ini pernah mengecap ganasnya pertempuran di Palembang, Sumatera Selatan. Pertempuran itu berlangsung secara sporadis selama lima hari lima malam, sejak 1 hingga 5 Januari 1947.
Pada masa itu, Kasman adalah pemimpin Laskar Napindo sebagai komandan pleton, dengan pangkat letnan dua. Tanggal 5 Januari 1947, pasukan Kasman dibom Belanda. Diantara yang gugur terdapat rekannya yaitu Letda Yasin.
Kasman mengenang ia masih berada di Asrama Heiho ketika Proklamasi Kemrdekaan Republik Indonesia diproklamirkan Soekarno-Hatta. Kabar proklamasi sendiri baru diketahui pada tanggal 24 Agustus 1945 dari dr Hatta Gani, rekan Kasman.
Tidak ada yang mampu terucap ketika itu. Seluruh anggota pasukan terdiam membisu dan meneteskan air mata. “Kami saat itu menangis gembira. Sejak saat itu kami giat berlatih perang. Setelah itu berdirilah Korps Sriwijaya,” kata Kasman.
Kurir Surat
Kisah hidup FX Hardono beda lagi. Cara berjuang anak seorang veteran ini tidak dengan mengangkat senjata, namun dengan cara menjadi kurir surat. Ketika itu Hardono memang masih kecil, jadi penjajah tidak menaruh curiga pada Hardono kecil yang lalu lalang membawa surat untuk pasukan yang tengah bergerilya.
Yang aktif dalam perjuangan bersenjata adalah orang tuanya, Harjo Sumarto, dan kedua kakak kandung Hardono, yaitu Soebono dan Moelyono di Salatiga Jawa Tengah. Bahkan kakak kandung Hardono tewas di medan perang dan hingga kini tidak diketahui dimana persisnya makamnya.
“Kakak saya Soebono tewas di Ambarawa dan Moelyono tewas di sebelah utara Solo,” kata Hardono yang kini menjabat sebagai Sekretaris MCLVRI Belitung. Hardono menambahkan, proklamasi kemerdekaan ia ketahui bersama keluarga melalui radio. Mereka pun akhirnya berteriak ’Merdeka‘ dan mengenakan bendera Merah Putih di dada kanan. Sejak 17 Agustus 1946 barulah seluruh daerah menggelar upacara peringatan Detik-detik proklamasi.
Tahun 1954, Hardono menjadi guru. Kemudian ia mendaftarkan diri menjadi tentara untuk dikirim dalam perjuangan pembebasan Irian Barat. Bersama 500-an orang, Hardono mengikuti pelatihan militer selama delapan bulan. Setelah pelatihan, sekitar 200 orang termasuk dirinya, ternyata tidak jadi dikirim karena berlatar belakang guru dan bukan murni mahasiswa. Duaratusan orang ini akhirnya dikirim untuk membantu pengamanan di perbatasan saat RI berkonfrontasi dengan Malaysia. (Sumber. Buku Sejarah Perjuangan Rakyat Belitung 1924-1950/Bangkapos)