
foto: https://www.mustafalan.com
Berjam-jam membaca al-Qur’an sesuatu yang benar-benar jarang kami lakukan. Berjam-jam ikuti kajian kitab pun jarang kami lakukan. Berjam-jam membolak-balik kitab para ulama pun ada masalah untuk kami tengok pada kebanyakan sosok pemuda muslim di masa ini. Namun, berjam-jam di depan internet tanpa tersedia aktifitas yang paham dan bermutu adalah sesuatu yang lumrah. Terlebih kembali dengan tersedia facebook yang kini marak di dunia maya. Sungguh benar Allah ta’ala yang berfirman (yang artinya), “Demi masa, sebetulnya semua orang benar-benar berada di dalam kerugian, kalau orang-orang yang beriman, beramal salih, saling menasihati di dalam kebenaran, dan saling menasihati di dalam kesabaran.” (QS. al-’Ashr : 1-3).
Perkembangan teknologi bukanlah sesuatu yang sanggup disalahkan. Hanya saja, kebanyakan orang tidak sanggup kenakan product kecanggihan teknologi itu dengan sebagaimana seharusnya. Cobalah kami ingat lebih berasal berasal dari satu belas tahun yang silam, kala televisi selalu jadi barang langka, kala internet dan hape belum meluas sebagaimana sekarang. Niscaya dapat kami dapati banyak kemungkaran yang dahulu jarang kami temukan berjalan secara terang-terangan ternyata pada masa kala ini ini telah jadi barang yang biasa dan lumrah menghiasi PC, laptop, dan perangkat komunikasi para generasi muda. Allahul musta’an! Sungguh benar sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Segeralah beramal sebelum dapat datangnya fitnah-fitnah bak potongan-potongan malam yang gelap gulita. Pada pagi hari seorang selalu beriman namun di sore harinya dia telah jadi kafir.” Atau “Pada sore hari selalu beriman namun di pagi harinya dia jadi kafir.” “Dia puas menjual agamanya demi raih sekeping kesenangan dunia.” (HR. Muslim).
Saudaraku -semoga Allah merawat diriku dan dirimu- kala yang Allah memberi tambahan kepada kami merupakan nikmat yang benar-benar agung. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ada dua buah nikmat yang kebanyakan manusia terpedaya sebab tidak sanggup kenakan keduanya dengan baik, yakni kesehatan dan kala luang.” (HR. Bukhari). Hasan al-Bashri rahimahullah mengatakan, “Hai anak Adam, sebetulnya kamu adalah kumpulan perjalanan hari. Setiap kali hari berlalu maka lenyaplah lebih berasal berasal dari satu berasal berasal berasal dari dirimu.” Ada orang yang mengatakan, “Waktu bagaikan pedang, kalau kamu tidak menebasnya -dengan kebaikan- maka dia dapat menebasmu -dengan keburukan-.”
Hidup di dunia adalah kala ya akhi…, untuk apa kami buang kala kami di dalam perkara-perkara yang sia-sia? Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Apakah kalian mengira, bahwa Kami menciptakan kalian percuma belaka, dan kalian tidak dapat dikembalikan kepada Kami?”. (QS. al-Mukminun : 115). Allah terhitung berfirman (yang artinya), “Kemudian sesudah itu kalian terhitung dapat mati, sesudah itu kalian kelak dapat dibangkitkan pada hari kiamat.” (QS. al-Mukminun : 15-16).
Setiap mukmin, kala ditanya; untuk apa kamu hidup? Niscaya sepanjang akalnya selalu waras dapat menjawab; untuk beribadah kepada Allah. Benar-benar jawaban yang cerdas. Namun, kala kami menyimak dengan seksama aktifitas dan tingkah laku manusia di alam nyata di dalam bentuk gerak-gerik mata, jari-jemari, tangan dan kakinya, di kala siang, sore atau malam hari, maka dapat kami temukan realita yang berkebalikan seratus delapan puluh derajat berasal berasal berasal dari jawaban yang mereka lontarkan. Mereka makan untuk mencukupi udara nafsu. Mereka menyaksikan untuk mencukupi udara nafsu. Mereka berjalan untuk raih apa yang di menghendaki oleh nafsu. Mereka begadang terhitung untuk mencukupi tuntutan udara nafsu. Mereka membuka mata dan telinga lebar-lebar pun untuk mencukupi keinginan udara nafsu.
