Latar Belakang Brexit
Brexit (yang merupakan berasal dari paduan kata British dan Exit) adalah pengunduran diri Inggris/United Kingdom berasal dari Uni Eropa (EU). Setelah referendum yang diselenggarakan pada Juni 2016 oleh David Cameron, 51.9% berasal dari masyarakat Inggris menentukan untuk keluar berasal dari EU. Referendum ini merupakan referendum ke dua Inggris sepanjang pemerintahan David Cameron, dimana yang pertama kali ditunaikan didalam masalah apakah Skotlandia menginginkan tetap bersama dengan bersama dengan United Kingdom atau menginginkan mengatasi diri.
Setahun kemudian, pada bulan Maret 2017, pemerintahan Inggris terasa laksanakan proses pengunduran diri berasal dari EU, bersama dengan gunakan Article 50, yakni sebuah pasal didalam perjanjian Uni Eropa yang sesuaikan proses keluarnya suatu negara berasal dari EU. Hal ini merupakan hal pertama didalam peristiwa EU. Inggris sendiri didalam Uni Eropa sebenarnya diakui sebagai anggota yang memadai dominan, ini bisa dicermati daripada peran mereka yang memadai besar didalam laksanakan banyak hal, terutama didalam sesuaikan perundang-undangan. Menurut iepatch Bahasa Inggris pun, yang biarpun hanya merupakan bahasa yang dibicarakan sehari-hari oleh orang Inggris saja, jadi salah satu bahasa utama diplomatik didalam Uni Eropa.
Setahun sesudah referendum bersama dengan hasil yang memadai jelas, barulah Inggris laksanakan proses pengunduran diri berasal dari Uni Eropa bersama dengan mobilisasi Article 50. Setelah lewat debat yang panjang di Parlemen, pada tanggal 29 Maret 2017 Inggris mengundurkan diri berasal dari Uni Eropa secara resmi, biarpun pada saat tersebut hal tersebut hanya merupakan formalitas karena pengunduran suatu negara yang sudah terlalu terikat bersama dengan Uni Eropa merupakan suatu ada masalah diplomatik yang terlalu sukar.
Salah satu anggota yang jadi masalah yang susah didalam tahun 2017 ialah pengunduran diri Inggris berasal dari perjanjian bea masuk dan single market di EU.
Single Market
Perjanjian single market yang merupakan salah satu keuntungan terbesar untuk join bersama dengan Uni Eropa, adalah perjanjian yang mencakup 4 faktor kebebasan: yakni kebebasan bergeser untuk tenaga kerja, modal, barang, serta jasa. Semua negara yang tersedia didalam single market mempunyai kebebasan penuh untuk mengekspor barang, jasa, tenaga kerja, serta modal ke negara manapun yang tercakup di didalam perjanjian ini. Namun di lain sisi, negara tersebut juga tidak boleh laksanakan kendala didalam bentuk apa pun pada hal-hal serupa berasal dari negara lain.
Melalui perjanjian single market ini, maka ekspor maupun impor antar negara di Uni Eropa jadi terlalu besar, dan membawa banyak keuntungan bagi anggota-anggota berasal dari Uni Eropa sendiri, biarpun pasti tersedia juga kerugian-kerugian khusus yang muncul.
Dengan kebebasan bergeser untuk tenaga kerja, maka tiap-tiap warga negara yang tinggal di Uni Eropa mempunyai kebebasan untuk bekerja di negara Uni Eropa manapun juga. Melalui kebebasan tenaga kerja ini, maka perusahaan-perusahaan mempunyai talent pool yang terlalu besar, karena tenaga kerja yang bisa direkrut merupakan total berasal dari Uni Eropa, bukan hanya negara dimana perusahaan tersebut berasal. Bagi warga Uni Eropa sendiri, ini merupakan hal yang terlalu baik karena sangat mungkin mereka untuk bekerja di negara lain andaikata negara asal mereka tidak sedia kan lapangan pekerjaan yang cukup. Di lain sisi berdasarkan venz t cell, hal ini mengakibatkan terjadinya pengaruh over supply untuk lebih dari satu negara yang lebih maju, karena banyak warga negara berasal dari negara lain yang menginginkan bekerja di negara yang lebih maju tersebut dariapda negara asal mereka masing-masing. Hal ini yang terlalu dirasakan oleh Inggris, yang jadi salah satu semangat warganya untuk meninggalkan Uni Eropa.
