Pertanyaan-pertanyaan Yesus, dalam mana Dia dengan jelas menyatakan diriNya sebagai Allah, menghapuskan taktik populer kaum skeptis yang menganggap Yesus hanya sebagai seorang manusia baik dengan moral tinggi atau seorang nabi yang mengucapkan banyak hal yang luar biasa hebat dan bersifat dalam. Demikian sering kesimpulan itu diterima sebagai satu-satunya kesimpulanyang bisa diterima para sarjana atau sebagai hasil yang jelas dari proses intelektual. Masalahnya banyak orang yang mengangggukkan kepalanya tanda setuju dan tak pernah melihat kesalahan dalam pertimbangan yang demikian.
Bagi Yesus, apa yang dipercayai orang tentang siapa diriNya sangat penting. Bila seseorang mendengar apa yang Yesus katakan dan nyatakan mengenai diriNya sendiri, maka orang itu tak bisa menyimpulkan bahwa Yesus cuma seorang yang baik dengan moral tinggi atau seorang nabi. Alternatif itu tidak ada bagi seseorang, dan Yesus tidak pernah bermaksud memberi alternatif itu.
C.S. Lewis, almarhum profesor di Universitas Cambridge, yang dulunya adalah seorang agnostic (orang yang tidak mengakui adanya Allah), memahami masalah ini dengan jelas. Ia menulis, “Di sini saya mencoba mencegah siapapun untuk mengatakan yang sungguh-sungguh bodoh yang sering dikatakan seseorang tentang Dia, yaitu ‘Saya siap menerima Yesus sebagai seorang guru moral yang agung, tetapi saya tidak dapat menerima pernyataanNya bahwa Dia adalah Allah.’ Justru itulah itulah satu-satunya hal yang tidak boleh kita katakan. Seseorang yang cuma manusia saja yang mengatakan hal-hal yang Yesus katakan, tak mungkin seorang guru moral yang agung. Pastilah dia seorang gila-setingkat dengan orang yang mengatakan dirinya telur goreng – atau tentulah dia iblis sendiri yang berasal dari neraka. Anda harus menentukan pilihan anda. Entah orang ini Anak Allah, atau orang gila atau sesuatu yang lebih buruk lagi.”
Kemudian Lewis menambahkan,”Anda dapat menyuruhNya menutup mulutNya dengan menyebutkanNya seorang tolol, anda dapat meludahiNya dan membunuhNya dengan menyebutkanNya setan, atau anda dapat jatuh berlutut di kakiNya dan menyebutNya Tuhan dan Allah. Tetapi jangan menyebutkan omong kosong dengan mengatakan bahwa Dia seorang manusia dan guru yang agung. Ia tidak pernah memberi pilihan itu kepada kita.
Isa menyatakan diriNya sebagai Allah. Ia tidak membiarkan pilihan-pilihan lain terbuka bagi manusia. Maka pernyataanNya haruslah salah atau benar. Karena itu kita, setiap manusia, harus mempertimbangkan dengan sungguh-sungguh. PertanyaanNya yang dikatakan pada murid-muridNya, “Tetapi menurut kamu, siapakah Aku?” (Mat 16), mempunyai beberapa alternatif.
Pertama mari kita mempertimbangkan kemungkinan bahwa pernyataanNya sebagai Allah adalah salah. Kalau pernyataan itu salah, maka hanya mempunyai dua alternatif saja. Entah Isa tahu bahwa pernyataanNya itu salah, atau Dia tidak mengetahuinya. Kita akan membahas masing-masing alternatif secara terpisah dan menguji bukti-buktinya.
APAKAH IA SEORANG PENIPU?
Kalau, pada waktu Isa menyatakan pernyataan-pernyataanNya mengenai diriNya Dia tahu bahwa diriNya bukan Allah, maka berarti Ia berdusta dan dengan sengaja menipu pengikut-pengikutNya. Tetapi jika Dia seorang pembohong, maka Dia pun juga seorang munafik karena Dia mengajarkan orang lain untuk bersikap jujur, apapun akibatnya, sementara Dia sendiri mengajarkan dan menjalankan hidupNya sebagai suatu kebohongan besar-besaran. Lebih daripada itu, tentulah Ia itu setan, karena dia mengatakan kepada orang lain untuk percaya kepadaNya demi memperoleh kehidupan kekal mereka. Jika Ia tidak dapat menopang pernyataan-pernyataanNya ini, dan Dia mengetahui hal itu, maka jelas sekali bahwa Dia adalah seorang yang luar biasa jahat. Yang terakhir, pastilah Ia juga seorang yang tolol karena justru pernyataan-pernyataanNya bahwa Ia adalah Anak Allah, yang telah menyebabkan penyalibanNya.
