siapakah yang kini jadi pb xiii, ngabehi atau tedjowulan ?,
Tedjowoelan Dikukuhkan sebagai Putra Mahkota
AKHIRNYA, rencana penobatan KGPH Tedjowoelan (50) sebagai Susuhunan Paku Buwono XIII tidak jadi berlangsung Selasa kemarin. Ini karena tempat untuk rencana penobatan di pendapa Sasana Sewaka Keraton Kasunanan Surakarta sejak Senin malam diblokade oleh kubu KGPH Hangabehi yang rencananya juga akan dinobatkan sebagai PB XIII, 10 September mendatang. Keempat kori (pintu utama) menuju ke lingkungan keraton ditutup rapat dan diganjal dari dalam.
Panitia penobatan Tedjowoelan kemudian mengalihkan tempat upacara ke Dalem Purnomo, rumah kediaman BRAy Mooryati Soedibyo di Jalan Dr Moewardi Solo, sekitar tiga kilometer dari lokasi keraton.
Upacara dimulai sekitar pukul 11.30. Di sini tiga pengageng (pejabat tinggi) keraton -Pengageng Parentah Keraton, Pengageng Putra Sentana, Pengageng Keputren-mengukuhkan Tedjowoelan sebagai putra mahkota dengan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Ario Adipati Anom (KGPAA) Hamengkunegoro. Dalam tradisi Keraton Mataram, dengan gelar ini ia selangkah lagi menjadi raja.
Akan tetapi, dalam upacara yang dihadiri sejumlah pejabat pemerintah setempat-Wali Kota Solo Slamet Suryanto, Komandan Korem 074 Kolonel (Inf) Sarining Setyo Utomo, Komandan Lanud Adisumarmo Kolonel (Pnb) Polter Gultom, Kepala Badan Koordinasi Lintas (Bakorlin) II Surakarta Soewito, juga Nina Akbar Tandjung-para undangan serta ratusan warga masyarakat itu, Tedjowoelan mengakui dirinya belum (definitif) sebagai Paku Buwono XIII.
Dalam maklumat pengukuhan ia menyatakan, "Saya Kanjeng Gusti Pangeran Ario Adipati Anom Hamengkunegoro Sudibya Raja Putra Narendra ing Mataram, dan selanjutnya saya mempunyai wewenang untuk menetapkan diri saya sebagai Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Paku Buwono XIII."
Pengageng Putra Sentana, KGPH Hadiprabowo kepada pers menegaskan bahwa Tedjowoelan baru dikukuhkan sebagai KGPAA Hamengkunegoro. Belum dinobatkan sebagai Paku Buwono XIII sebab ada tahapan-tahapan secara lahir maupun batin yang harus dijalani untuk mengemban jabatan seorang raja. Adapun jumenengan nata (pelantikan sebagai raja) baru akan dilakukan di kemudian hari dalam waktu yang belum ditentukan.
"Tiga pengageng keraton menugaskannya untuk menyelesaikan kemelut suksesi kepemimpinan di keraton. Ini mengingat ada pihak lain yang akan menobatkan KGPH Hangabehi pada 10 September," paparnya.
KP Wirabhumi dari kubu Hangabehi berpendapat bahwa penobatan Tedjowoelan itu tidak mengikuti mekanisme prosesi sesuai adat keraton. "Tetapi, kami menghargai penobatan KGPAA itu sebagai KGPAA di Dalem Purnomo bukan KGPAA Keraton Surakarta," katanya.
Menurut dia, penobatan KGPAA dan kelak menjadi Pakubuwono itu harus mengikuti prosesi, syarat, dan tempat yang baku, yaitu di keraton. "Penobatan KGPH Hangabehi menjadi Pakubuwono XIII tetap berjalan walaupun dalam satu dua hari terakhir ini kerja bakti untuk persiapan itu sempat terganggu," jelasnya.
RAy Retnadiningrum (78), ibunda Tedjowoelan, dalam kesempatan kemarin mengungkapkan, sebelum wafat, Sinuhun (PB XII) berpesan kepada Tedjowoelan, "Bila suatu waktu kakakmu Bei (Hangabehi) yang dipilih, maka dampingilah (dia). Akan tetapi, bila para sentana dan rakyat memilihmu, katakanlah hal itu kepada para kakakmu."
Retnadiningrum menegaskan, Sinuhun hanya menitahkan demikian, dan tidak memilih satu di antara keduanya.