Kebebasan yang ke dua dan ketiga adalah kebebasan untuk barang dan jasa, dimana aksi impor dan ekspor jadi terlalu bebas dan tidak dibatasi. Dengan aturan single market ini, maka negara tidak boleh mengenakan tariff atau mengeluarkan peraturan-peraturan yang mencegah ekspor dan import antar negara. Peraturan-peraturan bagi barang pun diatur sedemikian rupa agar tiap-tiap perusahaan yang tersedia pada Uni Eropa hanya perlu taat kepada satu aturan untuk kesibukan usaha, agar untuk perdagangan internasional tidak diperlukan ketaatan kepada aturan berasal dari dua negara. Hal ini merupakan hal yang terlalu menambah efisiensi, agar perusahaan bisa bersama dengan ringan sesuaikan dirinya hanya pada satu peraturan. Secara mengerti aturan single market melarang upaya proteksionisme didalam bentuk apapun. Bagi perusahaan-perusahaan bersama dengan kemampuan yang besar, pasti hal ini merupakan suatu hal hal yang baik karena hanya bersama dengan menaati satu peraturan, mereka sudah bisa menjual barang dan jasa mereka ke semua negara di Uni Eropa yang merupakan pangsa pasar yang besar. Namun di lain sisi, perusahan-perusahaan yang kurang bisa beradu dapat mengalami ada masalah karena pemerintah tidak bisa laksanakan upaya proteksionisme, dan karena besarnya kuantitas pesaing karena melibatkan semua negara Uni Eropa.
Kebebasan yang keempat adalah kebebasan untuk modal. Kebebasan modal artinya ialah tiap-tiap negara bisa menanamkan modal di negara manapun, tanpa restriksi atau larangan apapun. Hal ini adalah hal yang terlalu beruntung untuk iklim bisnis, karena negara-negara yang padat modal layaknya Inggris dan Jerman dapat bersama dengan ringan menanamkan modalnya di negara-negara lain yang tidak mempunyai kemampuan permodalan layaknya Inggris dan Jerman.
Perjanjian Bea Masuk (Customs Union)
Salah satu keuntungan terbesar berasal dari customs union adalah didalam sesuaikan bea masuk ke didalam Uni Eropa, negosiasi tidak ditunaikan antar negara, tetapi negosiasi ditunaikan bersama dengan total berasal dari Uni Eropa. Hal ini merupakan hal yang terlalu beruntung bagi semua anggota Uni Eropa, terutama negara-negara yang kecil bersama dengan perekonomian yang kecil, karena negosiasi untuk perjanjian dagang maupun perjanjian ekonomi lainnya tidak ditunaikan oleh negara-negara tersendiri bersama dengan kekuatan tawar yang lebih kecil, tetapi ditunaikan oleh total Uni Eropa, yang mempunyai negara-negara anggota bersama dengan kekuatan tawar yang besar layaknya Jerman dan Perancis, agar kekuatan tawar untuk negosiasi apa pun jadi jauh lebih besar.
Brexit tahun 2018
Negosiasi antara Uni Eropa bersama dengan Inggris merupakan negosiasi yang terlalu alot, dimana ke dua belah pihak, dibakar oleh rasa nasionalisme masing-masing, cenderung menginginkan memajukan keperluan tiap-tiap agar negosiasi seringkali jadi buntu. Di didalam politik internal Inggris sendiri, berlangsung banyak pertentangan karena menurut Parlemen Inggris, banyak berasal dari proses Brexit ini sendiri menyalahi aturan karena menurut Parlemen, Perdana Menteri Inggris saat itu, Theresa May, sering melangkahi kewenangan Parlemen didalam negosiasi bersama dengan Uni Eropa. Sebagai akibatnya, pihak Parlemen Inggris sendiri menolak ratifikasi daripada perjanjian pengunduran diri ini hingga 3 kali, mengakibatkan proses pengunduran diri Inggris ini terlalu lambat. Salah satu penyebab masalah di Parlemen ialah partai Konservatif pendukung pemerintah, dimana mereka terpaksa beraliansi bersama dengan partai yang lebih kecil DUP (Democratic Unionist Party) untuk mempertahankan mayoritas di Parlemen.
