Tumbangnya rezim Soeharto bukan berarti tumbanganya politik Orde Baru. Akar-akar developmentalisme dan politisasi agama yang telah ditancapkan Orba tidak dapat diluluhlantahkan dalam waktu singkat. Dampak dari strategi-strategi modernisme ala Orba yang telah mengakar, memberikan gairah berbagai gerakan resistensi. Dentuman-dentuman ketertindasan pun akhirnya mengguncang Indonesia. Gelombang reformasi mengumbar semangat kebebasan dan pembebasan mengartikulasikan identitas-identitas yang selama ini hanya bergerilya di bawah tanah (grassroot). Dus, guncangan itu pun membuka kran-kran separatis dan perebutan kekuasaan yang lebih rumit lagi. Nampaknya, penyakit Indonesia kambuh lagi, yaitu tak pernah mempersiapkan formulasi alternatif ketika terjadi guncangan. Akhirnya, reformasi itu pun ada di persimpangan jalan. Indonesia dalam situasi ketidakpastian.
Situasi ketidakpastian ini pun berefek bagi keberagamaan Islam di Indonesia. Perkembangan Islam di Indonesia yang selama ini dapat dibaca terkait dengan rasa kedamaian dan toleran budaya Indonesia, dipertanyakan kembali. Berbagai kekerasan yang terjadi pasca reformasi menjadi tontonan yang menghantui. Kekerasan itu pun merambah ke sikap keberagamaan masyarakat Islam. Radikalisme agama mendapatkan momentumnya ketika modernisasi yang dilakukan Orba tidak mengantarkan Indonesia menjadi masyarakat yang adil dan sejahtera. Jaringan kelompok radikalis itu pun dengan berani secara terbuka muncul di permukaan. Kini, masyarakat menyadari kalau jaringan radikal ternyata telah mengakar dan membentuk komunitasnya secara massif dan terorganisir.
Kesadaran telah bangkitnya radikalis Islam pun ternyata telah menghentakkan dunia internasional. Hentakan itu ditandai dengan terjadinya Peristiwa Pengeboman WTC Washington 11 September 2001. Terlepas dari berbagai anasir siapa dalangnya terjadinya peristiwa itu, nyatanya telah menghantarkan pandangan dunia terhadap wajah kekerasan muslim. Peristiwa itu hanyalah momentum yang seolah meneguhkan mulainya ?benturan peradaban? seperti yang didengungkan Hutington. Ikon terorisme, telah menyibukkan seluruh negara di dunia terutama negara Islam karena seolah dialamatkan bagi masyarakat muslim. Di Indonesia, terjadinya BOM Bali pun dengan mudah dikaitkan dengan jaringan terorisme tersebut.
Dalam konteks ini, keberagamaan Islam di Indonesia mendapatkan tantangan berat. Benarkah wajah Islam di Indonesia begitu angker dan penuh kekerasan? bagaimanakah masyarakat muslim di Indonesia meracik kembali hubungan agama dengan negara? Akankah gerakan radikalis Islam makin meluas dan sanggup mendominasi keberagamaan di Indonesia? Dan tentu saja, bagaimana masyarakat muslim di Indonesia menepis dan menengarai tuduhan bahwa terorisme dan radikalisme berkembang di Indonesia? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, kita tidak bisa terlepas dari realitas kultural keberagamaan di Indonesia secara historis, sosiologis maupun ideologis.
Tulisan ini berusaha mengelaborasi secara singkat proses-proses masuknya Islam di Nusantara, proses dialog dan negoisasi dengan tradisi kultural baik pada masa klasik maupun masa kontemporer. Pengelaborasian ini dimaksudkan untuk meramifikasi kenyataan sejarah dan kesadaran keberagamaan yang telah tertancap di bumi Nusantara Indonesia. Dengan demikian, dapatlah kita mengkontekstualisasi --bagi kalangan nahdliyin menyebutnya ?pribumisasi? (indigenization)-- secara jernih untuk menemukan serta mengagendakan proses dan racikan Islam di Indonesia.
Semua tergantung kita dari mana kita memandang