Besok, tepatnya 1 Desember penanggalan Masehi, umat Islam di seluruh dunia termasuk di RI memperingati hari lahir Nabi Muhammad SAW atau yang dikenal luas maulid Nabi Muhammad SAW. Umat Islam Indonesia secara turun-temurun mempunyai berbagai tradisi untuk memperingatinya. Tradisi memperingati maulid Nabi Muhammad SAW tentunya tidak selesai sebagai ritual atau seremonial belaka. Lebih dari itu, peringatan maulid Nabi Muhammad merupakan momen untuk senantiasa menyegarkan kembali kesadaran umat Islam akan pentingnya menerapkan keteladanan Nabi Muhammad dalam berbagai aspek kehidupan. Pentingnya keteladanan Nabi Muhammad SAW ditegaskan dalam kitab suci Alquran, seperti dalam Surah Al Ahzab ayat 21 yang berbunyi, ‘Laqad kaana lakum fii Rasuulillahi uswatun hasanah liman kaana yarjullaha wal yaumil aakhir wadzakarallaha katsiiraa’; yang artinya ‘Sungguh telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari akhir’. Lebih jauh, Alquran dalam Surah Al Anbiya ayat 107 menegaskan, ‘Wa maa arsalnaka illaa rahmatan lil ‘alamin’; yang artinya, ‘Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam’. Keteladanan dan rahmat Nabi Muhammad SAW seperti yang disebut kitab suci Alquran tentu saja mencakup berbagai aspek kehidupan, tidak hanya hubungan antara manusia dengan Tuhan, tetapi juga hubungan antarmanusia maupun hubungan dengan makhluk lain dan alam semesta. Dari berbagai aspek itu, tulisan ini hendak menguraikan secara singkat keteladanan Nabi Muhammad dalam satu aspek kehidupan saja, yaitu aspek kehidupan bernegara seperti tertuang dalam Piagam Madinah.
Piagam Madinah
Piagam Madinah atau Shahifatu al-Madinah disusun pada 622 Masehi setelah hijrahnya Nabi Muhammad SAW dari Mekah ke Madinah yang waktu itu masih bernama Yatsrib. Penduduk Kota Yatsrib sangat pluralistis karena dihuni berbagai golongan maupun agama, antara lain Muhajirin atau muslim yang turut hijrah bersama Nabi Muhammad SAW dari Mekah, Anshar atau penduduk muslim di Yatsrib, orang Arab (seperti Bani Aus, Bani Khajraj), serta kaum Nasrani, Yahudi, dan Majusi. Pada masa itu, Yatsrib merupakan kota yang penting dalam ekonomi maupun politik. Akan tetapi, sebelum peristiwa hijrahnya Nabi Muhammad SAW, kota itu kerap dilanda konflik bahkan peperangan antara orang Yahudi (terutama Bani Quraizah, Bani Nadir, dan Bani Qunaiqa) dan orang Arab (termasuk Bani Aus dan Bani Khajraj). Bahkan, sesama orang Arab sendiri, yaitu Bani Aus dan Bani Khajraj, pernah berperang pada 618 atau yang kelak dikenal sebagai Perang Bu’ath. Dengan latar belakang kehidupan Kota Yatsrib yang begitu pluralistis dan rawan konflik, setelah hijrah ke kota itu, Nabi Muhammad ingin membentuk suatu masyarakat yang sejahtera, rukun, tertib, dan adil tanpa memandang latar belakang agama maupun suku. Untuk mencapai tujuan itu, Nabi Muhammad menyusun Piagam Madinah atau Shahifatu al-Madinah yang terdiri dari 47 pasal. Isi Piagam Madinah merefleksikan semangat kebersamaan, keharmonisan, dan keadilan di antara penduduk Kota Yatsrib yang begitu beragam. Sebagai contoh, Pasal 25 piagam itu berbunyi, ‘Kaum Yahudi dari Bani ‘Auf adalah satu umat dengan mukminin. Bagi kaum Yahudi agama mereka, dan bagi kaum muslimin agama mereka. Juga (kebebasan ini berlaku) bagi sekutu-sekutu dan diri mereka, kecuali bagi yang zalim dan jahat. Hal demikian akan merusak diri dan keluarga’. Keadilan dan konsep persamaan tanpa memandang latar belakang juga terlihat dari Pasal 37 yang berbunyi, ‘Bagi kaum Yahudi ada kewajiban biaya dan bagi kaum muslimin ada kewajiban biaya. Mereka (Yahudi dan muslimin) bantu-membantu menghadapi musuh piagam ini. Mereka saling memberi saran dan nasihat. Memenuhi janji lawan dari khianat. Seseorang tidak menanggung hukuman akibat (kesalahan) sekutunya. Pembelaan diberikan kepada pihak yang teraniaya’.
