Ini ada artikel dari milis tetangga, semoga bermanfaat, dan maaf bila sudah pernah membaca.
"NDESO"
oleh : Ika S. Creech *)
Deso (baca ndeso) itulah sebutan untuk orang yang norak, kampungan, udik,
shock culture, Countrified dan sejenisnya. Ketika mengalami atau merasakan
sesuatu yang baru dan sangat mengagumkan, maka ia merasa
takjub dan sangat senang, sehingga ingin terus menikmati dan tidak ingin
lepas, kalau perlu yang lebih dari itu. Kemudian ia menganggap hanya dia
atau hanya segelintir orang yang baru merasakan dan mengalaminya. Maka ia
mulai atraktif, memamerkan dan sekaligus mengajak orang lain untuk turut
merasakan dan menikmatinya, dengan harapan orang yang diajak juga sama
terkagum-kagum sama seperti dia.
Lebih dari itu ia berharap agar orang lain juga mendukung terhadap
langkah-langkah untuk menikmatinya terus-menerus. Hal ini biasa, seperti
saya juga sering mengalami hal demikian, tetapi kita terus berupaya untuk
terus belajar dari sejarah, pengalaman orang lain, serta belajar bagaimana
caranya tidak jadi orang norak, kampungan alias deso.
Semua kampus di Jepang penuh dengan sepeda, tak terkecuali Dekan atau bahkan
Rektorpun ada yang naik sepeda datang ke kampus. Sementara si Pemilik
perusahaan Honda tinggal di sebuah apartemen yang
sederhana. Ketika beberapa pengusaha ingin memberi pinjaman kepada
pemerintah Indonesia mereka menjemput pejabat Indonesia di Narita. Dari
Tokyo naik kendaraan umum, sementara yang akan dijemput, pejabat Indonesia
naik mobil dinas Kedutaan yaitu Mercy.
Ketika saya di Australia berkesempatan melihat sebuah acara ceremoni dari
jarak yang sangat dekat, dihadiri oleh pejabat setingkat menteri, saya
tertarik mengamati pada mobil yang mereka pakai Merk Holden baru yang paling
murah untuk ukuran Australia. Yang menarik, para pengawalnya tidak terlihat
karena tidak berbeda penampilannya dengan tamu-tamu, kalau tidak jeli
mengamati kita tidak tahu mana pengawalnya.
Di Sidney saya berkenalan dengan seorang pelayan restoran Thailand. Dia
seorang warga Negara Malaysia keturunan cina, sudah selesai S3, sekarang
lagi mengikuti program Post Doctoral, Dia anak serorang pengusaha yang kaya
raya. Tidak mau menggunakan fasilitas orang tuanya malah jadi pelayan. Dia
juga sebenarnya dapat beasiswa dari perguruan tingginya.
Satu bulan saya di jepang tidak melihat orang pakai hp communicator, mungkin
kelemahan saya mengamati. Dan setelah saya baca Koran ternyata konsumen
terbesar hp communicator adalah Indonesia. Sempat berkenalan juga dengan
seorang yang berada di stasiun kereta di Jepang, ternyata dia anak seorang
pejabat tinggi Negara, juga naik kereta. Yang tak kalah serunya saya juga
jadi pengamat berbagai jenis sepatu yang di pakai masyarakat Jepang ternyata
tak bermerek, wah ini yang deso siapa yaa?
Sulit membedakan tingkat ekonomi seseorang baik di Jepang atau di Australia,
baik dari penampilannya, bajunya, kendaraannya, atau rumahnya. Kita baru
bisa menebak kekayaan seseorang kalau sudah tahu pekerjaan dan jabatanya
diperusahaan. Jangan-jangan kalau orang Jepang diajak ke Pondok Indah bisa
pingsan melihat rumah segitu gede dan mewahnya. Rata-rata rumah
disana memiliki tinggi plafon yang bisa dijambak dengan tangan hanya dengan
melompat. Sehingga duduknya pun banyak yang lesehan.
Ketika Indonesia sedang terpuruk, hutang lagi numpuk, rakyat banyak yang
mulai ngamuk, Negara sedang kere, banyak yang antri beras, minyak tanah,
minyak goreng dll. Maka harga diri kita tidak bisa diangkat dengan medali
emas turnamen olah raga, sewa pemain asing, banyak ceremonial yang
gonta-ganti baju seragam, baju dinas, merek mobil, proyek mercusuar, dll,
dsb, dst.
Bangsa ini akan naik harga dirinya kalo utang sudah lunas, kelaparan tidak
ada lagi, tidak ada pengamen dan pengemis, tidak ada lagi WTS (di Malaysia
"Wanita Tak Senonoh") , angka kriminal rendah, korupsi berkurang, punya
posisi tawar terhadap kekuatan global. Maka orang Deso (alias norak) tidak
mampu mengatasi krisis karena tidak bisa menjadikan krisis sebagai paradigma
dalam menyusun APBD dan APBN. Nah karena yang menyusun orang-orang norak
maka asumsi dan paradigma yang dipakai adalah Negara normal atau bahkan
mengikut Negara maju. Bayangkan ada daerah yang menganggarkan Sepak Bola 17
Milyar sementara anggaran kesranya 100 juta, wiiieh!
Akhirnya penyakit norak ini menjadi wabah yang sangat mengerikan dari atas
sampai bawah :
- Orang bisa antri Raskin sambil pegang hp
- Pelajar bisa nunggak SPP sambil merokok
- Orang tua lupa siapkan SPP, karena terpakai untk beli tv dan kulkas
- Orang bule mabuk krn kelebihan uang, Orang kampung mabuk beli minuman
patungan
- Pengemis bisa pake walkman sambil goyang kepala
- Para Pengungsi bisa berjoged dalam tendanya
- Orang beli Gelar akademis di ruko-ruko tanpa kuliah
- Ijazah S3 luar negeri bisa di beli sebuah rumah petakan gang sempit di
Cibubur
- Kelihatannya orang sibuk ternyata masih sering keluar masuk McDonald
- Kelihatannnya orang sangat penting, ternyata sangat tahu detail dunia
persepakbolaan
- Kelihatan seperti aktivis tapi habis waktu untuk mencetin hp
- 62 tahun merdeka, lomba-lombanya masih makan kerupuk saja
- Agar rakyat tidak kelaparan maka para pejabatnya dansa dansi di acara
tembang kenangan.
- Agar kampanye menang harus berani sewa bokong-bokong bahenol ngebor
- Agar masyarakat cerdas maka sajikan lagu goyang dombret dan wakuncar
- Agar bisa disebut terbuka maka harus bisa buka-bukaan
- Agar kelihatan inklusif maka hrs bisa menggandeng siapa saja, kalau perlu
jin tomang juga digandeng
Yang lebih mengerikan lagi adalah supaya kita tidak terlihat kere, maka
harus bisa tampil keren. Makin kiamatlah kalo si kere tidak tahu dirinya
kere.
*) Penulis adalah Putra Indonesia Asli, kini bertempat tinggal di Paris,
Perancis, dan bekerja sebagai Pembawa Acara di salah satu stasiun di
Perancis.