:
Bung Atheis : Saya pikir ada sesuatu yang tidak masuk akal dari kelakuan orang-orang yang beragama itu. Setiap hari mereka berdoa, sudah tentu doa itu bikin tuhan terlalu sibuk. Kita hitung saja sholatnya orang Islam. Jika tiap orang Islam sholat 17 rakaat sehari (24 jam) dan jumlah orang Islam di seluruh dunia ada 1 milyar, maka tuhan mesti dengar dan mempertimbangkan doa sebanyak 17 milyar kali !!!
Jadi kenapa kita harus mengembalikan semua masalah kepada yang Bung sebut Tuhan itu ? Kenapa kita tidak kembali kepada azas yang sederhana ? Kalau ada masalah pikirkan pakai akal lalu cari solusi yang logis.
Sederhana toch
Bung Agamis : Analogi yang Bung kemukakan ini terlalu simplistik. Tuhan dilihat sebagai sesuatu yang terpisah dari makhluk-makhluk yang jumlahnya milyaran, dan hubungan antara Tuhan dan makhluk dilihat sebagai komunikasi linier satu lawan satu, dan berlangsung melalui jalur komunikasi fisikal dengan teknologi yang kita kenal sehari-hari. Analogi seperti itu tidak kena sama sekali terhadap aspek realitas yang bersifat transendental, seolah-olah Tuhan pegang HP dan harus siap “dicall” setiap saat oleh umatNya.
Bagaimana kalau Tuhan didekati dengan analogi lain; analogi yang menurut saya lebih mendekati realitasnya dibandingkan analogi di atas — sekalipun juga masih jauh dari realitas sebenarnya karena Dia Maha Tak Terbayangkan : Analogi yang saya maksud adalah: mendekati Tuhan sebagai puncak dari sistem organik yang meliputi seluruh sistem-sistem di bawahnya (di dalamnya). Analogi ini menggunakan pendekatan Teori Sistem.
Pada skala mikro, kita melihat manusia sebagai suatu sistem organik yang mencakup sistem-sistem lebih kecil di dalamnya (manusia bukan suatu entitas yang terpisah dari sistem-sistem yang membentuk dirinya), yakni sistem berbagai jaringan seperti: otot, tulang, kulit, syaraf, jantung & pembuluh darah, paru-paru dsb. Selanjutnya, masing-masing jaringan mencakup sistem-sistem yang lebih kecil lagi, yakni sel-sel. Masing-masing sel mencakup sistem-sistem yang jauh lebih kecil lagi, yakni molekul-molekul. Dan seterusnya semakin kecil: sistem-sistem atom, partikel-partikel subatomik dst.
Sistem-sistem itu, dari yang terkecil sampai yang terbesar, di satu sisi berfungsi secara otonom, dan di sisi lain berhubungan dengan sistem di atasnya secara integral. Dan masing-masing tingkatan sistem itu di satu sisi memiliki sifat-sifat dari sistem-sistem yang ada di bawahnya, dan di sisi lain memperlihatkan sifat-sifat “baru”, yang tidak dimiliki oleh sistem di bawahnya. Misalnya, sebuah sel di satu sisi memiliki semua sifat yang dimiliki oleh molekul-molekul yang membentuknya; tetapi di sisi lain memiliki sifat kehidupan, yang tidak dimiliki oleh molekul-molekul yang membentuknya.
Kita cenderung melihat manusia sebagai sistem organik yang sepenuhnya otonom, tidak tergantung pada sistem lain di atasnya. Sebagai sistem organik yang otonom manusia merasa hidup dan menginjak bumi yang dianggapnya sebagai benda mati, dan merasa berhak memperkosa bumi yang mati itu untuk kepentingannya sendiri. Ini mungkin semata-mata karena arogansi manusia, atau keserakahan manusia, atau kesempitan pandangan intelektualnya yang masih ada –atau justru muncul– pada tingkatan kecanggihan sains sekarang ini.
Sebagai sistem organik (hidup), manusia memiliki kesadaran, yang tampaknya tidak dimiliki oleh sistem-sistem jaringan tubuh yang membentuknya. Namun jaringan-jaringan itu bisa berkomunikasi melalui proses-proses tak-sadar, misalnya melalui berbagai sistem enzym yang bisa mempengaruhi tubuh dan jiwa manusia secara keseluruhan. Gampangnya, sel-sel tubuh kita bisa berkomunikasi timbal balik dengan diri kita sebagai sistem organik yang disebut manusia, yang mempunyai badan dan jiwa. Kelainan-kelainan pada jaringan kita rasakan sebagai manusia; dan sebaliknya, kondisi pikiran kita bisa mempengaruhi keadaan jaringan tubuh, baik secara positif maupun secara negatif.
Kalau –sesuai dengan Teori Sistem– kita melihat ke “atas”, melampaui manusia sebagai sistem, maka timbul pertanyaan, betulkah manusia merupakan sistem kehidupan yang tertinggi, dan tidak ada lagi yang lebih tinggi daripadanya?