Negara berperadaban
Setelah dikeluarkannya Piagam Madinah atau Shahifatu al-Madinah, nama Kota Yatsrib beralih menjadi Madinah. Menurut Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siradj, negara yang dipimpin Nabi Muhammad setelah dikeluarkannya piagam itu adalah negara ‘tamaddun’ atau berperadaban yang menjamin setiap suku dan agama memiliki hak dan kewajiban yang sama sehingga kemudian Yatsrib berganti nama menjadi Madinah. KH Said Aqil Siradj menambahkan negara yang dipimpin Nabi Muhammad itu bukan negara Islam atau negara Arab, melainkan negara Madinah. Piagam Madinah ini yang kemudian mendorong para ulama pada Muktamar NU di Banjarmasin pada 1936 merumuskan negara (Indonesia) yang dibentuk kelak merupakan darusalam yang tidak berdasarkan agama atau suku (situs Nahdlatul Ulama, 4 Desember 2016). Sejarah selanjutnya mencatat para pendiri RI kemudian memutuskan tidak menjadikan Indonesia sebagai negara yang berdasarkan suatu agama atau suku tertentu, tetapi juga bukan negara sekuler. Pada tataran ini, bangsa Indonesia terbukti mampu menyelaraskan nilai-nilai keagamaan dalam kehidupan bernegara tanpa harus menjadi negara teokrasi. Pembukaan konstitusi atau UUD NRI 1945 mengakui kemerdekaan Indonesia adalah ‘berkat rahmat Allah Yang Mahakuasa’. Pengakuan akan prinsip ketuhanan dan keagamaan juga diadopsi dalam batang tubuh UUD NRI 1945, dalam hal ini Pasal 29 menyebutkan, ‘Negara berdasar atas Ketuhanan YME (ayat 1)’ dan ‘Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu (ayat 2)’. Lebih jauh, nilai ketuhanan juga termaktub dalam dasar negara Pancasila dalam sila pertama Ketuhanan YME. Nilai ketuhanan bersama-sama dengan nilai-nilai humanisme, nasionalisme, demokrasi, dan keadilan sosial menyusun Pancasila yang tertuang secara berturut-turut ke dalam sila kedua, ketiga, keempat, dan kelima. Akan tetapi, akhir-akhir ini terdapat sebagian golongan atau orang yang mempermasalahkan kembali posisi agama (Islam) dan negara (Indonesia) yang telah dijalin secara harmonis sebelumnya, serta menginginkan Indonesia mengadopsi sistem khilafah.
Khilafah secara umum dipahami sebagai kepimimpinan umat Islam dengan Islam sebagai ideologi. Selain itu, sistem khilafah memiliki pengertian sebagai pemerintahan internasional yang berasaskan hukum Islam. Pengertian yang terakhir ini acap merujuk sistem yang berlaku masa kekhalifahan Bani Umayyah (661-750 di Timur Tengah) hingga kekhalifahan Ottoman di Turki yang berakhir pada 1924. Mengenai hal ini, baiknya kita menyimak pandangan mantan Ketua MK Mahfud MD bahwa sumber primer ajaran Islam seperti Alquran dan sunah Nabi Muhammad SAW tidak memuat struktur sistem politik, ketatanegaraan, dan pemerintahan yang baku. Dalam hal ini, Islam memberikan keleluasaan kepada umatnya menentukan sesuai dengan tuntunan tempat dan zaman. Perbedaan itu sudah terlihat pada masa empat Khulafa’ al Rasyidin; misalnya Abu Bakar terpilih sebagai khalifah melalui mekanisme pemilihan, Umar bin Khattab ditunjuk Abu Bakar, Utsman bin Affan dipilih formatur beranggotakan enam orang yang dibentuk Umar, sedangkan Ali bin Abi Thalib juga menjadi khalifah melalui mekanisme pemilihan. Setelah itu, muncul Bani Umayyah, Bani Abbasiyah, hingga Ottoman (yang mewariskan kepemimpinan secara turun-temurun, penulis). Dewasa ini pun, dunia Islam memiliki negara-negara dengan sistem berbeda-beda, antara lain mamlakah (kerajaan), emirat (keamiran), sulthaniyyah (kesultanan), hingga jumhuriyyah atau republik (Kompas online, 26 Mei 2017). Berdasarkan berbagai uraian dan fakta yang ada, tidak salah kiranya jika umat Islam di RI memilih bentuk NKRI dengan Pancasila yang mengadopsi nilai-nilai ketuhanan, humanisme, nasionalisme, demokrasi, dan keadilan sosial. Tidak berlebihan juga kiranya jika ini merupakan bentuk upaya umat Islam di Indonesia untuk merefleksikan keteladanan Nabi Muhammad SAW dalam hal bernegara.
Sumber: http://www.mediaindonesia.com/news/read ... 2017-11-30