Gurnam Singh (lahir di Punjab, India pada 16 Agustus 1931) adalah mantan pelari Indonesia yang meraih tiga medali emas pada cabang lari pada Asian Games keempat di Jakarta pada tahun 1962, masing-masing pada nomor lari maraton, 5000 dan 10000 meter.
Keberhasilannya tersebut membuatnya diberikan hadiah berupa 20 ekor sapi, dua buah mobil, serta sebuah rumah di Gang Sawo, Medan. Setelah itu kehidupannya mulai tidak menentu; istrinya membawa pergi keenam anaknya pada tahun 1969. Kemudian pada tahun 1972, rumahnya digusur pemerintah daerah karena tidak mempunyai izin mendirikan bangunan (IMB).
Sejak saat itu ia hidup berpindah-pindah, dari satu kerabat ke kerabat lainnya. Terakhir, pada tahun 2003, ia tinggal di sekolah khusus keturunan India di Medan.
Mantan Manusia Tercepat Asia yang Terlunta-lunta
Di era 1960-an, Indonesia memiliki Gurnam Singh, pelari tercepat Asia yang telah membawa harum nama bangsa. Ironisnya, kini di usianya yang senja, Gurnam hidup terlunta-lunta, bahkan harus menunggu belas kasihan kerabat maupun orang-orang yang mengenalnya. Selain tak memiliki rumah, Gurnam pun hanya menggunakan sebuah sepeda tua sebagai kendaraannya. Baru-baru ini, SCTV menjumpai Gurnam di Medan, Sumatra Utara.
Bagi generasi muda saat ini, sosok lelaki tua keturunan India ini mungkin tidak pernah dikenal. Namun bagi kalangan muda di era 1960-an, nama Gurnam Singh cukup terkenal dan akrab di telinga para olahragawan, khususnya atlet lari. Lelaki yang kini berusia 72 tahun itu pernah mengharumkan nama bangsa Indonesia pada 1962. Presiden RI Soekarno pun sempat menjadikan Gurnam sebagai tamu kehormatan dan memberinya 20 ekor sapi serta dua unit mobil. Ketika itu, ia mampu menorehkan prestasi sebagai atlet tercepat Asia dengan meraih tiga medali emas pada ASEAN Games ke-4 yang berlangsung di Jakarta.
Namun prestasi yang diukirnya 40 tahun silam, ternyata tidak membuat kehidupan Gurnam seperti layaknya mantan atlet lainnya. Rumah yang didapat atas kepiawaian berlari terpaksa digusur oleh pemerintah daerah setempat pada 1972. Rumah mungil di Gang Sawo Medan itu terpaksa dibongkar aparat pemda karena dianggap tak memiliki izin mendirikan bangunan.
Sejak itulah, lelaki tua kelahiran 16 Agustus 1931 ini terpaksa hidup berpindah-pindah, dari satu kerabat ke kerabat lainnya. Bahkan mantan atlet nasional itu sempat tinggal di sebuah kuil yang terletak di kawasan Polonia Medan. Yang menyedihkan bagi Gurnam, yakni setiap orang kini mencibir dirinya. "Sekarang saya tak punya rumah dan setiap orang anggap remeh saya," keluh lelaki berjambang itu.
Selain tak memiliki rumah, Gurnam kini hanya menggunakan sebuah sepeda tua sebagai kendaraan bepergiannya. Penghargaan atas prestasi yang diraihnya di masa lampau, seperti medali emas ASEAN Games dan medali-medali yang diperoleh dalam berbagai kejuaraan internasional di Rumania, Filipina, dan Malaysia telah dijual untuk menyambung hidupnya. Gurnam Singh memang telah membawa harum nama bangsa Indonesia, namun prestasinya kini hanya menjadi sebuah kenangan atau telah pupus bersama perubahan kehidupan.
Nasib Peraih 3 Medali Emas Asian Games 1962
Nasib malang nampaknya tak pernah luput dari pria kelahiran Punjab, India 16 Agustus 1931. Tubuhnya yang sudah renta serta pakaiannya yang compang-camping seolah tak menunjukan kalau kekek berusia 72 tahun itu adalah mantan pelari nasional yang pernah mengharumkan nama Indonesia di Asian Games 1962. Satu-satunya benda berharga yang dibawanya sebagai bekal ke Jakarta adalah fotocopy KTP (Kartu Tanda Penduduk) usang yang masa berlakunya telah habis sejak 1981.
Saat dijumpai SH, di Stadion Madya Gelora Bung Karno, Jumat (5/6), Gurnam memang menunjukkan fotocopy KTP-nya tersebut. Ia mengaku bahwa kehadirannya di Jakarta adalah memenuhi undangan Panitia Pekan Olahraga Perbankan (Porbank) IX pada pertengahan April lalu.