Banyak orang akan mengatakan bahwa Isa adalah seorang guru moral yang baik. Marilah kita bersikap realistis. Bagaimana mungkin ia bisa menjadi seorang guru moral yang agung dan dengan penuh kesadaran menyesatkan orang mengenai pokok terpenting dari ajaranNya, yaitu identitas diriNya sendiri?
Dengan demikian secara logis kita terpaksa menyimpulkan bahwa Isa dengan sadar seorang pembohong. Namun demikian pandangan ini mengenai Isa tidak cocok dengan apa yang kita tahu baik tentang diriNya, maupun tentang hasil-hasil dari kehidupan dan ajaran-ajaranNya. Di manapun Isa diberitakan, ternyata kehidupan manusia berubah menjadi lebih baik. Ada pencuri-pencuri yang telah berubah menjadi orang-orang yang jujur. Pecandu alkohol disembuhkan. Pendengki menjadi saluran kasih. Dan mereka yang tidak adil menjadi orang yang adil.
William Lecky, salah seorang dari ahli-ahli sejarah Inggris yang paling terkemuka, dan seorang lawan gigih terhadap agama Kristen yang terorganisasi, menulis, “Sudah ditetapkan bagi agama Kristen untuk memberikan kepada dunia ini seorang tokokh ideal yang, selama seluruh perubahan yang terjadi dalam 18 abad, telah memberikan inspirasi kepada hati orang-orang dengan kasih yang sangat dalam. Agama Kristen telah membuktikan dirinya mampu berfungsi dalam manusia segala usia, dalam semua bangsa, dalam segala temperamen manusia, dan semua keadaan. Agama inipun terbukti bukan saja merupakan satu-satunya pola kebajikan yang tertinggi, melainkan pula dorongan yang paling kuat bagi prakteknya … . Catatan sederhana dari kehidupan aktif (Isa) selama tiga tahun yang singkat ini telah berjasa lebih banyak untuk mengubah serta melunakkan manusia daripada semua pencarian para ahli filsafat dan semua desakan dari kaum moralis.
Philip Schaff, seorang ahli sejarah, mengatakan, “Kesaksian (Isa) ini, kalau tidak benar, maka tentunya suatu hujatan atau kegilaan yang terang-terangan. Hipotesa yang disebutkan pertama di atas tak bisa bertahan sejenakpun di hadapan kemurnian moral dan martabat Isa, yang diungkapkan dalam setiap kata dan perbuatanNya, dan yang diakui oleh bangsa-bangsa di seluruh dunia. Penipuan diri (Isa) dalam masalah yang demikian menentukan, dan dengan otak yang dalam segala hal begitu jelas dan sehat, pun tak mungkin. Bagaimana mungkin Ia dapat menjadi seorang yang penuh semangat ataupun seorang gila yang tak pernah kehilangan kewarasan pikiranNya, yang dengan tenang menempuh segala kesusahan dan penganiayaan, bagaikan matahari di atas awan-awan, yang selalu mengembalikan jawaban yang paling bijaksana terhadap pertanyaan-pertanyaan yang penuh jebakan, yang dengan tenang dan penuh pertimbangan meramalkan kematianNya di kayu salib, kebangkitanNya, kehancuran Yerusalem – ramalan-ramalan yang kesemuanya secara harafiah telah dipenuhi? Seorang tokoh yang begitu orisinal, begitu lengkap dan begitu konsisten, begitu sempurna, begitu manusiawi dan pada saat yang sama begitu tinggi melalmpaui segala kebesaran umat manusia, tak mungkin menjadi seorang penipu atau tokoh khayalan belaka. Dalam hal ini, si penyair, seperti telah dikatakan, tentunya lebih hebat daripada si pahlawan. Diperlukan lebih daripada sekedar seorang Isa untuk mengkhayalkan seorang Isa.
Pada kesempatan lain Scahaff mengemukakan argumen yang meyakinkan dalam melawan anggapan bahwa Almasih adalah seorang pembohong: “Bila ditinjau dari sudut-sudut logika, akal sehat dan pengalaman, bagaimana mungkin, seorang penipu, yaitu seorang yang penuh tipu daya, egois dan rusak akhlak, telah menciptakan tabiat yang paling murni dan mulia yang pernah dikenal dalam sejarah, yang begitu sempurna, yang begitu sempurna dalam hal kebenaran dan realitas, serta berhasil mempertahankannya sejak semula sampai akhir secara konsisten? Bagaimana mungkin Ia berhasil menciptakan dan berhasil melaksanakan suatu rencana yang tak terbanding manfaat kebaikannya, kebesaran moralnya dan keagungannya, serta mengorbankan hidupnya sendiri untuk hal itu, sementara menghadapi prasangka-prasangka yang paling kuat dari bangsanya sendiri dan zamannya?