Kita tidak tengah menyibukkan diri dengan membahas aib orang lain, namun yang kami bicarakan adalah aib-aib kami yang Allah sendirilah yang paling paham betapa banyak aib kami di mata-Nya. Meskipun demikian, kami seperti orang yang masa bodoh dengan dosa-dosanya. Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu mengatakan, “Seorang mukmin dapat menyaksikan dosanya bagaikan sebuah bukit besar yang dapat menimpa dirinya. Sedangkan seorang yang fajir dapat menyaksikan dosanya hanya seperti seekor lalat yang hinggap di depan hidungnya sesudah itu dia halau dengan jari dengan santainya.”
Subhanallah! Betapa jauhnya kami dengan akhlak salafus shalih. Ibnu Abi Mulaikah mengatakan, “Aku bersua dengan tiga puluh kawan dekat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka semua jadi cemas dirinya tertimpa kemunafikan.” Hasan al-Bashri rahimahullah mengatakan, “Seorang mukmin dapat memadukan di di dalam dirinya pada ihsan/perbuatan baik dengan rasa takut. Sedangkan seorang yang munafik dapat memadukan di di dalam dirinya pada tingkah laku tidak baik dengan rasa safe berasal berasal berasal dari tertimpa hukuman.” Allahul musta’aan!
Di manakah posisi kami wahai saudaraku! Kita menisbatkan diri sebagai seorang salafi -pengikuti pemahaman salafus shalih- namun di dalam prakteknya akhlak kami seperti akhlak orang-orang Arab Badui…!
Allah ta’ala berfirman mengenai akhlak orang Arab Badui (yang artinya), “Orang Arab Badui itu lebih keras kekufuran dan kemunafikannya dan benar-benar lumrah tidak paham batasan-batasan (hukum) yang Allah menurunkan kepada rasul-Nya…” (QS. at-Taubah : 97). Syaikh as-Sa’di rahimahullah mengatakan, “Meskipun di kota maupun di pelosok/badui terhitung sama-sama terkandung orang kafir dan munafik, namun yang berada di pelosok itu kebanyakan lebih gawat daripada yang hidup di kota. Salah satu buktinya adalah orang Arab badui/pelosok itu lebih rakus kepada harta dan lebih pelit terhadapnya.” (Taisir al-Karim ar-Rahman [1/457]).
Memang lebih berasal berasal dari satu di pada mereka pun terkandung orang yang beriman. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan di pada orang Arab Badui itu pun tersedia yang beriman kepada Allah dan hari akhir…” (QS. at-Taubah : 99). Oleh sebab itu mereka dicela bukan sebab kebaduiannya, dapat namun sebab mereka meninggalkan perintah-perintah Allah, dan bahwasanya mereka adalah golongan orang yang benar-benar gampang terjerumus di dalamnya (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman [1/458]).
Maka apa bedanya mereka itu (baca: Arab badui yang ‘mbeling’) dengan lebih berasal berasal dari satu di pada kaum muslimin pada hari ini yang begitu gampang meninggalkan perintah-perintah Allah dan terhitung menerjang larangan-larangan-Nya semata-mata dengan alasan “Ini kan masa moderen, biasalah.” “Kita kan selalu muda, ya wajar!”. Atau dengan mengatakan, “Dari dulu ya telah kayak gini, matang formalitas warisan nenek moyang puas kami selisihi [?!]“. Atau dengan mengatakan, “Masak tiap hari disuruh pengajian, kami ‘kan terhitung wajib refreshing, menikmati dunia memangnya gak boleh?”. Atau, “Ah kamu ini sok suci. Jangan munafiklah!”. “Kamu sih, sukanya yang ekstrim-esktrim.” Dan seabrek bisikan syaitan lainnya. Laa haula wa laa quwwata illa billah!
Perhatikanlah wahai saudaraku -semoga Allah membimbingmu- sebetulnya syaitan dan bala tentaranya tidak henti-henti mengusahakan untuk menjerumuskan umat manusia. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya singgasana Iblis berada di atas lautan. Maka dia mengutus pasukan-pasukannya demi menyesatkan manusia. Bala tentaranya yang paling mulia kedudukannya di segi Iblis adalah yang paling dahsyat memicu kekacauan.” (HR. Muslim).
