KH. Abdurrahman Wahid:
Jangan Bikin Aturan Berdasarkan Islam Saja!
Pola pandang dan sikap yang terus menghargai perbedaan dalam kerangka
keragaman etnis, budaya, dan agama di Indonesia, masih tetap manjadi ciri
khas KH. Abdurrahman Wahid, mantan orang nomor satu di negeri ini. Kyai
nyentrik yang akrab disapa Gus Dur itu, kembali mengingatkan pentingnya
menolak penyeragaman cara pandang, sikap, maupun perilaku dalam beragama
dan bernegara di negeri ini.
Pola pandang dan sikap yang terus menghargai perbedaan dalam kerangka
keragaman etnis, budaya, dan agama di Indonesia, masih tetap manjadi ciri
khas KH. Abdurrahman Wahid, mantan orang nomor satu di negeri ini. Kyai
nyentrik yang akrab disapa Gus Dur itu, kembali mengingatkan pentingnya
menolak penyeragaman cara pandang, sikap, maupun perilaku dalam beragama
dan bernegara di negeri ini. Berikut petikan wawancara M. Guntur Romli dan
Alif Nurlambang (JIL) dengan Gus Dur tentang pelbagai persoalan mutakhir
negeri ini pekan lalu.
JIL: Gus Dur, akhir-akhir ini ada polemik tentang Perda Tangerang tentang
pelacuran dan rencana UU Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP). Apa
komentar Gus Dur tentang Perda yang melarang pelacuran tanpa pandang bulu
itu?
(Embedded image moved to file: pic17776.jpg) KH. ABDURRAHMAN WAHID: Menurut
saya, baik Perda Tangerang maupun RUU APP yang kini diributkan, harus jelas
dulu siapa yang merumuskan dan menentukannya. Pelacuran memang dilarang
agama, tapi siapakah pelacur itu?! Jangan-jangan, yang kita tuduh pelacur
justru bukan pelacur. Dari dulu memang ada dua hal yang perlu kita
perhatikan sebelum menetapkan undang-undang. Pertama tentang siapa yang
merumuskan. Dan kedua tentang apakah dia memiliki hak antara pelaksana dan
pihak lain. Contoh paling jelas adalah soal definisi pornografi. Ketika
tidak jelas ini dan itu pornonya, yang berhak menentukannya adalah Mahkamah
Agung.
Tapi di luar itu, masih banyak masalah-masalah yang mendera negara kita
yang lebih butuh penyelesaian, seperti persoalan ekonomi. Jadi prioritas
kita bukan membikin aturan macam-macam. Contohnya, isu pelacuran itu juga
sangat terkait dengan soal ekonomi. Meski kita mau bikin seribu peraturan,
tapi tidak ada peningkatan taraf kehidupan, pelacuran tidak akan pernah
bisa tersentuh, boro-boro bisa dihilangkan. Jika hal ini terjadi, maka
aturan tidak akan berfungsi apa-apa, kecuali untuk selalu dilanggar.
JIL: Salah satu dasar munculnya perda-perda seperti itu adalah alasan
otonomi daerah. Menurut Gus Dur bagaimana?
Otonomi daerah tidak mesti sedemikian jauh. Dia harus spesifik. Seperti
salah satu negara bagian Amerika Serikat, Louisiana, yang masih melandaskan
diri pada undang-undang Napoleon dari Perancis, walaupun negara-negara
bagian lain menggunakan undang-undang Anglo-Saxon. Perbedaan tersebut sudah
dijelaskan dalam undang-undang dasar mereka di sana semenjak awal, bukan
ditetapkan belakangan dan secara serampangan. Untuk Indonesia,
daerah-daerah mestinya tidak bisa memakai dan menetapkan undang-udang
secara sendiri-sendiri. Itu bisa kacau.
JIL: Bagaimana kalau otonomi daerah juga hendak mengatur persoalan agama?
Otonomi daerah itu perlu dipahami sebagai kebebasan untuk melaksanakan
aturan yang sudah ada, bukan kebebasan untuk menetapkan undang-undang
sendiri. Pengertian otonomi daerah itu bukan seperti yang terjadi sekarang
ini; daerah mau merdeka di mana-mana dan dalam segala hal. Sikap itu tidak
benar.
