Tentang Militer
Militer Indonesia adalah suatu organisasi baru di tahun 50-an. Organisasi ini
mewakili grup baru, yang terdiri dari kelas bawah dan menengah selama jaman kolonial yang tidak didukung oleh elite aristrokat pada jaman Belanda. Pada jaman revolusi, terjadi konflik antara pemimpin militer dan pemimpin sipil mengenai revolusi. Menurut pemimpin militer, cara memenangkan revolusi adalah melalui keahlian mereka; sedangkan pemimpin sipil merasa bahwa revolusi dapat dimenangkan dengan cara perundingan. Militer, yang terdiri kelompok orang muda, yakin bahwa mereka lebih tahu mengenai situasi waktu itu dan lebih dapat mengatasinya daripada orang-orang sipil. Militer tidak memiliki respek dan tidak memperdulikan pemerintahan sipil. Pemimpin militer setelah 1950 an,
yang kemudian menjadi komando militer, Jendral Abdul Haris Nasution-seorang yang sangat pandai, sejarahwan nomor satu, dan pemimpin militer yang profesional-berpendapat bahwa sistem perwakilan tidak baik untuk Indonesia. Menurut Nasution, Indonesia membutuhkan pemimpin yang lebih kuat, dan hal ini hanya bisa dikerjakan oleh orang-orang dari kalangan militer.
Pada bulan Oktober 1952, beberapa perwira militer mengambil inisiatif untuk
menjatuhkan sistem parlementer, dengan alasan bahwa beberapa pemimpin
parlemen:
a) berusaha untuk memanipulasi militer.
b) menolak untuk memasukkan budget kepentingan militer.
Para perwira ini menemui Presiden Soekarno di istana lengkap dengan pasukan dan beberapa tank dan meminta beliau untuk membubarkan parlemen dan mengambil alih kekuasaan. Gerakan ini menginginkan kembalinya Indonesia kepada UUD '45 yang menitikberatkan kekuasaan presiden. Saat itulah UUD '45 kembali disebut-sebut untuk pertama kalinya. Soekarno menolak usul ini karena dia menyadari betul bahwa kalau kembali ke UUD '45, dia harus tunduk kepada dan akan diatur oleh militer. Jenderal Nasution lalu diberhentikan dari militer.
Setelah dikeluarkan dari militer, Nasution mendirikan partai politik IPKI.
Nasution beranggapan bahwa dia akan mendapat suara banyak dalam pemilihan karena jumlah tentara dan keluarga tentara yang cukup banyak. Ternyata dia tidak menang dalam pemilihan. Pada tahun 1955 Jenderal Nasution diangkat kembali karena beberapa masalah politik dalam militer. Segera setelah pengangkatannya, Jenderal Nasution menjadikan militer sebagai mesin politik.
Alasan militer turut campur dalam politik adalah:
* pada tahun 1956 terjadi pemberontakan daerah, terutama di Sumatra dan
Sulawesi Utara, dimana pemimpin militer tidak puas dengan pemerintahan di Jawa yang mengambil kekayaan alam dari pulau lain dan tidak membayar balik dengan jumlah yang seharusnya. Juga ada kekhawatiran perwira militer di luar Indonesia mengenai bahaya PKI yang sangat kuat di Jawa. Pada saat itu ada dukungan yang kuat dari Amerika Serikat (menteri dalam negeri AS, John Foster Dulles) dalam hal menangani pemberontakan daerah. Masalah yang sangat besar dalam pemberontakan ini sebenarnya merupakan pemberontakan militer.
* kabinet pada permulaan tahun 1957 merasa tidak sanggup mengatasi keadaan. Di samping itu Soekarno juga mendesak supaya semua partai politik mempunyai wakil di kabinet. Saat itu, satu partai terbesar saat itu, yaitu PKI, tidak mempunyai wakil di kabinet. Soekarno mengatakan kalau Indonesia mau menjalankan pemerintahan yang baik dan membuat semua partai bertanggung jawab, PKI harus juga diberi tempat di kabinet. Hal ini tidak disetujui oleh partai-partai lain sehingga menciptakan banyak masalah.
Oleh karena pemerintah mengalami kesulitan, banyaknya masalah disiden di
berbagai daerah, kekacauan di dalam kabinet, dan banyak kekecewaan dalam sistem parlemen, Jenderal Nasution mengatakan bahwa sudah saatnya bagi militer untuk menstabilkan keadaan. Maka pada bulan Maret 1957, UU keadaan darurat (martial law) diberlakukan. Maka mulai tahun 1957 sampai sekarang, landasan pokok dalam sistem politik di Indonesia adalah sistem militer. Segera setelah militer turut serta dalam politik, banyak peraturan-peraturan resmi di bawah UU keadaan darurat tersebut dipergunakan dengan mengatas-namakan kestabilan negara. Misalnya, pengontrolan pemberitaan dalam suratkabar, apa yang boleh dan tidak boleh dilaporkan; orang-orang ditahan berdasarkan hukum keadaan darurat, dan sebagainya.