Isu yang jadi masalah pada tahun 2018 adalah masalah Irlandia, dimana Irlandia adalah negara tetangga Inggris, dan bersama dengan keluarnya Inggris berasal dari Uni Eropa maka ulang diperlukan penjagaan perbatasan antara Inggris bersama dengan Irlandia. Hal ini tidak disukai oleh ke dua belah negara, tetapi merupakan suatu hal hal yang yang terlalu perlu diputuskan didalam perjanjian ini. Sebelum mengundurkan diri berasal dari Uni Eropa, sudah banyak warga Irlandia yang tinggal di Irlandia bekerja di wilayah Inggris, maupun sebaliknya, dan ini merupakan suatu kesibukan yang terlalu besar andaikata diperlukan kontrol paspor tiap-tiap hari untuk para pekerja ini. Hal yang serupa juga berlangsung di Gibraltar, dimana banyak orang Inggris yang tinggal di semenanjung kecil di Spanyol (yang merupakan wilayah Inggris) bekerja di Spanyol.
Isu lain yang jadi masalah pada tahun 2018 ialah masalah pembayaran kepada Uni Eropa. Dalam kampanye “Leave” yang merupakan kampanye untuk meninggalkan Uni Eropa, sering dijanjikan kepada pemilih bahwa Inggris tidak dapat laksanakan pembayaran ulang ke Uni Eropa. Namun di lain sisi, Inggris juga sudah beroleh keuntungan yang besar sepanjang jadi anggota Uni Eropa. Pada tahun 2018, kuantitas pembayaran yang diminta oleh Uni Eropa ialah sebesar £37.1B, dimana £16.4B adalah untuk budgeting Uni Eropa tahun 2018 dimana Inggris masih beroleh keuntungan sebagai anggota Uni Eropa biarpun mengundurkan diri, £18.2B ialah untuk proyek-proyek bersama dengan dimana Inggris di awalnya sudah berjanji untuk membayarkan, sedang £2.5B adalah untuk hutang-hutang lainnya.
Brexit tahun 2019
Negosiasi terus berlangsung sejak tahun 2018 hingga tahun 2019 untuk begitu banyak hal-hal teknis yang perlu diselesaikan. Pada bulan Maret 2019, Parlemen Inggris menghendaki pemerintah untuk mengundurkan tanggal Brexit ke bulan April, lantas ke bulan Oktober, karena Parlemen menimbang kesiapan pemerintah terlalu minim untuk laksanakan Brexit ini. Pada bulan Juli 2019, karena usulannya terus menerus ditolak, Theresa May mengundurkan diri, digantikan bersama dengan Boris Johnson, yang juga merupakan salah satu pendukung terkuat Brexit sejak masa-masa awal.
Pada bulan 31 Oktober 2019, selanjutnya tercapai kesepakatan untuk satu anggota penting daripada Brexit, tetapi bersama dengan alasan untuk mempelajarinya lebih lanjut, ulang Parlemen Inggris menolak untuk laksanakan ratifikasi, agar ulang lewat batas Oktober yang sudah ditetapkan sebelumnya.
Namun pada bulan Desember 2019, pada saat pemilihan lazim ulang digelar di Inggris, partai Konservatif pendukung pemerintah beroleh pemberian yang terlalu kuat berasal dari rakyat, agar menguasai ulang Parlemen Inggris, yang terlalu memuluskan Boris Johnson untuk langsung keluar berasal dari Uni Eropa.
Brexit pada tahun 2020
Tanggal 31 Januari 2020 merupakan tanggal dimana Inggris secara formal dapat keluar berasal dari Uni Eropa. Dalam hal negosiasi, begitu banyak hal yang belum disepakati tetapi lewat suatu voting di Parlemen Uni Eropa pada 29 Januari, disepakati bahwa dapat tersedia jaman transisi dimana semua aturan yang lama masih dapat tetap berlaku saat negosiasi terus berlangsung, dan diperkirakan periode transisi ini dapat berlanjut hingga akhir tahun pada 31 Desember 2020. Sebelumnya, pada 23 Januari, Parlemen Inggris yang kini dikuasai oleh pendukung pemerintah dan Boris Johnson sudah meratifikasi perjanjian pengunduran diri tersebut.
Tantangan Brexit bagi Inggris: Skotlandia
Berbagai masalah masih perlu dihadapi oleh Inggris selepas daripada Brexit tersebut.
Tantangan internal yang dapat dihadapi Inggris ialah masalah Skotlandia. Pada tahun 2014, diselenggarakan referendum Skotlandia dimana warga Skotlandia diberikan pilihan apakah Skotlandia dapat jadi negara merdeka atau tetap jadi anggota berasal dari Inggris. Pada referendum tahun 2014 ini, 55.3% warga Skotlandia menentukan untuk tetap join bersama dengan Inggris.
