Teman-teman ada tulisan menarik, saya teruskan ke Anda, semoga berguna:
“Agama bukan sebagai TOPENG”
Munculnya aliran sesat kembali mengguncang atmosfer kehidupan keagamaan di Indonesia. Pengecapan sebuah aliran sesat sudah menjadi deretan panjang dalam sejarah Indonesia. Kasus Darul Arqam, Islam Jamaah, Ahmadiyah Qadian, Mujahidin- nya Warsidi (Lampung), Syi’ah, Baha’I, Inkarus Sunnah, Jamaah Imaran, gerakan Usroh, gerakan Bantaqiyah (Aceh), Tarekat Mufarridiyah dan lain-lain.
Semua itu adalah contoh di mana keyakinan di hakimi oleh negara dan umat mayoritas. Dalam kasus tersebut, negara dan faham mayoritas menjadi hakim atas sesat atau tidaknya sebuah keagamaan tertentu.
Kekuasaan Negara dan kaum mayoritas sering melebihi kekuasaan Tuhan, yang tidak pernah memaksakan umatnya untuk memilih agama atau faham tertentu. Dalam Islam, misalnya, ”La ikraha fiddin” adalah dalil kebebasan beragama yang tidak terbantahkan. Karenanya menjadi aneh jika ada kelompok atau penguasa mengintimidasi pilihan agama, keyakinan atau paham seseorang atau sekelompok orang. Apalagi perbedaan pemahaman terhadap ajaran agama sering berbuntut kekerasan.
Tidak hanya harta benda yang musnah, nyawapun tidak segan melayang di ujung ”pedang tuhan”. Atas nama Islam, seolah tindakan tidak manusiawi dilegalkan. Tuduhan sesat, kafir, murtad, zindik, dll dengan enteng keluar dari mulut ”islami”. Bertubitubi umpatan ganjil dilontarkan untuk orang yang berbeda mainstream berfikir keagamaannya.
Tanpa disadari bahwa ”wakil-wakil Tuhan” ini telah bertindak aniaya terhadap makhluk Tuhan lainnya. Seakan Tuhan menghendaki tindakan kekerasan, asal membela agamanya. Bersumber ”ayat-ayat kekerasan” yang telah diwahyukan, mayoritas muslim yang telah mapan bertindak semakin membabi buta. Tuhan mengutus ”wakil-wakilnya” di bumi menjadi ”hakim kebenaran”.
Yakni, manusia yang merasa dirinya mendapat wewenang istimewa membawa risalah pemahaman ajaran agama yang paling benar. Lainnya salah, sesat dan bukan Islam. Legitimasi kekerasan semakin kuat ketika Majelis Ulama Indonesia (MUI) ikut campur dengan mengeluarkan fatwa sesat. Padahal fatwa itu tidak bersifat mengikat. Artinya fatwa itu bisa diterima atau ditolak.
Ditambah, kesadaran mayoritas umat Islam Indonesia bahwa memerangi orang kafir diperintah Tuhan. Islam mengajarkan kehidupan damai dan merdeka kepada seluruh makhluk di bumi. Karena Tuhan bukan imperalis yang ingin menjajah manusia dan seisi jagad raya. Tuhan juga sering mengingatkan manusia agar saling menghormati, menghargai, toleransi, berlaku adil bahkan dengan musuh umat Islam sendiri.
Karena tidak seorang manusia pun tahu secara gamblang siapa yang benar dan salah. Biarkan hak istimewa menghakimi perbedaan ini diserahkan sepenuhnya kepada Tuhan. Karenanya, MUI itu bukan wakil Tuhan di Indonesia yang mempunyai otoritas kebenaran putusan pemahaman keagamaan. Pasalnya, Tuhan tidak pernah memberikan wewenang kepada MUI untuk menjustifikasi sengketa tersebut.
Asal-usul agama.
Jika ditilik kebelakang, sebuah agama muncul dari sebuah kegelisahan seorang moralis dalam pengertian yang sebenar-benarnya. Kegelisahan dalam dirinya, lahir akibat melihat realitas di sekitarnya, yang tidak sesuai dengan nurani, nilai-nilai luhur, dan moral. Tentu, dalam pandangan seorang guru moral yang suci. Seorang guru moral akan gelisah melihatnya.
Misalnya, ketimpangan-ketimpangan sosial dalam masyarakat, kemenangan terus-menerus kelompok despotik dalam memperlakukan anti manusiawi terhadap kelompok lemah. Realitas yang timpang itu, bisa jadi muncul akibat aturan-aturan sistem sosial yang ada, sama sekali tidak adil. Atau ada komunitas lain tertentu yang mendominasi dalam sistem masyarakat, tanpa memberikan toleransi kepentingan kepada komunitas lain yang kecil.
Juga, bisa jadi akibat pemujaan terhadap para raja berlebihan, para bangsawan atau elit politik. Bisa jadi pula, akibat elit-elit agama yang ada, perilakunya bertolak belakang dengan ajaran-ajarannya sendiri, sehingga membuat skandal. Dari ini semua, akhirnya sistem sosial timbul. Agama, selain sebagai ”sumber makna” bagi etos sebuah masyarakat, juga berpotensi sebagai ”sumber konflik”.
Agama menanamkan pada manusia apa yang disebut Geertz dalam The Interpretation of Cultures (1973: 127) sebagai ”vitalitas moral”. Ini lahir oleh karena komitmen yang total pada apa yang diyakini sebagai ”Hakikat realitas yang fundamental”. Nah, keyakina akan adanya ”hakikat realitas yang fundamental” inilah yang menjadi ”sumber makna” bagi umat beragama. Akan tetapi di pihak lain, agama juga bisa menjadi ”inspirator” lahirnya sebuah konflik sosial di masyarakat.
Sebab agama melalui teks-teks keagamaan —secara eksplisit menanamkan nilai-nilai eksklusifisme, fanatisme, keunggulan doktrin, truth claim dan semangat ”nasionalisme religius”. Ajaran-ajaran yang tertuang dalam teks keagamaan itu secara langsung atau tidak dapat memicu timbulnya konflik sosial di masyarakat. Agama dengan demikian menyimpan sejumlah paradoks.
Satu sisi agama dialami sebagai jalan dan penjamin keselamatan, cinta, dan perdamaian. Di pihak lain, sejarah membuktikan, agama justru menjadi sumber, penyebab, dan alasan bagi kehancuran dan kemalangan umat manusia. Karena agama orang bisa saling mencinta. Tetapi atas nama agama pula orang bisa membunuh dan menghancurkan.
Bahkan ideologi dan komitmen keagamaan telah menjadi faktor sentral dalam eskalasi kekerasan dan kejahatan. Oleh karena itu, fenomena penghakiman oleh negara terhadap paham keagamaan mengindikasikan bahwa negara ingin membuat paham resmi. Yakni paham yang diakui keberadaannya oleh pemerintah, yaitu untuk Islam MUI sebagai rujukan, untuk Kristen PGI menjadi rujukannya.
Jika paradigma intervensi ini tidak segera disudahi, baik oleh pemerintah, MUI maupun kelompok-kelompok lain yang sok benar sendiri, maka masa depan kehidupan keagamaan Indonesia tidak secerah yang kita bayangkan. Sehingga janganlah agama selalu dijadikan sebagai ”topeng”. Biarkanlah seperti dalam Alquran: ”bagiku agamaku dan bagimu agamamu”. hf
Munif Ibnu El-amny
Mahasiswa Fakultas
Syari’ah IAIN Walisongo