JIL: Apakah beberapa daerah yang mayoritas non-muslim seperti NTT, Papua,
Bali, dan lain-lain, dibolehkan menerapkan aturan agama mereka
masing-masing dengan alasan otonomi daerah?
Iya nggak apa-apa. Itu konsekuensinya kan? Makanya, kita tidak usah
ribut-ribut soal perda dan aturan yang berasal dari satu agama. Dulu di
tahun 1935, kakek saya dari ayah, Almarhum KH. Hasyim Asy'ari, sudah
ngotot-ngotot berpendapat bahwa kita tidak butuh negara Islam untuk
menerapkan syariat Islam. Biar masyarakat yang melaksanakan (ajaran Islam,
Red), bukan karena diatur oleh negara. Alasan kakek saya berpulang pada
perbedaan-perbedaan kepenganutan agama dalam masyarakat kita. Kita ini
bukan negara Islam, jadi jangan bikin aturan-aturan yang berdasarkan pada
agama Islam saja.
JIL: Gus, ada yang berpendapat dengan adanya RUU APP dan sejumlah
perda-perda syariat, Indonesia akan "diarabkan". Apa Gus Dur setuju dengan
pendapat itu?
Iya betul, saya setuju dengan pendapat itu. Ada apa sih sekarang ini?
Ngapain kita ngelakuin gituan. Saya juga bingung; mereka menyamakan Islam
dengan Arab. Padahal menurut saya, Islam itu beda dengan Arab. Tidak setiap
yang Arab itu mesti Islam. Contohnya tidak usah jauh-jauh. Semua orang tahu
bahwa pesantren itu lembaga Islam, tapi kata pesantren itu sendiri bukan
dari Arab kan? Ia berasal dari bahasa Pali, bahasa Tripitaka, dari kitab
agama Buddha.
JIL: Kalau syariat Islam diterapkan di Indonesia secara penuh, bagaimana
kira-kira nasib masyarakat non-muslim?
Ya itulah? Kita tidak bisa menerapkan syariat Islam di Indonesia kalau
bertentangan dengan UUD 45. Dan pihak yang berhak menetapkan aturan ini
adalah Mahkamah Agung. Hal ini menjadi prinsip yang harus kita jaga
bersama-sama. Tujuannya agar negeri kita aman. Jangan sampai kita ini,
dalam istilah bahasa Jawa, usrek (Red: ribut) terus. Kalau kita usrek,
gimana mau membangun bangsa? Ribut mulu sih... Dan persoalannya itu-itu
saja.
JIL: Bagaimana dengan barang dan tayangan erotis yang kini dianggap sudah
akrab dalam masyarakat kita?
Erotisme merupakan sesuatu yang selalu mendampingi manusia, dari dulu
hingga sekarang. Untuk mewaspadai dampak dari erotisme itu dibuatlah
pandangan tentang moral. Dan moralitas berganti dari waktu ke waktu. Dulu
pada zaman ibu saya, perempuan yang pakai rok pendek itu dianggap cabul.
Perempuan mesti pakai kain sarung panjang yang menutupi hingga matakaki.
Sekarang standar moralitas memang sudah berubah. Memakai rok pendek bukan
cabul lagi. Oleh karena itu, kalau kita mau menerapkan suatu ukuran atau
standar untuk semua, itu sudah merupakan pemaksaan. Sikap ini harus
ditolak. Sebab, ukuran satu pihak bisa tidak cocok untuk pihak yang lain.
Contoh lain adalah tradisi tari perut di Mesir yang tentu saja perutnya
terbuka lebar dan bahkan kelihatan puser. Mungkin bagi sebagian orang, tari
perut itu cabul. Tapi di Mesir, itu adalah tarian rakyat; tidak ada
sangkut-pautnya dengan kecabulan.
JIL: Jadi erotisme itu tidak mesti cabul, Gus?
Iya, tidak bisa. Anda tahu, kitab Rawdlatul Mu`aththar (The Perfumed
Garden, Kebun Wewangian) itu merupakan kitab bahasa Arab yang isinya
tatacara bersetubuh dengan 189 gaya, ha-ha-ha.. Kalau gitu, kitab itu
cabul, dong? ha-ha-ha? Kemudian juga ada kitab Kamasutra. Masak semua
kitab-kitab itu dibilang cabul? Kadang-kadang saya geli, mengapa kiai-kiai
kita, kalau dengerin lagu-lagu Ummi Kultsum?penyanyi legendaris Mesir?bisa
sambil teriak-teriak "Allah? Allah?" Padahal isi lagunya kadang ngajak
orang minum arak, ha-ha-ha.. Sangat saya sayangkan, kita mudah sekali
menuding dan memberi cap sana-sini; kitab ini cabul dan tidak sesuai dengan
Islam serta tidak boleh dibaca.