Suatu ketika, Aisyah radhiyallahu’anha mendapati suaminya yakni Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkannya di suatu malam, maka Aisyah pun jadi cemburu. Setelah pulang, Nabi menyaksikan keresahan yang tersedia padanya, sesudah itu Nabi berkata, “Ada apa denganmu wahai Aisyah? Apakah kamu jadi cemburu?”. Aisyah mengatakan, “Bagaimana orang sepertiku tidak jadi cemburu kepada seorang suami yang seperti anda?”. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apakah syaitanmu telah mendatangimu?”. Aisyah berkata, “Wahai Rasulullah, apakah bersamaku tersedia syaitan?”. Beliau menjawab, “Iya.” Lalu Aisyah berkata, “Apakah semua orang terhitung demikian?”. Beliau menjawab, “Iya.” Aisyah kembali bertanya, “Demikian terhitung kamu wahai Rasulullah?”. Beliau menjawab, “Iya, hanya saja Allah telah membantuku untuk menundukkannya supaya pada kelanjutannya dia pun masuk Islam.” (HR. Muslim).
Ketika dahulu para kawan dekat duduk dengan untuk berbicara dan menasehati di dalam rangka menambah keimanan dan ketakwaan. Eee … pada hari ini lebih berasal berasal dari satu berasal berasal berasal dari kami justru berkumpul dan saling bahu membahu untuk memupuk kemaksiatan dan merontokkan tembok keimanan. Tidakkah kami ingat firman Allah ta’ala (yang artinya), “Pada hari kiamat itu nanti orang-orang yang saling berkasih sayang dan berteman dapat berubah jadi saling bermusuhan kalau orang-orang yang bertakwa.” (QS. az-Zukhruf : 67).
Maka, dengan andil besar berasal berasal berasal dari syaitan dan bala tentaranya itulah, terbentuklah geng-geng, perkumpulan-perkumpulan, gerakan-gerakan, yang semuanya punya satu kecenderungan yang seragam yakni bertekad bulat untuk mendurhakai ar-Rahman Sang penguasa kerajaan langit dan bumi. Dengan kepercayaan mereka, mereka menanamkan bahwa kehidupan dunia adalah lahan untuk memuaskan udara nafsu dan mengumbar kesombongan. Dengan ucapan mereka, mereka menghendaki mengelabui kaum muda bahwa tidak tersedia gunanya rajin-rajin menuntut ilmu agama, lebih baik repot dengan wawasan terkini dan meninggalkan al-Qur’an. Dengan sikap dan tingkah laku mereka, mereka mengajak masyarakat dan para orang tua untuk dengan menenggelamkan putra-putri mereka di dalam pergaulan bebas tanpa batas, supaya tingkah laku keji pun dengan leluasa merajalela. Apakah maknanya ini semua, wahai saudaraku yang mulia… akankah kami biarkan kemungkaran itu selalu merajalela dan memicu kerusakan tunas-tunas bangsa?
Oleh sebab itu, seorang pemuda muslim yang selalu menaruh kecintaan kepada Allah dan rasul-Nya hendaknya menanamkan tekad di di dalam hatinya supaya tidak ikut memperkeruh raut wajah umat Islam masa kini di hadapan Rabb mereka.
Jadilah sebagaimana pemuda Ibrahim yang getol untuk memperjuangan tauhid dan memberantas syirik yang tersedia di masyarakatnya!
Jadilah sebagaimana para pemuda Kahfi yang beriman kepada Allah dan Allah pun puas memberi tambahan tambahan hidayah kepada mereka!
Jadilah sebagaimana Ali bin Abi Thalib yang benar-benar keras memusuhi musuh-musuh Islam yang berani melecehkan kawan dekat Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam!
Jadilah sebagaimana para pemuda Anshar yang berlomba-lomba untuk maju ke medan jihad demi mempertahankan agamanya!
Jadilah sebagaimana Uwais al-Qarani yang benar-benar berbakti kepada ibunya!
Saudaraku, salafuna as-shalih adalah orang-orang yang benar-benar pelit dengan waktunya dan paling gigih di dalam merawat lisan mereka. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Apakah mereka itu mengira bahwa Kami tidak mendengar rahasia dan bisik-bisikan mereka? Sebenarnya Kami mendengar, dan para utusan Kami (malaikat) selalu mencatat di segi mereka.” (QS. az-Zukhruf : 80).
