Lagi-lagi kita dihadapkan pada pilihan. Hidup adalah pilihan. Benar? Salahkah? Hidup adalah spontanitas?
Saat kita jatuh adalah saat kita menjelas. Saat itu terasa tiada pilihan. Hanya ada gerakan. Tidak begitu
spontan, masih memilih tapi jelas tidak hanya berhenti pada kesadaran pada pilihan. Bahkan kesadaran akan adanya pilihan tak perlu ada. Kita memilih titik. Kemudian jalan.
Itu saat kita jatuh. Lalu kehidupan bagi kita berangsur-angsur berjalan normal kembali. Pelan-pelan
kita mulai mencari-cari posisi kenormalan diri kita. Tentu kita tidak mau terus berkubang dalam
persentimentilan (perasaan sentimentil). Oleh karena itulah kita mulai memasang titik referensi dimana saat kita masih merasa normal sebelum kita jatuh. Nah, kita kemudian akan berusaha terus ke arah titik referensi tersebut -- yang bisa berupa kenangan saat kita santai, rileks menghadapi tantangan, atau pada saat ambisius, dlsb, yang tentu bisa dijadikan titik perasaan normal, bila dibandingkan dengan perasaan saat jatuh, yaitu depresi, sedih berkepanjangan, uring-uringan, gampang marah, dlsb -- .
Normal bangun mengejar mimpi terjatuh bangkit mencari titik normal merasa normal bangun lagi
mengejar mimpi -- dst. Ini adalah sebuah siklus alami kehidupan manusia di bumi ini. Dan pencarian jati diri
kita terletak pada posisi siklus mencari titik normal -- . Tentu tidak harus seperti siklus di atas.
Namun perlu disadari terkadang yang kita cari sebagai jati diri sebenarnya adalah rasa kenormalan diri kita. Normal mengindikasikan rasa terbiasa pada diri kita. Hal apa yang membuat diri kita terasa paling nyaman? Bisa dikatakan, hal-hal tersebutlah yang merupakan kulit dari konsep-konsep kita mengenai jati diri kita. Tentu saja, kalau kita hanya mendefiniskan jati diri kita terhadap hal-hal materi di luar diri kita, maka kita akan mendapatkan konsep-konsep jati diri kita yang terlihat kaku, yang dapat membuat kita merasa bertanya-tanya karena mungkin kita akan cepat bosan dengan pengkaitan atau pelabel-labelannya. Tentu kita tidak akan pernah rela didefinisikan seperti sebuah konsep mati. Tentu kita selalu berusaha agar jangan sampai diri kita mudah ditebak. Namun anehnya, kita menginginkan diri kita mudah ditebak/diperkirakan oleh kita sendiri. Kita ingin terbiasa dengan diri kita yang kemudian hanya merupakan taktik kita belaka supaya bisa TERBIASA dengan kehidupan.