Jika Isa ingin supaya banyak orang mengikut Dia dan percaya kepadaNya sebagai Allah, mengapa Dia pergi kepada bangsa Yahudi? Mengapa Dia tampil sebagai seorang tukang kayu dari Nazaret kepada sebuah negeri yang begitu kecil ukurannya serta sedikit penduduknya serta begitu kuat keyakinannya akan keesaan Allah yang tak mungkin terpisahkan? Mengapa Ia tidak pergi misalnya ke Mesir, atau, terlebih lagi ke Yunani, di mana semua orang itu percaya akan berbagai dewa dan berbagai perwujudannya?
Seseorang yang menjalankan hidupnya sebagaimana dilakukan Isa, yang mengajar seperti Isa mengajar, dan mati seperti Isa mati, tak mungkin adalah seorang penipu. Lalu apakah alternatif-alternatif yang lain?
APAKAH IA SEORANG GILA?
Jika sama sekali tak masuk akal memikirkan Isa sebagai seorang pembohong, lalu mungkinkah Isa sendiri keliru dalam hal mengira diriNya adalah Allah? Bagaimanapun juga, adalah mungkin bagi seseorang untuk bersifat tulus hati namun toh keliru. Tetapi kita harus ingat bahwa jika seseorang menganggap dirinya Allah, khususnya dalam suatu kebudayaan monotheistis yang amat kuat, dan kemudian mengatakan kepada orang lain bahwa masa depan . Tetapi kita harus ingat bahwa jika seseorang menganggap dirinya Allah, khususnya dalam suatu kebudayaan monotheistis yang amat kuat, dan kemudian mengatakan kepada orang lain bahwa masa depan eka yang kekal tergantung pada kepercayaannya pada dia, maka orang tersebut bukanlah sekedar mengalami suatu khayalan yang sedikit menyeleweng, melainkan pemikirannya adalah pemikiran seorang gila dalam arti yang sepenuhnya. Apakah Isa Almasih orang yang demikan?
Seseorang pada zaman itu menganggap dirinya Allah, kedengarannya pada masa kini seperti seseorang yang menganggap dirinya Napoleon. Dia akan terkecoh dan menipu dirinya sendiri, dan mungkin dia akan ditahan di sebuah tempat khusus supaya dia tidak menyakiti dirinya sendiri maupun orang lain. Namun demikian di dalam Isa kita tidak menemukan tanda-tanda ketidak normalan dan ketidakwarasan yang biasanya kelihatan pada orang yang gila. Sikap tenangNya dan tingkah-lakuNya yang meyakinkan itu tentu akan amat mengherankan seandainya Dia memang gila.
Dua dokter, arthur P. Noyes dan lawrence C. Kolb, dalam sebuah buku kedokteran, menggambarkan seorang yang menderita penyakit jiwa schizophrenia sebagai orang yang sifatnya lebih terpusat pada pikiran tentang dirinya sendiri dan dunia kahyalan daripada bersifat realistis. Keinginan seorang schizophrenia sudah melarikan diri dari dunia realistis. Baiklah kita menghadapi kenyataan ini. Menyatakan diri sebagai Allah tentunya berarti melarikan diri dari kenyataan.
Berdasarkan hal-hal lain yang kita tahu tentang Isa, sulit untuk kita bayangkan bahwa Dia adalah orang yang tidak waras pikiranNya. Dia adalah seorang laki-laki yang mengatakan sebagian ucapan-ucapan yang artinya paling dalam yang pernah dicatat oleh manusia. Ajaran-ajaranNya telah membebaskan banyak orang yang sebelumnya terikat secara mental. Clark H. Pinnock bertanya, “Apakah Ia terkecoh tentang kebesaranNya itu? Apakah ia penderita paranoia, seorang yang tak sengaja menipu, seorang schizophrenis? Sekali lagi, kecakapan dan kedalaman ajaran-ajaranNya mendukung kesehatan mentalNya secara menyeluruh. Kalau saja kita bisa sewaras Dia!”
Seorang mahasiswa pada sebuah universitas California mengatakan pada saya bahwa profesor psikologinya pernah berkata di kelas bahwa “dia cuma perlu mengambil Alkitab dan membacakan bagian-bagian dari Ajaran Almasih kepada banyak pasiennya. Cuma itu konseling yang mereka perlukan.
