Haji merupakan salah satu dari rukun Islam. Ibadah Haji disebutkan sebagai pelengkap dari keseluruhan ibadah ritual yang wajib dilaksanakan bagi setiap Muslim. Secara berurutan rukun Islam itu terdiri dari (1) mengucapkan dua kalimat syahadat, (2) mendirikan shalat, (3) berpuasa di bulan Ramadhan, (4) zakat, dan (5) pergi Haji jika mampu. Daftar urutan ini tidak mesti diartikan bahwa yang terakhir kurang penting dibandingkan yang pertama. Kesemuanya memiliki arti yang saling terkait dan sinergis.
Menjadi Impian
Tidak bisa dipungkiri bahwa ibadah Haji menjadi impian bagi sebagian besar umat Islam. Pada dasarnya, ongkos perjalanannya yang relatif mahal membuat Haji menjadi ibadah yang tidak semua orang dapat menjalankannya dengan mudah. Karena itu jika terdapat jumlah yang sangat besar dari masyarakat kelas menengah ke bawah yang melaksanakan Haji, menandakan bahwa saking (begitu) tingginya antusiasme tersebut hingga biaya yang mahal tidak menghalangi mereka untuk menunaikan ibadah tersebut.
Kecenderungan ini tentu bisa menjadi modal budaya yang sangat menguntungkan bagi transformasi sosial. Transformasi sosial yang berpijak pada modal semacam ini akan lebih mengakar. Apalagi ibadah Haji mengandung ajaran-ajaran kemanusiaan. Di sini kita perlu mengelaborasi sejauh mana nilai-nilai kemanusiaan yang terkandung dalam Haji.
Satu hal yang terlihat jelas dalam ibadah Haji yaitu nilai kesetaraan (egalitarianisme). Seluruh jamaah yang bertandang ke Ka’bah tidak dibedakan berdasarkan kedudukan, kekayaan, ataupun keturunan. Mereka semua disatukan dalam harkat kemanusiaan yang setara. Ketika semua jamaah Haji telah berbaur menjadi satu dalam ritual thawaf, mereka terlihat seperti kumpulan manusia yang senasib dalam kehidupan di dunia ini. Kesamaan pakaian yang digunakan dalam thawaf itu juga mencerminkan bahwa manusia itu tidak dinilai dari pakaiannya atau atribut yang melekat pada dirinya. Kemanusiaan mereka tidak ditentukan dari faktor luar yang bersifat kosmetik dan perhiasan. Manusia dihormati karena kemanusiaannya itu sendiri. Artinya semua hal yang terkait dengan esensi manusia adalah sesuatu yang penting. Bukan karena seseorang terlahir dari keturunan bangsawan lalu mendapatkan perlakuan istimewa. Hal itu justru keadaan yang ingin dibongkar oleh Islam.
Jika dilihat secara lebih luas, faktor penghargaan terhadap harkat kemanusiaan ini menjadi salah satu yang membuat agama Islam memiliki keistimewaan tersendiri dalam sejarah. Dalam perkembangan Islam di masa Nabi dan sesudahnya, doktrin tersebut memang tidak sekedar ajaran, melainkan dipraktikkan oleh para pemimpin dan tokoh-tokoh Islam. Sehingga dalam perjalanan kehidupan sosial-politik umat Islam—terutama yang ada di masa Nabi dan puluhan tahun sesudahnya (masa Khulafa ar-Rosyidin)—cukup membanggakan. Robert N Bellah, sosiolog dari Amerika, menyebut masa tersebut sebagai masa yang sangat modern dalam sejarah kemanusiaan, melampaui tatanan sosial-politik yang ada pada zamannya.
Simbol Keharmonisan
Tidak mengherankan, meskipun ada riak-riak ketidakpuasan dalam masa kepemimpinan Khulafa’ ar-Rasyidun, namun secara umum kehidupan umat Islam berada dalam kondisi yang cukup stabil dan memuaskan. Stabilitas itu utamanya disebabkan oleh adanya ikatan keagamaan yang cukup kuat. Tribalisme atau fanatisme kesukuan yang sudah mengakar kuat dalam masyarakat Arab, sedikit banyak, tereduksi oleh ikatan agama ini. Selain itu ruang bagi kritik terhadap pemerintah juga dibuka lebar. Hal ini memang memiliki landasan sejarah yang sangat kuat dalam kehidupan Nabi Muhammad. Beliau senantiasa memberikan teladan bahwa kritik itu adalah sesuatu yang mubah, bahkan sunnah dalam kondisi yang tepat. Meskipun beliau seorang Rasul besar, namun beliau senantiasa mengatakan “antum a’lamu bi umuri dunyakum” (kalian lebih mengetahui tentang urusan dunia kalian). Pernyataan itu memberikan pelajaran bahwa kritik yang disampaikan oleh rakyat tidak boleh diartikan sebagai kebencian, hal itu hanya merupakan ekspresi bahwa setiap orang punya perspektif yang tidak dimiliki oleh orang lain. Oleh sebab itu, budaya kritik dalam sebuah negara adalah sesuatu yang sehat bagi perbaikan negara itu sendiri.
Selain nilai egalitarianisme, Haji juga mengandung nilai keharmonisan hidup. Betapa dalam lautan manusia yang berjejal-jejal di sekitar Ka’bah, mereka diharuskan untuk tidak menyakiti orang lain demi mencapai kesempurnaan ibadah Hajinya. Dengan kata lain, tujuan mulia yang hendak dicapai tidak boleh dengan mengorbankan nilai-nilai kemanusiaan. Penghormatan terhadap kemanusiaan yang lain ini berwujud dalam kehidupan yang harmoni. Bahkan putaran dalam thawaf pun menggambarkan keteraturan yang harmonis tersebut, sebagaimana tercermin dalam putaran jagat raya ini.
Nilai-nilai kemanusiaan ini tentu sangat berguna bagi kehidupan umat Islam. Oleh karena itu, kemabruran ibadah Haji yang mereka laksanakan sebenarnya diukur dari sejauh mana penghayatan dan komitmen mereka terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan keharmonisan hidup.(CMM/M. Hilaly Basya)