Pagi hari sebelumnya, di depan Dalem Purnomo, sekitar 1.500 warga yang menamakan diri rakyat Surakarta berunjuk rasa dan mendaulat Tedjowoelan sebagai "Raja Rakyat". Warga yang antara lain dimotori Forum Bela Raos Abdidalem ini antara lain membawa poster yang mendukung Tedjowoelan, dan mengingatkan bahwa sinuhun (raja) Surakarta hendaknya berpegang pada filosofi manunggaling kawula- gusti (kesatuan antara rakyat dan penguasa).
Mooryati Soedibyo menyatakan, penggunaan kediamannya sebagai tempat pengukuhan Tedjowoelan sebagai putra mahkota atas pertimbangan untuk mencegah bentrokan.
Tedjowoelan yang kini berpangkat kolonel (Inf) dan masih menjabat sebagai Asisten Operasi di Kodam III/Siliwangi memaparkan, dalam mengemban amanat sebagai putra mahkota dia akan membenahi manajemen keraton. "Saya akan melakukan sistem jalur komando kepemimpinan. Lalu, melakukan koordinasi yang baik dengan beberapa pihak dalam memimpin keraton, serta menerapkan pengawasan terhadap kepemimpinan di keraton," ujarnya.
Ia berencana menghadap Panglima TNI dan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) untuk melaporkan posisinya sekarang dan perkembangan suksesi di keraton Surakarta. Namun, dirinya belum memutuskan apakah akan pensiun dini dari dinas militer.
Tedjowoelan mengungkapkan, apabila situasinya telah membaik, dia berniat mendekati kelompok pendukung KGPH Hangabehi. "Pertama, saya akan mengupayakan musyawarah untuk mufakat. Kedua, sesuai tradisi batiniah orang Jawa, saya akan mendekatkan diri kepada Tuhan untuk meminta petunjuk penyelesaian bagi kemelut suksesi keraton ini," paparnya.
Apabila langkah-langkah itu tidak berhasil, ia akan bertindak tegas mengingat dirinya mengemban tugas sekaligus wewenang yang diberikan oleh ketiga pengageng keraton meski tidak harus dengan jalan kekerasan.
KETEGANGAN yang berlangsung sepanjang Selasa kemarin menjadi puncak drama suksesi di Keraton Surakarta. Beruntung bentrok fisik tidak sampai terjadi, setelah panitia penobatan Tedjowoelan memindahkan lokasi upacara.
Dan, lebih penting lagi, sekalipun dimotori tiga institusi resmi keraton, mereka juga tidak langsung menobatkan Tedjowoelan sebagai PB XIII.
Langkah ini penting karena akan memungkinkan munculnya solusi lain dalam perseteruan antara kubu Hangabehi dan Tedjowoelan yang bersifat rekonsiliasi di kemudian hari.
Ditilik secara obyektif, sebenarnya kedua kubu berada dalam posisi yang sama-sama tidak legitimate. Aspirasi dari sebagian kalangan sentana (kerabat), abdi dalem, dan masyarakat luas kurang bisa menerima Hangabehi.
Namun, yang menghendaki Tedjowoelan sebagai PB XIII juga memiliki kelemahan karena betapa pun Hangabehi adalah putra tertua (dari garwa ampil/selir) mendiang PB XII, dan sesuai tradisi keraton, ia secara tradisi "berhak" mewarisi takhta. Seperti diketahui, PB XII tidak memiliki permaisuri. Inilah yang dipegang kuat kubu Hangabehi.
Perebutan takhta di Keraton Kasunanan Surakarta segera mengingatkan kita pada pola suksesi seperti yang berlangsung di berbagai kerajaan, terutama di lingkungan Kerajaan Mataram. Yakni perebutan kekuasaan di kalangan para pangeran (putra raja), yang selain menyangkut soal kehormatan, di balik itu sesungguhnya juga menyangkut kepentingan-kepentingan ekonomis selain politis.
Kericuhan dan ketegangan ini tidak akan terjadi kalau saja mendiang PB XII sejak awal secara jelas memberikan wasiat tentang siapa yang bakal menjadi penggantinya, sebelum dia wafat (11 Juni 2004). Sementara, "surat wasiat" yang dikemukakan oleh kubu Hangabehi saat ini justru diragukan otentitasnya.
Padahal, menurut Wirabhumi, pihaknya sudah mengupayakan musyawarah di antara seluruh sentana bahkan keluarga besar tetapi tidak tercapai. "Mereka yang tidak puas, sebagai langkah elegan dipersilakan untuk melakukan upaya hukum dengan menggugat ke pengadilan,"