Jelang mencapai dua dasawarsa Indonesia keluar dari krisis likuiditas Asia tahun 1997/1998,ekonomi secara pelan tapi pasti kembali tumbuh, dan besarannya berada pada kisaran rata-rata 5% per tahun. Yang menarik adalah bahwa pengeluaran konsumsi rumah tangga selalu muncul sebagai juara pertama memberikan kontribusi bagi pertumbuhan ekonomi. Rata-rata berkontribusi 50% lebih per tahun terhadap PDB ekonomi. Kalau misalnya nilai PDB ekonomi tiap tahun Rp12. 000 triliun, maka separuh lebih disumbang oleh pengeluaran konsumsi rumah tangga yang berarti senilai Rp 6.000 triliun. Pertumbuhannya selama ini rata-rata juga sekitar 5% per tahun.
Bersyukurlah Indonesia dan berterima kasihlah pemerintah dan para pembuat kebijakan ekonomi di negeri ini kepada rumah tangga ekonomi masyarakat yang telah berjasa memberikan sumbangan yang sangat berarti kepada pertumbuhan ekonomi nasional. Dapat hadiah apa mereka?. Tentu tidak dapat apa-apa, karena mereka justru terbebani inflasi yang rata-rata 3-4% per tahun. Tampaknya kontribusi mereka dalam sistem perekonomian nasional acapkali dilihat dengan mata sebelah oleh ekonom atau para pengambil kebijakan ekonomi karena tidak bersifat "produktif". Sebab itu, pengambil kebijakan lebih fokus memberikan perhatian dan stimulasi pada sektor produktif penghasil barang dan jasa. Berbagai kemudahan dan fasilitas fiskal diberikan kepada sektor ini karena mereka dinilai sebagai mesin penggerak ekonomi.
Padahal nyatanya yang berhasil menggerakkan ekonomi Indonesia hingga kini adalah rumah tangga ekonomi keluarga seluruh rakyat Indonesia yang berhasil menyumbang PDB rata - rata 50% lebih tiap tahun. Lantas apa yang dapat kita lihat dari fenomena ini. Mari kita telaah bersama profilnya dalam berbagai sudut pandang. Pertama, dimana-mana dari dulu hingga kini kita mendapatkan pembelajaran bahwa konsumen adalah "RAJA". Seorang raja berarti berkuasa dan pantas dihormati karena raja dengan kehendaknya bisa mengatakan yes or no. Jika label ini kita pakai sebagai acuan maka tidak salah kalau konsumen dengan pengeluaran belanjanya pada skala rumah tangga hingga kini menjadi mesin pertumbuhan ekonomi.
Kedua, dilihat dari konsep pendapatan dan belanja, maka secara makro kita dapat lihat bahwa tanpa ada kekuatan daya beli yang memadai dari rumah tangga ekonomi keluarga Indonesia, nyaris tidak mungkin mereka mampu menjadi penggerak pertumbuhan ekonomi. Artinya sebagian besar rakyat Indonesia bekerja dalam banyak profesi dan memiliki pendapatan. Ketiga, kalau kita melihat fenomena ekonomi semacam itu profilnya maka jika percaya dengan hukum pasar, policy driven yang perlu dibangun oleh pemerintah sebagai prioritas adalah mengatasi masalah pengangguran dan kemiskinan agar yang termasuk kelompok ini hidupnya tak termarginalkah sehingga akhirnya memiliki purchasing power parity yang memungkinkan mereka menjadi pengelola ekonomi rumah tangga keluarga yang berkecukupan.