Saat itu Gurnam memang mendapatkan santunan sebesar Rp10 Juta, namun sayang uang tersebut dimasukkan ke dalam rekening yang hanya dapat dicairkan di Medan. ”Waktu itu saya mendapat tiket pesawat pulang-pergi, namun saat ini tiket pulangnya sudah tidak bisa dipergunakan lagi,” ujar Gurnam sambil terbata-bata dengan logat melayunya yang cukup kental.
Ia juga menyebutkan bahwa alasannya tidak langsung pulang ke Medan usai menerima santunan tersebut, karena tidak mengerti kalau tiketnya tersebut akan hangus jika tidak dipakai sesuai tanggal berlaku. Berawal dari ketidaktahuannya itu, jawara lari jarak jauh di era 60-an itu, kini harus menjadi ”tunawisma” di Jakarta.
Selama di Jakarta Gurnam tak punya tempat tinggal yang pasti. Terkadang ia terlihat di wilayah Pasar Baru dengan komunitas India. Namun sesekali ia juga bertandang ke Stadion Madya Gelora Bung Karno, tempat ia pernah menyumbang 3 emas dari nomor lari marathon, 5000 dan 10000 meter di Asian Games II/1962 Jakarta.
Nasib serupa memang tidak jauh beda dengan kehidupan yang dialaminya di Medan. Sejak ditinggal istrinya yang membawa pergi 6 anaknya pada tahun 1969, kehidupan Gurnam memang tak menentu. Apalagi sejak satu-satunya rumah peninggalan yang didapatnya dari kepiawaiannya berlari, terpaksa digusur pemerintah daerah pada tahun 1972 karena tidak memiliki izin mendirikan bangunan. ”Dulu saya punya rumah di Gang Sawo, Medan, namun itu tinggal kenangan saja,” ungkap Gurnam yang terpaksa tinggal di sebuah sekolah khusus keturunan India di Medan.
SUARA PEMBARUAN DAILY
Dulu Atlet Hebat, Kini Jatuh Melarat
JUMAT sore itu, halaman depan gedung direksi Gelora Bung Karno mulai lengang. Gurnam Singh berbaring santai di bangku panjang. Kerindangan pohon akasia membuatnya terlelap. Tak banyak yang tahu, pria berusia 75 tahun itu mantan atlet hebat.
Nama Gurnam Singh tidak terdengar asing bagi penggemar atletik di masa lalu. Gurnam cukup tenar pada tahun 1960-an. Pria keturunan Sikh yang besar di Medan, Sumatera Utara ini adalah pelari peraih medali perak di Asian Games tahun 1962. Sejumlah nomor lari jarak jauh, seperti 5.000 meter, 10.000 meter, dan lari maraton menjadi arena kehidupannya.
Penampilan Gurnam tak lagi segagah dulu. Pria bersorban ini tampak lesu. Meskipun tinggi badannya mencapai 180 cm, Gurnam kerap membungkuk. Kemeja batik kusam dan celana panjang lusuh cukup sering melekat di tubuhnya. Sesekali dia, melepas kaus kaki yang juga sudah kumal. Gurnam tak banyak bicara.
Sosok Gurnam bukan lagi asing. Nyaris sehari penuh, dia lontang-lantung di Gelora Senayan. Seringkali dia tidur di emperan atau bangku. Setelah bangun beberapa jam, dia tidur lagi hingga berjam-jam. Dapat makankah dia? Entahlah. Setelah gagal bertemu pejabat olahraga, Gurnam pulang sore hari.
Atlet Hebat
Buat Gurnam, roda nasib berputar terlalu cepat. Di ajang pesta olahraga Asian Games 1962, Jakarta, namanya dielu-elukan bak pahlawan. Namun setelah puluhan tahun berlalu, masihkah orang menghormati Gurnam sang juara? Masih adakah orang yang menghargainya setelah membela nama bangsa di Asian Games?
Di Asian Games IV, Gurnam meraih medali pertama bagi kontingen Indonesia di Asian Games 1962 nomor 10.000 meter.
Sayang, kehidupan Gurnam tak seindah medali perak yang pernah diraihnya dulu. Sepintas, orang mungkin mengiranya gelandangan gila. Apalagi jika mendengar maksud Gurnam menemui Menpora Adyaksa Dault dan Ketua Umum KONI Pusat Agum Gumelar.
Sejak datang dari Medan pada Agustus 2005 lalu, Gurnam mengungkapkan niatnya itu. Dia seolah tak bosan menunggu kesempatan. Itulah sebabnya, Gurnam bolak-balik datang ke Kantor Menpora dan KONI Pusat. Namun hingga bulan keenam, Februari 2006, kata Gurnam, dia belum juga bertemu dengan Menpora.
"Saya sudah menunggu enam bulan di sini, tapi banyak yang bilang, menteri tidak ada. Saya mau membicarakan dengan Menpora soal keterpurukan olahraga sekarang ini. Di Medan itu sudah tidak ada apa-apanya seperti dulu," gerutu Gurnam kepada Pembaruan di pelataran Gedung Direksi Gelora Bung Karno.