Para ilmuwan di garis depan makin lama makin menyadari bahwa manusia beserta makhluk-makhluk hidup lain di muka Bumi ini merupakan bagian integral dari suatu sistem organik yang mencakup semuanya, yang disebut ekologi. Ekologi-ekologi lokal bersama Bumi tempatnya berpijak bergabung membentuk ekologi Bumi yang utuh dan menyeluruh. (Ekologi Bumi yang utuh ini –yang seperti di bawah dijelaskan mempunyai kesadaran– disebut ‘Gaia’; kita di Timur barangkali menyebutnya ‘Ibu Pertiwi’.) Demikian selanjutnya, bumi beserta planet-planet lain membentuk tatasurya; tatasurya membentuk galaksi dst.
Nah, yang krusial di sini: kalau manusia itu saja sudah mempunyai kesadaran, maka –menurut Teori Sistem– sistem-sistem yang lebih besar dari manusia –dan yang mencakup manusia– tentu harus mempunyai kesadaran juga; kesadaran ini secara kualitatif harus berbeda, tetapi mencakup dan mengintegrasikan kesadaran-kesadaran individual manusia yang ada di dalamnya. Sampai di sini pencerahan yang dialami oleh para ilmuwan teoretik ini tampaknya “menghidupkan” kembali panteisme kuno yang dianggap orang sebagai kepercayaan primitif pra-monoteisme.
Dari sinilah saya mendekati makna dari “Tuhan” yang secara monoteistik tradisional dipahami sebagai “pencipta” alam semesta beserta segala isinya, yang terpisah dari ciptaannya. Menurut pendekatan ini, Tuhan dan alam semesta tidak terpisah. Beranalogi dengan sistem yang dinamakan manusia –yang mempunyai badan dan jiwa– begitu pula ‘maha-sistem’ ini mempunyai badan (alam semesta) dan jiwa (Tuhan). Di sini Tuhan tidak dipandang sebagai “pencipta”, melainkan sebagai “roh”, dari alam semesta.
Dan dari pendekatan ini pula saya memahami makna “doa”. Beranalogi dengan sel-sel dan jaringan-jaringan tubuh kita yang dapat berkomunikasi secara timbal-balik (melalui proses-proses enzymatik) dengan diri kita sebagai manusia yang mencakup jaringan-jaringan itu, begitu pula kita sebagai sistem individual yang menjadi bagian dari ‘maha-sistem’ dapat berkomunikasi dengan ‘maha-sistem’ itu melalui proses kesadaran.
Yang unik di sini adalah: oleh karena ‘doa’ itu adalah kegiatan kesadaran, maka efektivitas doa itu sangat erat berhubungan dengan pola pemahaman atau kepercayaan dari kesadaran masing-masing. Doa itu akan efektif bila orang menyadari dan menerima ada sesuatu yang lebih besar daripada dirinya sendiri, terlepas dari apakah itu dilihat sebagai “pencipta” dirinya, atau dilihat sebagai “maha-sistem” yang mencakup sistem dirinya. Isi kepercayaan itu sendiri tidak penting; selama orang menyadari ada sesuatu yang lebih tinggi dan yang mencakup dirinya, maka doanya akan efektif. (Ini tidak berarti bahwa doa adalah satu-satunya cara berkomunikasi atau berkomuni dengan “maha-sistem” itu; seorang individu bisa pula berkomunikasi melalui proses-proses lain seperti: proses mistikal dll.)
Sebaliknya, doa sama sekali tidak efektif bila orang tidak menyadari atau tidak percaya bahwa ada sesuatu yang lebih tinggi, yang mencakup dirinya. Bagi orang seperti itu doa hanyalah sekadar nonsens yang menjadi bahan tertawaan atau pelecehan seperti kata-kata Bung di atas. Bung tidak percaya pada keberadaan Tuhan yang Maha Tinggi dan sebaliknya percaya pada Akal yang sebetulnya tidak lain semacam “tuhan” juga bagi Bung
Selanjutnya, sama seperti sel-sel tubuh yang berfungsi sendiri-sendiri lepas dari kendali dan integrasi dalam sistem organik yang membawahinya bisa menjadi kanker yang akan menggerogoti sistem organik itu, begitu pula manusia-manusia yang merasa otonom sepenuhnya dan berfungsi sesuka hatinya sendiri lepas dari kendali dan integrasi dengan ekologi tempatnya hidup –baik itu disadari sebagai “Tuhan” atau pun sebagai “Ibu Pertiwi” atau “Gaia”– bisa menjadi “kanker” yang akan menggerogoti ekologinya.
Tetapi sekali lagi ya … ini tidak lebih permisalan. Anda tidak akan pernah memahami Tuhan yang Maha Tinggi sampai anda mengalaminya sendiri.