J.T. Fisher, seorang psikiater, menyatakan, “Seandainya kita mengumpulkan keseluruhan artikel bermutu yang pernah ditulis para psikolog dan psikiater yang paling berbobot tentang kesehatan mental – seandainya kita mengkombinasikan serta memperbaikinya dan membuang segala kata yang hanya merupakan hiasan, dan seandainya kita mengumpulkan setiap bagian dari pengetahuan ilmiah yang murni dan tidak menyeleweng ini, yang secara tepat dan padat diungkapkan oleh para penyair paling pandai yang hidup sekarang ini, kita akan memiliki suatu ringkasan yang janggal dan tidak lengkap dari Kotbah di Bukit. Dan bila diperbandingkan dengan Kotbah di Bukit, maka ringkasan itu akan sangat tidak memadai. Selama hampir 2000 tahun dunia Kristen telah memegang dengan tangannya jawaban yang lengkap terhadap keinginan-keinginannya yang penuh kegelisaan dan kesea-siaan. Di sini … terdapat rancangan bagi kehidupan manusia yang dapat berhasil dengan optimisme, kesehatan mental dan kepuasan.
C.S. Lewis menulis, “ Kesulitan historis dalam memberikan penjelasan apa pun bagi kehidupan, ucapan-ucapan dan pengaruh Isa yang tidak lebih sulit daripada penjelasan Kristen amatlah besar. Kesenjangan antara kedalaman dan kesehatan … dari ajaran-ajaran moralNya dan megalomania yang merajalela yang harus terletak di balik ajaran theologisNya kecuali kalau dia benar-benar Allah, tak pernah dijelaskan dengan cara yang sungguh-sungguh memuaskan. Karena itu hipotesa-hipotesa non-Kristen menggantikan yang satu dengan yang lain dengan kebingungan yang terus-menerus penuh dengan kegelisahan.”
Philip Schaff berargumentasi,”Apakah pemikiran yang demikian – yang jelas bagaikan langit, yang menyegarkan bagaikan udara dingin dipegunungan, yang tajam dan mampu menembus bagaikan pedang, yang secara keseluruhan sehat dan kuat, yang selalu siap dan selalu penuh penguasaan diri – dapaty dikenakan oleh pengecohan yang radikal dan paling serius mengenai tabiat dan isiNya sendiri? Sungguh suatu khayalan yang konyol.”
APAKAH DIA TUHAN?
Secara pribadi saya tak bisa menyimpulkan bahwa Isa adalah pembohong atau orang gila. Alternatif lainnya yang tinggal ialah bahwa Dia adalah Almasih, Anak Allah, sperti yang dinyatakanNya.
Bila saya membicarakan hal ini dengan kebanyakan orang Yahudi, saya tertarik dengan tanggapan mereka. Umumnya mereka mengatakan bahwa Isa adalah seorang pemimpin keagamaan yang jujur dan bermoral, seorang yang baik, atau sejenis nabi. Kemudian saya menceritakan kepada mereka pernyataan-pernyataan yang Isa buat tentang diriNya serta bahan pembicaraan dalam bab ini mengenai ketiga pilihan tersebut (pembohong, orang gila, atau Tuhan). Ketika saya tanyakan kepada mereka apakah mereka percaya bahwa Isa seorang pembohong, dengantajam merekamenjawab “tidak!” Lalu saya bertanya, “apakah anda percaya bahwa Dia orang gila?” jawabannya, “Sudah tentu tidak.” Apakh anda percaya Dia itu Allah?” sebelum saya menarik napas, terdengar suara yang menggema, “Sama sekali tidak.” Namun demikian terbataslah pilihan yang ada.
Masalah dengan ketiga pilihan ini bukanlah pilihan mana yang mungkin, karena jelas sekali bahwa ketiga-tiganya itu mungkin. Melainkan pertanyaannya adalah, “Pilihan mana yang paling mungkin?” Siapa Isa Almasih menurut anda tidak boleh menjadi suatu latihan intelektual yang iseng-iseng saja. Anda tak dapat mengesampingkanNya sebagai seorang guru moral yang agung. Itu bukan pilihan yang sah. Atau bahkan Dia seorang pembohong, seorang gila atau Tuhan dan Allah. Anda harus menentukan pilihan. “Tetapi” demikian tulis rasul Yohanes, “Semua yang tercantum di sini telah dicatat, supaya kamu percaya, bahwa Isa-lah Mesias, Anak Allah, dan “ – yang lebih penting lagi – “supaya kamu oleh imanmu memperoleh hidup dalam namaNya” (Yoh. 20)
Sumber : Buku "Bukan sekedar tukang kayu" oleh Josh McDowell