Saya mau cerita. Dulu saya pernah ribut di Dewan Pustaka dan Bahasa di
Kuala Lumpur Malaysia. Waktu itu saya diundang Prof. Husein Al-Attas untuk
membicarakan tema Sastra Islam dan Pornografi. Nah, saya ributnya dengan
Siddik Baba. Dia sekarang menjadi pembantu rektor di Universitas Islam
Internasional Malaysia. Menurut dia, yang disebut karya sastra Islam itu
harus sesuai dengan syariat dan etika Islam. Karya-karya yang menurutnya
cabul bukanlah karya sastra Islam. Saya tidak setuju dengan pendapat itu.
Kemudian saya mengulas novel sastrawan Mesir, Naguib Mahfouz, berjudul
Zuqaq Midaq (Lorong Midaq), yang mengisahkah pola kehidupan di gang-gang
sempit di Mesir. Tokoh sentralnya adalah seorang pelacur. Dan pelacur yang
beragama Islam itu bisa dibaca pergulatan batinnya dari novel itu. Apakah
buku itu tidak bisa disebut sebuah karya Islam hanya karena ia menceritakan
kehidupan seorang pelacur? Ia jelas produk seorang sastrawan brilian yang
beragama Islam. Aneh kalau novel itu tidak diakui sebagai sastra Islam.
JIL: Gus, ada yang bilang kalau kelompok-kelompok penentang RUU APP ini
bukan kelompok Islam, karena katanya kelompok ini memiliki kitab suci yang
porno?
Sebaliknya menurut saya. Kitab suci yang paling porno di dunia adalah
Alqur'an, ha-ha-ha.. (tertawa terkekeh-kekeh) .
JIL: Maksudnya?
Loh, jelas kelihatan sekali. Di Alqur'an itu ada ayat tentang menyusui anak
dua tahun berturut-turut. Cari dalam Injil kalau ada ayat seperti itu.
Namanya menyusui, ya mengeluarkan tetek kan?! Cabul dong ini. Banyaklah
contoh lain, ha-ha-ha?
JIL: Bagaimana dengan soal tak boleh membuka dan melihat aurat dan karena
itu orang bikin aturan soal aurat perempuan lewat perda-perda?
Menutup aurat dalam arti semua tubuh tertutup itu baik saja. Namun belum
tentu kalau yang disebut aurat itu kelihatan, hal itu tidak baik. Aurat
memiliki batasan maksimal dan minimal. Nah bukan berarti batasan minimal
itu salah. Kesalahan RUU yang ingin mengatur itu adalah: menyamakan batasan
maksimal dan minimal dalam persoalan aurat. Sikap itu merupakan cara
pandang yang salah. Kemudian, yang disebut aurat itu juga perlu dirumuskan
dulu sebagai apa. Cara pandang seorang sufi berbeda dengan ahli syara'
tentang aurat, demikian juga dengan cara pandang seorang budayawan. Tukang
pakaian melihatnya beda lagi; kalau dia tak bisa meraba-raba, bagaimana
bisa jadi pakaian? ha-ha-ha.. Batasan dokter beda lagi. Kerjanya kan
ngutak-ngutik, dan buka-buka aurat, itu, he-he-he.
Saya juga heran, mengapa aurat selalu identik dengan perempuan. Itu tidak
benar. Katanya, perempuan bisa merangsang syahwat, karena itu tidak boleh
dekat-dekat, tidak patut salaman. Wah? saya tiap pagi selalu kedatangan
tamu. Kadang-kadang gadis-gadis dan ibu-ibu. Itu bisa sampai dua bis.
Mereka semua salaman dengan saya. Masak saya langsung terangsang dan ingin
ngawinin mereka semua?! Ha-ha-ha.. Oleh karena itu, kita harus hati-hati.
Melihat perempuan tidak boleh hanya sebagai objek seksual. Perempuan itu
sama dengan laki-laki; sosok makhluk yang utuh. Jangan melihatnya dari satu
aspek saja, apalagi cuma aspek seksualnya.