Salah satu hal yang mendorong warga Skotlandia untuk tetap join bersama dengan Inggris adalah karena warga Skotlandia terlalu suka bersama dengan keberadaan Uni Eropa, dan andaikata mereka jadi negara merdeka maka mereka dapat kehilangan hak-hak mereka sebagai warga Uni Eropa untuk lebih dari satu saat, karena diperlukan proses yang bisa memakan saat tahunan, belum ulang andaikata dipersulit oleh Inggris yang merupakan anggota Uni Eropa yang memadai dominan.
Dengan keluarnya Inggris berasal dari Uni Eropa, pasti ini merupakan kekecewaan bagi warga Skotlandia, yang pada saat Brexit Referendum lebih dari satu besarnya menentukan untuk Inggris tetap join di didalam Uni Eropa. Pada 29 Januari lalu, saat Parlemen Inggris memastikan untuk keluar berasal dari Uni Eropa, parlemen Skotlandia juga memastikan bahwa keadaan sudah beralih agar referendum untuk kemerdekaan Skotlandia perlu diulang kembali.
Salah satu peran strategis dan ekonomis Skotlandia bagi Inggris adalah lebih dari satu besar cadangan kekuatan Inggris tersedia di Skotlandia, dan satu-satunya pangkalan Angkatan Laut Inggris yang bisa jadi basis pada kapal selam Inggris kelas Trident yang mempunyai hulu ledak nuklir juga tersedia di Skotlandia.
Dampak Brexit bagi Inggris
Masalah yang paling utama bagi warga Inggris agar mendorong terjadinya Brexit adalah masalah tenaga kerja. Para pendukung Brexit menyatakan bahwa Inggris dapat mengurangi tenaga kerja asing yang banyak bekerja di Inggris. Namun di lain sisi, tenaga kerja di Inggris banyak merupakan tenaga kerja asing, agar terlalu susah untuk membebaskan semua tenaga kerja asing tersebut karena dapat terlalu berpengaruh kepada ekonomi Inggris. Di lain sisi, Inggris pun pada selanjutnya terima tenaga kerja asing yang masuk tersebut didalam suatu perjanjian “settled status” dimana mereka tidak dapat jadi warga negara Inggris tetapi bisa tinggal di Inggris selamanya. Sehingga biarpun masalah tenaga kerja asing merupakan salah satu masalah utama yang mendorong Brexit, pada selanjutnya tidak tersedia pergantian vital didalam peta tenaga kerja di Inggris.
Para ekonom memperkirakan Brexit dapat membawa pengaruh tidak baik bagi Inggris, serta juga 27 negara Uni Eropa lainnya. Diperkirakan dapat berlangsung penurunan pendapatan per kapita, perdagangan, serta pendapatan rumah tangga, didalam kurun saat dekat dan kurun saat jauh.
Selama jaman penuh kebimbangan ini, sebuah studi berasal dari Holger yang dirilis pada laman situs andri503 perlihatkan kenaikan harga-harga untuk kebutuhan konsumen, yang bisa dicermati pada grafik tersebut ini. Kenaikan tersebut terlalu signifikan, andaikata dibandingkan bersama dengan negara-negara Eropa lainnya. Dalam studi ini, diperkirakan peningkatan berasal dari pengeluaran rumah tangga untuk tiap-tiap kepala rumah tangga di Inggris meraih £404 tiap-tiap tahunnya, atau kurang lebih 7.2 juta rupiah tiap-tiap tahunnya.
Studi yang serupa juga melansir data bahwa berlangsung inflasi yang terlalu besar.
Dalam sebuah working paper yang ditulis pada Maret 2019 berasal dari Peterson Institute for International Economics juga ditemukan bukti-bukti bahwa nilai ekonomi berasal dari Brexit ini adalah kurang lebih 2% berasal dari GDP Inggris. Paper ini juga menyatakan bahwa didalam skenario yang terlalu optimis, maka pengurangan daripada ekonomi Inggris ini adalah kurang lebih 1.5%, sedang pada skenario yang terlalu pesimis pengurangan ekonomi Inggris bisa meraih angka 4.5%. Studi ini juga menyatakan bahwa angka yang sebenarnya bisa saja lebih buruk, karena studi ini belum sedia kan analisa maupun modelling andaikata banyak tenaga kerja asing meninggalkan Inggris. Dalam studi ini, kesimpulan utama didapatkan bahwa biarpun semua negara-negara Uni Eropa dapat mengalami kerugian bersama dengan mundurnya Inggris, pukulan terkuat dapat tiba kepada Inggris. Studi serupa yang ditunaikan oleh pemerintahan Inggris juga perlihatkan hasil yang mirip, bersama dengan potensi kerugian ekonomis 2-8%.