Tetapi tampaknya Gurnam tidak mengenal nama Agum Gumelar. Pelari jarak jauh dan maraton seangkatan dr Mohamad Sarengat ini cuma tahu ada menpora, dan ingin bertemu dengan sang menteri. "Pak Gurnam, Menpora itu tidak ada di sini, di sini KONI, Pak Agum ketuanya," tegur petugas di sekitar kantor Gelora.
Menggelandang
Dari Medan, Gurnam menumpang kapal ke Jakarta pada pertengahan Agustus 2005 lalu. Di Jakarta, dia tinggal di kuil Sikh, Gurudwara. Namun lebih banyak menumpang tidur di Gurudwara Pasar Baru, Jakarta Pusat. Di sana, Gurnam Singh kerap berjalan kaki menuju Gelora Bung Karno. Mantan atlet itu hidup
menggelandang.
Bagaimana sebetulnya kehidupan Gurnam Singh, setelah meraih medali pertama di Asian Games ? Banyak orang yang bilang, Gurnam tidak cermat memanfaatkan kelebihannya sebagai atlet. Salah seorang rekan, dr Mohamad Sarengat, pernah mengatakan, Gurnam bukannya tidak mengenyam pemberian apa-apa.
Gurnam menerima berbagai hadiah dari pemprov Sumut, dan sejumlah pengusaha. Namun, semua hadiah dan penghargaan itu tidak digunakan dengan baik. Itu sebabnya di hari tua, dia mengalami banyak kesusahan.
Di Medan, kata sejumlah pejabat olahraga di sana, kehidupan Gurnam sudah sama seperti gembel. Tidur di emper-emper toko, dan di sejumlah tempat ibadah. Salah seorang petugas gedung Direksi Gelora Bung Karno mengatakan Gurnam sudah berkali-kali bertemu dengan Agum Gumelar. Meskipun kerap meminta ongkos untuk ke Medan, hingga kini Gurnam belum juga pulang.
Nasib Gurnam Singh sebenarnya dapat menjadi contoh bagi atlet-atlet Indonesia lain. Roda kehidupan yang berputar cepat perlu perhitungan cermat. Di masa jaya, atlet jangan melupakan hari tua. Meskipun buruk, kisah Gurnam dapat menjadi pelajaran berharga dan perhatian bagi atlet-atlet yang kini berhasil.
Sejumlah atlet yang bernasib baik seperti Icuk Sugiarto, sekarang membentuk sebuah organisasi atlet bernama Ikatan Atlet Nasional Indonesia (IANI). Dasar pembentukannya memang rasa solidaritas terhadap nasib sesama atlet. Tetapi, sayangnya, organisasi ini belum banyak berkiprah untuk perbaikan nasib atlet seperti Gurnam Singh ini.
Memang sulit jika sesama atlet belum memiliki solidaritas yang kokoh untuk memperbaiki nasib bersama. Kalau saja mereka mau bergandeng tangan, bayang-bayang menakutkan hari tua merana bisa disingkirkan jauh-jauh. Tak lagi terdengar mantan atlet hebat jatuh melarat. Kisah Gurnam Singh, sebuah
pelajaran berharga untuk atlet yang kini masih berjaya.
Kompas
Pemerintah Kotamadya Medan pernah memberikan hadiah kepada Gurnam Singh ketika dia pulang ke Medan setelah memenangi perunggu pada Asian Games IV tahun 1962. Salah satu di antaranya adalah toko alat-alat olahraga. Akan tetapi, karena pendidikan formalnya yang amat minim, usaha tokonya ambruk. Selain itu masih diberikan beberapa fasilitas kepadanya yang tinggal di bantaran Sungai Deli, Medan. Gurnam Singh diangkat menjadi pengawas kebersihan sebagai tenaga honorer di Stadion Teladan Medan. Akan tetapi, tidak dapat diangkat menjadi pegawai negeri karena tidak memiliki ijazah sekolah formal.
Rumahnya dibongkar paksa oleh Pemda Kotamadya Medan karena menyalahi aturan, kemudian dia berhenti. Jadilah Gurnam hidup menggelandang dengan keadaan keluarga berantakan. Sejak belasan tahun yang lalu Gurnam Singh hidup dengan menjalankan operasi batok (meminta bantuan). Didatanginya beberapa temannya untuk meminta bantuan untuk menghidupi keluarganya. Teman-teman bosan membantunya, kemudian didatanginya beberapa instansi yang terkait dengan olahraga untuk meminta bantuan. Instansi yang terkait dengan olahraga juga kemudian bosan.
Akhirnya dia mendatangi puluhan instansi untuk meminta bantuan. Bantuan didapatkannya, tetapi dia tidak dapat mengelolanya. Ibarat untuk mendapatkan ikan, Gurnam Singh terus diberikan ikannya saja tidak pernah diberi kail. Akhirnya kondisi kehidupan Gurnam Singh hingga kini masih parah. Dia tetap beroperasi menengadahkan tangannya untuk meminta bantuan demi kelangsungan hidupnya.