Habis honeymoon, baru ketahuan deh, bagaimana nyebelinnya Si Dia. Biasanya, “percikan api” muncul saat dirasakan ada perbedaan-perbedaan yang tak terjembatani. “Bisa dimaklumi, dua orang yang selama pacaran hanya sesekali bertemu, kini bertemu setiap hari, bahkan setiap saat. Nah, mulailah ketahuan ada hal-hal yang ternyata bisa menimbulkan friksi,” kata psikolog Roslina Verauli, M.Psi.

“Perbedaan-perbedaan ini bisa mencuat kemudian menjadi ‘ketegangan’ buat si pengantin baru,” tutur pengajar di Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara, Jakarta ini. Berlalunya bulan madu, berarti kini kapal tengah berlayar di laut lepas. Komitmen suami istri amat dituntut untuk bersama-sama menghadapi gelombang kehidupan, sebesar apa pun. Seganas apa pun yang menantang mereka dalam perjalanan, harus siap ditaklukkan bersama. Sayangnya, belum banyak yang memahami bahwa proses saling menyesuaikan diri secara terus-menerus sepanjang usia perkawinan merupakan bentuk nyata dari gelombang dan badai yang menantang tadi.
Penyesuaian yang dimaksud Vera di sini adalah tarik-ulur seputar sifat ekstrem masing-masing yang bisa mengganggu hubungan suami-istri. Kalau kita kelewat royal, contohnya, ya minimalkan. Sebaliknya, apa yang menjadi kelebihan kita masing-masing, ya gunakan untuk memperkaya hubungan suami-istri. Tentu saja pihak lain pun harus menghargai suami/istrinya atas usahanya untuk menyesuaikan diri. Istri yang gila belanja, contohnya.
Kalau istri sudah mati-matian mengurangi frekuensi shopping, mengapa suami tidak menunjukkan sikap lebih melayani? Atau kalaupun ia tetap tak bisa mengurangi hobi belanjanya, belilah barang-barang yang bisa diinvestasi, seperti emas atau saham, dan bukan hanya barang-barang konsumsi. Hal-hal inilah yang disebut penyesuaian.
Yang tak boleh dilupakan, penyesuaian diri akan berlangsung seumur perkawinan. Bukankah kehidupan perkawinan bersifat dinamis? Mau tidak mau, strategi menghadapi semua hal yang terbuka usai bulan madu adalah keberanian dan kesediaan menyesuaikan diri.
BUKA-BUKAAN SEJAK AWAL
Kejutan yang tidak menggembirakan usai bulan madu sebenarnya bisa diminimalisasi, bila di masa pacaran kedua belah pihak tak kelewat jaim alias berani mengedepankan kekurangan diri tanpa harus takut kehilangan Si Dia.
Hal-hal yang sering mengejutkan pasangan antara lain pola aktivitas, kebiasaan di masa lajang, prinsip, harapan dan falsafah hidup, serta masalah seputar kehidupan seksual. Konkretnya, kebiasaan kita menyimpan dan membelanjakan uang, aktivitas selama tidur dan saat bangun tidur, pandangan tentang agama sampai soal seks.
Seperti diungkap situs www.ivillage.com, dari beberapa ratus pasangan menikah yang baru saja melewati masa bulan madu, sebagian mengaku "kedok" yang terbuka setelah kembali ke rumah adalah pola hubungan seksual, pengaturan keuangan, kebutuhan sosial dan rekreasi, hubungan dengan mertua dan para ipar, perbedaan dalam kepercayaan, dan konflik dalam memilih sahabat. Tentu saja daftar ini jadi lebih panjang bagi mereka yang memiliki latar belakang kehidupan yang bertolak belakang. Ditambah, perbedaan-perbedaan tersebut tidak pernah dikomunikasikan untuk dicarikan jalan tengahnya. Jangan pernah berharap masing-masing serta-merta berubah menjadi individu yang diharapkan begitu menikah.
Masih menurut Vera, ada beberapa hal yang masih dianggap tabu, sehingga kita tidak terbiasa mengomunikasikannya ketika hendak menikah. Salah satunya soal uang dan kehidupan seksual. Padahal, ini pun amat penting dikomunikasikan agar tidak menjadi problem ketika kehidupan perkawinan yang sesungguhnya dimulai. Semestinya, masing-masing pihak memiliki kadar keberanian yang cukup untuk mengemukakan secara jujur apa pandangannya tentang uang dan seks di dalam perkawinan.
Boleh jadi, suami yang tiba-tiba tahu istrinya gila belanja lantas dirundung perasaan kesal karena merasa dibohongi. "Kalau saja terbuka sejak awal, calon suami mungkin akan bergegas menyesuaikan diri. Entah dengan bekerja lebih giat agar bisa menyenangkan istrinya atau berjanji akan mengarahkan cara belanja istrinya," tambah Vera.
Jadi, kuncinya adalah komunikasi dan bukannya lama atau singkatnya masa pacaran. Lewat komunikasi yang intensif, seyogianya masing-masing tahu apa yang diinginkannya dalam perkawinan. Mengutarakan secara jujur sikap hidup, kebiasaan, perasaan, dan pergumulan-pergumulan pribadi jauh-jauh hari sebelum pernikahan, sama pentingnya dengan mengutarakan cinta dan pengharapan. Jika tekanan-tekanan dalam kehidupan pernikahan sudah dipersiapkan untuk sama-sama dihadapi, tentu penyesuaian diri akan jadi lebih mudah. Perasaan "tertipu brosur" tak mungkin muncul. "Bila perlu, minta bimbingan seorang premarital konselor yang bisa mendorong dan membimbing ke arah komunikasi yang baik," tutup Vera.
KEJUTAN YANG INDAH
Jangan khawatir, ada banyak juga kejutan yang menyenangkan seusai bulan madu. Misalnya, suami yang tadinya sewaktu pacaran terlihat cuek dan dingin, ternyata setelah menikah penuh perhatian dan sangat romantis.
“Mungkin sewaktu pacaran yang bersangkutan punya kendala etika atau moral sehingga ia kelihatan kurang ekspresif. Tapi kini setelah jadi suami, kan, sudah tidak ada batasan apa-apa lagi yang membuatnya merasa sah-sah saja mengutarakan cintanya dengan cara apa pun. Tentu saja kejutan ini sangat menyenangkan untuk si istri dan patut disyukuri,” komentar Vera.
Atau, istri yang semasa pacaran terkesan amat boros dengan hobi belanjanya. Akan tetapi, setelah berumah tangga termyata begitu pandai mengatur keuangan, sehingga semua pos belanja bisa tercukupi ditambah lagi selalu ada sisa yang pantas untuk ditabung.
Kejutan yang menggembirakan, bukan? Yang terpenting adalah kedewasaan untuk menerima kejutan tersebut sekaligus menyikapinya dengan bijak.
sumber : http://www.kompas.com/read/xml/2008/06/ ... bulan.madu