Sejak kecil rumah saya berdekatan dengan mesjid, setiap hari selalu mendengarkan panggilan azan dari speaker, belum lagi jika sholat jum'at khotbahnya kadang-kadang buat merah telinga karena isinya memojokkan umat non muslim.
Karena dari kecil saya sudah terbiasa, akhirnya dianggap biasa saja, seperti menganggap suara deru kendaraan di jalan raya.
Saya tinggal di kota kecil Sungai Penuh ( yang lebih 90% penduduknya muslim, punya 1 gereja katolik dan 1 gereja protestan).,13 tahun yang lalu berdiri gereja katolik yang kecil dan sederhana . Ada surat izin dari tokoh masyarakat dan pemda, jumlah umat yang sudah memenuhi prasyarat pendirian rumah ibadah, ada IMB , pokoknya segala persyaratan administratif sesuai UU sudah terlengkapi beberapa tahun yang lalu.
Karena jumlah umat secara alami bertambah , bangunan gereja tidak mencukupi lagi , ditambah kondisi yang tidaki layak lagi, umat katolik merencanakan memperbaiki bangunan dan menambah besar bangunan gereja tsb.
Anehnya khusus untuk rumah ibadah, renovasi bangunan juga harus memiliki izin yang sama seperti membuat bangunan baru, harus ada izin dari tokoh masyarakat, dll.
Dan sudah memasuki tahun ketiga izin renovasi belum juga keluar, alasannya tidak jelas.
Ada tokoh masyarakat muslim yang menyuruh memindahkan gereja tersebut ke tempat yang lebih sepi dari pemukiman di pinggiran kota. Ketika umat katolik sudah mendapatkan lahan yang cocok untuk memindahkan gereja, lagi-lagi terbentur soal perizinan.
Lucunya juga , ada juga usulan sebagian tokoh masyarakat muslim agar bergantian saja dengan umat protestan memakai bangunan gereja protestan yang memang lebih besar dan menutup gereja katolik yang berizin tsb.
Anehnya lagi sejak usulan renovasi gereja diajukan, beredarlah selebaran gelap tentang isu kristenisasi.
Namun soal kelancaran ibadah, umat katolik tidak pernah mendapat gangguan. Hal yang patut saya syukuri.
Oleh karena itu saya tidak percaya kalau keberatan masyarakat cuma karena alasan administratif tentang izin bangunan, wong sudah ada izin saja tetap dipersulit pembangunannya.
Pastinya ada alasan lain yang membuat resah.
Badan resmi yang dibentuk pemerintah sekarang ini yang anggotanya terdiri dari wakil umat beragama dalam wilayah setempat juga tidak bisa berbuat banyak, karena wakil umat minoritas selalu kalah suara dari wakil umat yang mayoritas.
Teman-teman dari wilayah keuskupan Padang pasti punya cerita yang lebih miris soal bangunan rumah ibadah .
Mudah-mudahan keadaan bisa berubah, masyarakat kita lebih bisa menerima dan menghargai perbedaan.
Apakah semua umat Islam memang begitu? Mohon pencerahan. GBU