Perjuangan diplomasi adalah hal yang menarik pada waktu itu. Selain karena sebagai bangsa yang baru pengalaman untuk melakukan diplomasi serba terbatas, hal lain yang patut kita cermati adalah kemerdekaan yang baru saja diplokamirkan ternyata bertentangan dengan tatanan dunia pada waktu itu. Dalam konteks itu, kemerdekaan bukanlah hak segala bangsa sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945, tetapi kemerdekaan adalah sesuatu yang diperjanjikan. Jadi, perjuangan diplomasi Indonesia tidak hanya melawan pada masa itu bukan hanya negeri Belanda, bahkan tatanan internasional. Piagam PBB yang lahir hampir bersamaan dengan Proklamasi RI pun belum mengakui hak bangsa terjajah untuk merdeka.
Tepat rasanya manakala Presiden Soekarno mendirikan Departemen Luar Negeri dua hari setelah proklamasi. Demikian pula Mohammad Hatta dalam pidatonya pada 15 Desember 1945 menegaskan bahwa diplomasi Indonesia haruslah didukung seluruh lapisan rakyat. Mr Ahmad Soebarjo adalah Menteri Luar Negeri pertama Indonesia. Hal pertama dan utama yang dilakukan Kementerian Luar Negeri pada masa Ahmad Soebardjo adalah menyiarkan kemerdekaan Indonesia ke masyarakat internasional. Hal ini tidak mudah, karena ketatnya intimidasi Jepang yang sudah takluk kepada sekutu.
Karena belum memiliki kantor, maka Ahmad Soebardjo membuka kantor di rumahnya sendiri di Jl Cikini Raya no 80-82 Jakarta. Pada masa itu hanya ada beberapa staf yang membantu beliau, seperti Ny Herawati Diah, Paramita Abdulrachman, Mr Sudjono, Suyoso Hadiasmoro, dan Hadi Thayeb. Kemudian kantor berpindah ke Jl Cilacap no 4 yang merupakan bekas gedung Departemen Pendidikan dan Kebudayaan di zaman Belanda dan Jepang. Namun, karena sering dilempari granat oleh NICA, maka pada Oktober 1945 kantor dipindahkan ke Jl Pegangsaan Timur no 36, bekas rumah pelukis Dezentje. Di sinilah organisasi Kemlu mulai mengembangkan diri meskipun serba terbatas. Mula-mula hanya ada satu sekretariat yang dipimpin Mr Sudjono yang menjadi Sekretaris Kemlu pertama.
Bagian-bagian yang dibentuk pada waktu itu di antaranya adalah Bagian Hubungan Masyarakat, Bagian Terjemahan dengan juru bahasanya, Bagian Penerangan merangkap Penghubung yang memelihara hubungan dengan Kementerian lainnya, Konsulat-konsulat asing, dan Markas Besar Tentara Sekutu di Jakarta. Ada pula bagian politik dan bagian yang mengurus kepegawaian, keuangan, dan arsip.
Kegiatan Kemlu pada waktu itu difokuskan pada hubungan dengan pimpinan tentara dan sipil Jepang yang masih berada di Jakarta dan persiapan dalam rangka kedatangan NICA. Mengingat perlunya usaha yang progresif untuk memperoleh pengakuan internasional sebanyak-banyaknya dalam waktu sesingkat mungkin, maka harus ada upaya segera menghimpun tenaga-tenaga terbaik guna membantu Menteri Luar Negeri. Sutan Sjahrir, yang kemudian menjadi Perdana Menteri merangkap Menteri Luar Negeri, memperhatikan serius hal ini.
Pada masa itu mulailah dirintis usaha membuka perwakilan di luar negeri. Mula-mula dibuka kantor perwakilan di Singapura pimpinan Mr Utoyo Ramelan, disusul dengan perwakilan-perwakilan di New Delhi (Dr Soedarsono), Karachi (Idham), Rangoon (Maryunani), Canberra (Mr Usman Sastroamidjojo), Bangkok (Izak Mahdi), Kairo (H Rasyidi), Baghdad (Imron Rosyadi), London (Dr Soebandrio), Kabul (Mayjen Abdul Kadir), New York (LN Palar).
Semakin meningkatkan usaha memperoleh pengakuan dari amsyarakat internasional. Pencapaian yang sangat penting dalam masa Syahrir adalah mulai dibahasnya masalah Indonesia di PBB pada Januari 1946 atas usul utusan Republik Sosialis Ukraina sebagai reaksi atas tertindasnya rakyat Indonesia.
Agus Salim yang menjadi Menteri Muda Luar Negeri pada masa Syahrir, memiliki kontribusi besar dalam memromosikan kemerdekaan Indonesia, terutama kepada negara-negara Timur Tengah. Tercatat Mesir adalah negara yang pertama kali mengakui kemerdekaan Indonesia pada 23 Maret 1946. Selanjutnya, negara-negara Liga Arab (Mesir, Irak, Lebanon, Arab Saudi, Syria, Yaman, dan Yordania) mengeluarkan resolusi pada 18 Nopember 1946 yang mengakui Indonesia sebagai negara yang berdaulat.