Sebuah jurnal ilmiah lainnya berasal dari Journal of Economic Perspective yang ditulis oleh Thomas Sampson pada tahun 2017 juga perlihatkan hasil yang mirip, dimana penulis memperkirakan ada penurunan untuk pendapatan per kapita kurang lebih 1-10%. Penulis juga memperkirakan bahwa andaikata Inggris pada jaman yang dapat mampir menambah bea masuk serta mempersulit impor untuk laksanakan upaya proteksionis, hanya dapat memperparah masalah yang tersedia karena sektor manufaktur Inggris dapat ada masalah memenuhi banyaknya permintaan yang ada, sedang biaya impor dapat tinggi, dan dapat menambah biaya hidup bagi warga Inggris.
Nicholas Bloom didalam VoxEU juga memberikan analisis, lewat metode survey bahwa bisa berlangsung penurunan investasi di Inggris sebanyak 6%, dan pengurangan kuantitas lapangan tenaga kerja sebanyak 1.5%. Namun berdasarkan smithdancepart hal tersebut malah di lain sisi, bersama dengan ancaman Brexit ini, lebih dari satu perusahaan Inggris malah laksanakan investasi di perusahaan Eropa, dimana sebuah studi berasal dari Reuters pada bulan Februari 2019 menemukan bahwa tersedia peningkatan sebanyak 12% daripada investasi Inggris di Uni Eropa, dan berlangsung penurunan 11% berasal dari investasi negara-negara Uni Eropa di Inggris.
Selain berasal dari pengaruh ekonomi yang mengerti perlihatkan angka-angka yang negatif, hal yang jadi perhatian bagi para ekonom adalah sektor perbankan di Inggris. Dengan keluarnya Inggris berasal dari Uni Eropa, maka perbankan Inggris kehilangan passporting rights – yang mengakibatkan bank-bank Inggris tidak bisa bertransaksi bersama dengan ringan bersama dengan klien-klien yang tersedia di Uni Eropa. Bila bank-bank Inggris tidak mempunyai hak tersebut, terlalu kemungkinan bagi perusahaan-perusahaan di Uni Eropa yang banyak laksanakan jasa perbankan di Inggris dapat memindahkan dana mereka ke bank lain di Uni Eropa, yang pasti dapat membawa pengaruh bagi ekonomi Inggris.
Penurunan ekonomi Inggris akibat Brexit bisa jadi ancaman ekonomi menuju resesi, hal ini bisa mengakibatkan pengaruh domino secara global. Ekonomi Inggris terlalu erat bersama dengan Jerman, Perancis dan italia yang secara sistematis diperkirakan bisa terbawa kemerosotan ekonomi Inggris.
Beberapa ciri bahwa ekonomi Inggris terancam menuju resesi:
- Pertumbuhan ekonomi terus merosot.
- GBP terus melemah pada USD
- Penjualan retail menurun sepanjang tahun 2019
- Penciptaan lapangan kerja melemah.
- Inflasi juga melemah
Dampak Pada Poundsterling
Pada saat Inggris tanpa diduga memastikan untuk meninggalkan Uni Eropa pada 24 Juni 2016, berlangsung kekacauan yang luas di pasar global. Keputusan pada saat itu sudah mengakibatkan turunnya nilai saham world sebesar US$2,1 triliun, bersama dengan kerugian terbanyak dialami oleh bank-bank, penerbangan dan perusahaan-perusahaan properti. Keputusan saat itu juga sudah memberikan malapetaka bagi Poundsterling Inggris dimana pasangan mata uang GBP/USD turun vital berasal dari pada awalnya 1.49 jadi 1,29. Ini berarti penurunan Poundsterling ke posisi yang terendah sejak tahun 1985.
Pada saat itu, bersama dengan masih begitu banyaknya ketidakpastian kurang lebih apa yang dapat berlangsung pada jaman yang dapat datang, banyak investor untuk investasi menentukan untuk memindahkan duwit mereka ke metal “safe-haven” layaknya emas dan perak, yang mengakibatkan harga berasal dari metal miliki nilai ini meroket. Emas naik 6% dan perak naik 11%. Sementara komoditi layaknya minyak dan gandum turun harganya.