Jakarta - Gus Dur mengancam. Jika tidak diakomodasi, jamaahnya akan disuruh menjadi Golongan Putih (Golput). Kalkulasi Gus Dur, tidak ada seruan saja, Golput sudah di atas 40 persen. Maka jika diajak, Pemilu tahun 2009 nanti Golput akan menaik tajam hingga di atas 60 persen.

Gus Dur mungkin betul. Sebab semakin tahun, tingkat partisipasi rakyat untuk memanfaatkan power vox populi vox dei terus menurun. Penurunan itu selain karena tidak ada lagi pemaksaan untuk nyoblos seperti di era Orde Baru. Juga timbulnya kesadaran, selama ini yang diberi kuasa banyak yang tidak amanah. Dan nyoblos atau tidak nyoblos, nasib rakyat tidak berubah.
Teman-teman saya yang berasal dari rakyat jelata seperti saya mungkin bisa dijadikan contoh konkret. Betapa merakyatnya teman-teman saya itu ketika ‘masih’ menjadi rakyat. Tapi ketika tampil sebagai petinggi partai, petinggi eksekutif, dan petinggi dewan, tiba-tiba ada yang hilang. Mereka jadi elitis dan tidak populis lagi.
Saya sering bertanya pada mereka tentang 'keanehan' itu. Sebab rakyat yang berasal dari rakyat dan mendapat amanat rakyat untuk menjadi pemimpin rakyat, mengapa tiba-tiba roh rakyatnya hilang. Jawab mereka hanya he he he he.
Jawaban yang tidak terjawab itu akhirnya dijawab waktu. Teman-teman 'rakyat yang sudah tidak merakyat' itu seperti baru bangun dari mimpi buruk. Habis menghuni rumah pribadi berpindah ke rumah dinas. Dan tiba-tiba saja mereka menempati rumah prodeo. Penjara. Naudzubillah !
Politik memang kekuasaan. Kekuasaan bukan untuk sekadar berkuasa, tapi untuk menuju cita-cita luhur, damai, aman dan sejahtera. Hak politik rakyat memang dipilih dan memilih. Pilihan itu didasarkan pada keinginan untuk memilih, dan tentu, siapa yang diinginkan untuk dipilih. Jika rakyat tidak punya keinginan dan tidak ada yang diinginkan, maka secara kemanusiaan sah untuk tidak menjatuhkan pilihan.
Dalam ranah politik sekarang, memang pilihan itu semakin banyak. Partai politik bertumbuhan, kendati yang dijual tidak heterogen. Secara general hanya ada tiga atau empat menu utama yang dipajang di etalase. Itu yang sering mengundang pertanyaan nawaitunya mendirikan partai. Adakah partai itu lahir karena didasari niat untuk memperbaiki keadaan dan memakmurkan rakyat. Atau hanya langkah ringan meraih kekuasaan an sich.
Pertanyaan-pertanyaan macam itu yang 'memalaskan' rakyat untuk menuju bilik suara. Dalam hati kecil mereka bertanya, mengapa harus memilih dan menjatuhkan pilihan jika tidak ada manfaatnya. Toh pembelajaran yang diterima rakyat selama ini hanyalah kaca buram. Rakyat dirangkul ketika dibutuhkan, dan rakyat diacuhkan ketika suaranya sudah diberikan.
Pemilu mendatang, Gus Dur menyeru atau tidak, banyak kalangan yang pesimis pesta itu disambut sukacita. Jika pada Pemilu presiden tahun 2004 pada putaran pertama partisipasi rakyat masih 78, 23 persen dan melorot di putaran kedua menjadi 77, 44 persen, maka bisa saja angka-angka itu akan terdegradasi tajam.
Untuk mengantisipasi itu tak perlu sosialisasi dengan gembar-gembor dan pajang sponsor. Rakyat tahu itu tisani alias tipu sana tipu sini. Beri saja tauladan yang baik dan buktikan manfaatnya bagi rakyat, maka semua akan berbondong-bondong datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS).
Tapi jika tingkahlaku para penguasa masih seperti manusia di menara gading, maka Golput pasti jadi panglima. Sebab gagasan Arief Budiman itu fungsinya sebagai cawan penampung. Menampung suara liar dari kalangan yang tidak mau bersuara. Dan dia berwujud keresahan yang bisa saja mengubah segalanya secara revolusioner.
Adakah Golput yang menurut Ali Moertopo seperti kentut itu sebahaya itu?
Memang ada Golput permanen yang indah dan teduh tapi apolitik. Itu terletak pada sikap santri dan para kiai di pondok salaf Benda Dalam, Cirebon. Di tempat ini, hak politik itu sudah dikubur. Mereka tak mau nyoblos dan daftar untuk dicoblos.
Itu dilakukan dengan kesadaran penuh, yang dilambari semangat keimanan. Urusan akherat wajib dinomorsatukan. Persoalan dunia perlu dijauhkan. "Ya kita cuma tidak ingin ada yang disenangkan dan ada yang disakiti," kata Kang Ishomuddin, salahsatu kiai di pondok ini merendah.
Nah sekarang silahkan pilih Golput Arief Budiman, Golput Kang Ishom, atau partai politik. Toh memilih itu tidak penting, sejauh memang tidak ingin menjatuhkan pilihan. Apalagi secara filosofis, tidak memilih itu hakekatnya juga memilih, karena itu adalah salah satu pilihan.
Keterangan Penulis:
Djoko Su'ud Sukahar, pemerhati budaya, tinggal di Jakarta. Alamat e-mail jok5000@yahoo.com.
Sumber