Penindasan terus-menerus tentara Belanda terhadap Indonesia kemudian memaksa keduanya duduk dalam Perundingan Linggajati yang diinisiasi oleh Loard Killen, komisi khusus Inggris. Hasil perundingan yang ditandatangani pada 25 Maret 1947 itu pada pokoknya memuat pengakuan Belanda secara de facto atas Republik Indonesia yang meliputi Sumatra, Jawa, dan Madura.
Perundingan itu tidak serta merta menghentikan pertempuran. Malah, Belanda melakukan agresi militer. Berkaitan dengan itu, Sutan Sjahrir mendapat kesempatan berbicara di muka Sidang DK PBB untuk menjelaskan tindakan semena-mena Belanda dan pada akhirnya meminta DK untuk membentuk badan arbitrase yang tidak memihak. Badan itu bernama Komisi Tiga Negara (KTN) yang beranggotakan Belgia, Australia, dan Amerika Serikat.
Pada Juli 1947, Kemlu memindahkan kantor ke Yogyakarta sebagai akibat adanya agresi militer Belanda. Di Yogyakarta, Kemlu semula berada di Jl Terban Taman no 8 dan kemudian pindah ke Jl Mahameru no 11. Kegiatan Kemlu di Yogyakarta difokuskan untuk memfasilitasi berbagai perundingan, terutama aktivitas KTN.
KTN kemudian memelopori Perundingan Renville pada 8 Desember 1947 yang menghasilkan pengakuan de facto Indonesia dengan wilayah yang lebih sempit. Di dalam negeri, hasil perundingan mendapat penentangan dari beberapa pihak. PKI di bawah Muso menyatakan pemberontakan Madiun pada September 1948. Sebelumnya PM Amir Syarifuddin yang menandatangani Perjanjian Renville juga mengundurkan diri dan membelot karena kekecewaan terhadap PNI dan Masyumi. Hal ini merupakan tantangan berat bagi diplomasi Indonesia.
Diplomasi Indonesia tidak berhenti meski Belanda merebut ibu kota Yogyakarta pada 19 Desember 1949. Sesaat sebelum ditawan, Menlu Agus Salim sempat mengirim mandat kepada LN Palar, Dr Soedarsono, dan Mr Maramis untuk terus berdiplomasi di luar negeri. Ketiga diplomat inilah (dan PDRI Bukittinggi) yang berjasa menyiarkan Serangan Umum 1 Maret 1949 ke Birma, New Delhi, dan seluruh dunia, hingga ke Markas Besar PBB, New York. Akibatnya, PBB memrakarsai perundingan Indonesia dengan Belanda di mana delegasi Indonesia dipimpin Mohammad Roem pada April 1949. Perundingan ini menyepakati diadakannya Konferensi Meja Bundar (KMB) yang pada akhirnya mengakui kedaulatan Indonesia. Tidak lama setelah itu, Indonesia masuk menjadi anggota PBB.
Proses diplomasi Indonesia yang penuh tantangan, baik dari dinamika domestik, ancaman arogansi Belanda, maupun tatanan internasional yang tidak kondusif, telah membuat diplomasi Indonesia menjadi matang dalam kebeliaannya. Sejak awal terlihat bahwa diplomasi Indonesia memainkan peran yang independen, jelas, tegas, dan berwibawa. Dengan politik luar negeri yang bebas dan aktif, Indonesia tidak mudah terjebak dalam konstelasi konflik global. Meski berjuang melawan kolonialisme, bukan berarti Indonesia memihak pada komunisme. Bahkan, selain memberantas PKI, Indonesia justru memilih Australia, yang merupakan sekutu blok liberalis, untuk menjadi anggota KTN.
Diplomasi Indonesia juga mengajarkan bahwa konflik tidak harus diselesaikan dengan kekerasan, tetapi bisa juga melalui perundingan. Diplomat Indonesia sekarang juga harus meneladani kebersahajaan, kegigihan, kecakapan, dan semangat diplomat era kemerdekaan. Pada Konferensi Asia Afrika 1955 misalnya, Ali Sastroamijoyo dan Roeslan Abdulgani harus rela menggunakan jasnya untuk mengepel lantai karena atap Gedung Merdeka yang bocor. Terlihat bahwa keterbatasan dan segala tantangan tidaklah menjadi hambatan bagi diplomasi era itu.
Perjuangan LN Palar dan Dr Soedarsono di PBB pun sangat besar. Diplomat Indonesia di PBB bertahun-tahun gigih memperjuangan hak dari bangsa-bangsa terjajah untuk menentukan nasibnya sendiri yang kemudian baru diakui PBB pada tahun 1960 melalui Resolusi PBB Nomor 1514.
Membuka album kenangan diplomasi Indonesia harusnya tidak hanya melulu mempelajari fakta historis. Lebih dari itu, sisi-sisi perjuangan diplomasi era kemerdekaan harus mengilhami diplomat-diplomat Indonesia secara individu maupun Deplu secara kolektif untuk menunjukkan diplomasi perjuangan yang sejati.
(Awidya Santijaya, dimuat di buletin All Write, edisi 5)