Allah ta’ala terhitung berfirman (yang artinya), “Tidak tersedia kebaikan di di dalam kebanyakan obrolan mereka kalau orang yang menyuruh bersedekah, mengajak yang ma’ruf, atau mendamaikan di pada manusia.” (QS. an-Nisa’ : 114). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Salah satu isyarat baiknya keislaman seseorang adalah meninggalkan hal-hal yang tidak wajib baginya.” (HR. Tirmidzi, hasan). Sebagian orang bijak mengatakan, “Apabila kamu dapat berbicara maka ingatlah bahwa Allah mendengar ucapanmu. Apabila kamu diam, maka ingatlah bahwa Allah terhitung selalu mengawasimu.” (lihat Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 152).
Ikhwah sekalian, tauhid bukan semata-mata postingan yang tergores di buku-buku. Tauhid bukan semata-mata dihafal di di dalam pikiran. Tauhid terhitung bukan semata-mata slogan-slogan kosong tanpa makna. Tauhid yang bersemayam di di dalam hati seorang insan pasti dapat menghasilkan amal nyata di di dalam kehidupan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “..pokok keimanan itu tertanam di di dalam hati yakni ucapan dan tingkah laku hati. Ia terhitung pernyataan yang disertai pembenaran dan rasa cinta dan ketundukan. Sedangkan apa yang tersedia di di dalam hati pastilah dapat nampak konsekuensinya di dalam tingkah laku anggota-anggota badan. Apabila seseorang tidak jalankan konsekuensinya maka itu menyatakan bahwa iman itu tidak tersedia atau lemah [padanya]. Oleh sebab itu maka amal-amal lahir itu merupakan konsekuensi berasal berasal berasal dari keimanan di di dalam hati. Ia merupakan pembuktian atas apa yang tersedia di di dalam hati, isyarat dan saksi baginya. Ia merupakan cabang berasal berasal berasal dari totalitas keimanan dan anggota berasal berasal berasal dari kesatuannya.…” (Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah [2/175] as-Syamilah, menyaksikan terhitung Mujmal Masa’il al-Iman al-’Ilmiyah, hal. 15) doa agar mudah faham dan kuat ingatan.
Ibnu Batthah rahimahullah (wafat tahun 387 H) menyatakan riwayat berasal berasal berasal dari Umair bin Habib radhiyallahu’anhu, dia mengatakan, “Iman itu jadi jadi dan berkurang.” Ada yang bertanya, “Apakah maksud pertambahan dan pengurangannya?”. Beliau menjawab, “Apabila kami mengingat Allah sesudah itu kami memuji dan menyucikan-Nya maka itulah pertambahannya. Dan kalau kami lalai dan melupakan-Nya maka itulah pengurangannya.” (al-Ibanah al-Kubra [3/153], menyaksikan terhitung Fath al-Bari Ibnu Rojab [1/5] as-Syamilah).
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Belumkah tiba saatnya bagi orang-orang yang beriman untuk tunduk dan cemas hati mereka dengan mengingat Allah dan terhitung merenungkan kebenaran yang diturunkan (kepada mereka), dan janganlah mereka itu seperti orang-orang terdahulu yang diberikan kitab sebelum dapat mereka, kala masa yang panjang berlalu maka mengeraslah hati mereka, dan banyak di pada mereka yang jadi orang-orang fasik.” (QS. al-Hadid : 16).
Suatu kala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya, “Wahai Rasulullah, apakah kami dapat celakan tengah dengan kami selalu tersedia orang-orang salih?”. Maka beliau menjawab, “Iya, kalau perbuatan-perbuatan keji telah merajalela.” (HR. Muslim).
Demikianlah sekelumit pesan bagi saudara-saudaraku sekalian, para pemuda yang menghendaki kebahagiaan abadi di akherat nanti, dengan para bidadari dan pelayan-pelayan yang baik budi. Suatu hari di kala orang-orang lain tersiksa, kala itu pemuda yang tumbuh di dalam ketaatan beribadah kepada Rabbnya pun dapat merasakan keteduhan di bawah naungan Arsy-Nya. Karena dia puas untuk meninggalkan apa yang disenangi oleh udara nafsunya demi raih kecintaan Rabb alam semesta.
Allah ta’ala berfirman mengenai surga (yang artinya), “Itulah yang balasan bagi orang-orang yang cemas kepada Rabbnya.” (QS. al-Bayyinah : 8).
Semoga Allah mengampuni dosa-dosa kami dan memurnikan taubat kami supaya benar-benar ikhlas karena-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar kembali Maha Penerima taubat. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.