JIL: Sekarang tentang SKB pendirian rumah ibadah. SKB itu sudah disahkan.
Bagaimana tanggapan Gus Dur terhadap revisi SKB itu?
Begini, kita harus hati-hati terhadap dua hal yang saling bertentangan. Di
satu pihak, ada keinginan mencegah dampak kegiatan beragama yang belum ada
aturannya. Karena itu, diperlukan persetujuan dari berbagai pihak soal
jumlahnya sekian-sekian (soal quota pengaju pembangunan rumah ibadah, Red).
Kedua, soal memberi hak kepada siapapun untuk melakukan ibadah. Di sini
terjadi persinggungan.
Tapi persoalan sesungguhnya saya lihat ada pada birokrasi. Selama ini, saya
menganggap birokrat-birokrat kita pilih kasih. Permintaan agama A akan
disetujui oleh birokrat yang beragama A saja. Kalau begini terus, negara
kita akan kacau-balau. Karena itu, sebelum menetapkan suatu keputusan,
isu-isu perlu dibicarakan bersama secara serius. Kita tahu sendirilah,
Departemen Agama itu adalah departemen yang paling brengsek. Hal lain,
pemerintah tidak boleh campur terlalu banyak dalam soal-soal agama, karena
itu akan menggiring kita menjadi negara agama.
JIL: Revisi SKB ini muncul dari ribut-ribut soal pendirian rumah ibadah
yang konon serampangan?
Pandangan itu muncul dari keadaan yang morat-marit, bukan keadaan yang
benar. Memang ada saja orang yang semau-maunya membangun rumah ibadah. Hal
itu sebetulnya bersifat teknis dan sumir. Dan soal itu mestinya bisa
ditentukan dan dimediasi oleh kepala daerah masing-masing, bukan oleh
peraturan. Dan, peraturan yang sudah ada saja yang dijalankan. Kalau ada
pelanggaran aturan, bawa ke pengadilan. Jangan diselesaian sendiri-sendiri.
Kita ini hidup di negara hukum.
JIL: Kalau diserahkan pada kepala daerah, nanti bisa mirip SK Gubernur Jawa
Barat yang tidak adil dong, Gus?
Kalau seperti itu, gubernurnya yang kita tuntut. Jangan peraturannya yang
dikorbankan. Masak jadi gubernur kaya gitu?!
JIL: Gus, saat ini marak konflik Sunni-Syiah di Irak. Banyak masjid dibom
dan antar muslim saling berseteru. Sebenarnya, bagaimana asal-muasal
sejarah konflik Syiah-Sunni?
Konflik itu muncul akibat doktrin agama yang dimanipulasi secara politis.
Sejarah mengabarkan pada kita, dulu muncul peristiwa penganiaan terhadap
menantu Rasulullah, Ali bin Abi Thalib dan anak cucunya. Keluarga inilah
yang disebut Ahlul Bayt, dan mereka memiliki pendukung fanatik. Pendukung
atau pengikut di dalam bahasa Arab disebut syî`ah. Selanjutnya kata syî`ah
ini menjadi sebutan dan identitas bagi pengikut Ali yang pada akhirnya
menjadi salah satu firkah teologis dalam Islam. Sedangkan pihak yang
menindas Ali dan pengikutnya dikenal dengan sebutan Sunni.
Persoalan sesungguhnya waktu itu adalah tentang perebutan kekuasaan atau
persoalan politik. Namun doktrin agama dibawa-bawa. Maka dari itu,
janganlah bawa-bawa agama dalam masalah politik. Jadinya akan seperti itu;
campur-aduk tidak karuan. Kaum Syiah, tidak terima dengan penindasan itu,
dan mereka terus-menerus menyusun kekuatan dan ingin merebut kekuasaan. Dan
waktu itu pula, kekuasaan Islam dipimpin oleh pemimpin-pemimpin Sunni yang
sangat kejam dan memusuhi Syiah, seperti Khalifah Yazid bin Mu'awiyah di
Damaskus. Contoh dari kekejaman dia adalah melakukan pembantaian terhadap
Husein bin Ali berserta keluarga dan pengikutnya di Padang Karbala.
Bayangkan, padahal Husein adalah cucu Rasulullah dan putra Ali bin Abi
Thalib.
Yazid juga mengangkat seorang gubernur Irak yang sangat kejam, namanya
Yusuf Hajjaj al-Tsaqafi. Nah, penindasan terhadap kaum Syiah berlangsung
selama berabad-abad, dan alasannya lebih karena soal kekuasaan. Salah satu
jalan keluar dari konflik ini adalah: jangan bawa-bawa agama dalam
persoalan politik. Dan persoalan hubungan Syiah dan Sunni di Irak mestinya
dilihat sebagai problem politik, bukan problem agama.
JIL: Jadi konflik itu bisa dianggap konflik politik yang dijubahi agama?
Iya. Menurut saya, klaim teologis tidak bisa jadi klaim politik. Kalau ini
disepelekan, akan terjadi seperti yang kita saksikan saat ini. Misalnya,
kaum Syiah mengatakan bahwa garis kepemimpinan (politik) hanya ada pada
keturunan Nabi. Kalangan Syiah juga menganggap mereka maksum (tidak bisa
salah). Di pihak lain, ada pendapat yang berusaha menafikan keturunan nabi,
bahkan memusuhi, karena dianggap berpotensi merebut kekuasaan.
Kalau saya sih mudah-mudah saja; berada di antara dua pendapat di atas.
Saya cukup menghormati keturunan Nabi. Demikian juga sikap NU; dua pendapat
ekstrem itu tidak diikuti. Tegasnya, kami memiliki tradisi mencintai
keturunan Nabi, bukan semata-mata karena soal ketertundukan (the degree of
obedience) politik. Apakah harus tunduk secara politik pada keturunan Nabi
itu menjadi kewajiban agama atau tidak? Kelompok yang menganggap ketundukan
itu bagian dari agama disebut Syiah, sementara yang menganggapnya sebagai
persoalan sosiologis, disebut Sunni. Nah, dalam Sunni ini ada yang kadar
sosiologisnya dalam melihat persolan kuat, dan ada juga yang tidak.
JIL: Kita kembali ke persoalan negeri kita. Sekarang ada kelompok-kelompok
yang sangat rajin melakukan tindak kekerasan, ancaman, intimidasi, dan
lain-lain terhadap kelompok yang mereka tuding melakukan penodaan atau
penyimpangan agama. Gus Dur menanggapinya bagaimana?
Tidak bisa begitu. Cara itu tidak benar dan melanggar ajaran Islam. Tidak
bisa melakukan penghakiman dan kekerasan terhadap kelompok lain atas dasar
perbedaan keyakinan. Siapa yang tahu hati dan niat orang. Tidak ada itu
yang namanya pengadilan terhadap keyakinan. Keyakinan itu soal batin
manusia, sementara kita hanya mampu melihat sisi lahirnya. Nabi saja
bersabda, nahnu nahkum bil dlawâhir walLâh yatawalla al-sarâ'ir (kami hanya
melihat sisi lahiriah saja, dan Allah saja yang berhak atas apa yang ada di
batin orang, Red). Sejak dulu, kelompok yang suka dengan cara kekerasan itu
memang mengklaim diri sedang membela Islam, membela Tuhan. Bagi saya, Tuhan
itu tidak perlu dibela!
JIL: Kalau orang muslim tidak melaksanakan syariat Islam seperti salat atau
ibadah wajib lain, diapakan, Gus?
Begini ya? Saya sudah lama mengenalkan beberapa istilah penting dalam
melihat persoalan keberagamaan dalam masyarakat kita. Golongan muslim yang
taat pada masalah ritual, biasanya kita sebut golongan santri. Namun ada
golongan lain yang kurang, bahkan tidak menjalankan ritual agama. Mereka
ini biasanya disebut kaum abangan, atau penganut agama Kejawen. Lantas,
kita mau menyebut golongan kedua ini kafir? Tidak benar itu!
Saya baru saja yakin bahwa Kejawen itu Islam. Baru setengah tahun ini. Saya
baru yakin ketika mendengarkan lagu-lagunya Slamet Gundono (seorang dalang
wayang suket kondang, Red). Saya baru paham betul; ooh, begitu toh Kejawen.
Inti ajarannya sama saja dengan Islam. Bedanya ada pada pelaksanaan ritual
keagamaan. Kesimpulannya begini: Kejawen dan Islam itu akidahnya sama, tapi
syariatnya berbeda. Penganut Kejawen itu Islam juga, cuma bukan Islam
santri. Gitu loh? selesai, kan? Gitu aja repot.