Pada akhir tahun 1957, atas inisiatif PNI, beberapa perusahaan besar milik
konglomerat Belanda diambil alih oleh perkumpulan buruh dari PNI dan PKI. Tahun 1958, perusahaan-perusahaan ini dibuat menjadi milik negara, tetapi perusahaan-perusahaan ini tidak dibagikan kepada berbagai menteri untuk dijalankan, tetapi malah diambil alih oleh militer. Sejak saat itu, militer
tidak hanya memiliki kekuatan politik melalui UU keadaan darurat tetapi juga
kekuatan ekonomi melalui pengontrolan perusahaan-perusahaan yang
dinasionalisasikan.
Pertengahan tahun 1958, Jendral Nasution mengajukan usul yang menurutnya dapat mengatasi semua kebingungan politik di Indonesia. Usulnya mencakup 2 bagian.
Pertama, karena pada tahun 1958 banyak terjadi kudeta - misalnya di Syria,
Pakistan, Mesir, Irak, dan Amerika Latin - Jenderal Nasution mengumumkan
secara publik bahwa kalau melihat kudeta di berbagai negara saat itu, ada
kemungkinan percobaan kudeta di Indonesia. Oleh sebab itu harus diadakan negosiasi supaya perwira-perwira militer tidak tergoda untuk mengadakan kudeta. Dengan alasan tersebut, lahir ide yang diformulasikan oleh guru besar hukum, Djoko Sutono, yang dinamakan jalan tengah militer. Militer akan bertanggung jawab akan pertahanan negara dan tidak akan mengadakan kudeta, tetapi mereka harus diijinkan turut serta dalam fungsi sosial dan politik. Pemerintah tidak mempunyai banyak pilihan pada saat itu. Maka beberapa perwira militer ditunjuk menjadi wakil di kabinet.
Kedua, pada akhir tahun 1958, Jenderal Nasution menginginkan dihapusnya UUD 1950 dan diberlakukannya kembali UUD 1945. Satu hal yang sering dilupakan orang adalah bahwa pada tahun 1956 pernah terjadi perdebatan dalam parlemen mengenai hukum baru tentang de-sentralisasi. Hukum ini ditetapkan sebagai Hukum No. 1 tahun 1957. Inti dari hukum ini adalah penghapusan institusi pemerintahan kolonial yang bernama pamong praja, di mana pemerintah regional dikontrol dari pusat oleh menteri dalam negeri. Pamong praja sebenarnya diciptakan oleh Belanda pada abad ke 19. Pamong praja merupakan gabungan kekuatan antara pemerintah kolonial Belanda dan aristokrat Jawa yang fungsinya adalah mengontrol dan mengeksploitasi dan mengeksploitasi masyarakat untuk kepentingan Belanda; misalnya untuk urusan kopi, gula, dsb. Dan sampai saat ini, kemampuan pamong praja hanya tetap untuk mengontrol dan mengeksploitasi rakyat. Pada tahun 1957, pamong praja berdasarkan hukum parlemen akan dipilih berdasarkan pemilihan suara lokal. Jenderal Nasution menentang keras ide ini dan mulai meletakkan dasar untuk dibentuknya gabungan kekuatan antara militer
dan birokrat.
Pada awal tahun 1959, proposal untuk mengembalikan UUD 1945 diajukan ke Badan Konstituante, dan juga pada tahun 1955 telah diputuskan untuk membuat Undang Undang Dasar baru. Keputusan ini memerlukan 2/3 suara untuk menang, dan ternyata kalah. Oleh sebab itu Jenderal Nasution melanggar hukum politik negara, dan orang-orang dilarang untuk melaporkan hal ini. Presiden Soekarno yang sat itu sedang di luar negeri, dikirimi telegram oleh Jenderal Nasution yang isinya mengatakan bahwa dia harus menyatakan pemberlakuan kembali UUD '45. Soekarno sangat marah dan memberikan pidato di bandara sekembalinya beliau dari luar negeri. Dalam pidatonya dia mengindikasikan bahwa dia tahu siapa yang bertanggung jawab akan hal ini, yaitu militer. Beliau juga tahu bahwa kali ini dia telah kalah. Pada bulan Juli 1959 beliau menyatakan berlakunya kembali UUD '45. Soekarno tidak menginginkan hal ini dan hal ini dinyatakannya kepada beberapa orang termasuk Hardi (pemimpin PNI) yang mencatat hal ini dalam memoirnya. Soekarno tidak mau menjadi presiden, karena kalau dia menjadi presiden, ekonomi akan kacau karena dia tidak tahu sama-sekali mengenai ekonomi. Juga ada kemungkinan Soekarno tidak mau memikul semua tanggung jawab politik.
Setelah tahun 1959, peranan partai-partai politik menjadi kurang penting.
Partai-partai politik ini setuju dengan penundaan pemilihan parlemen tahun
1959, alasannya adalah bahwa dalam satu sisi, mereka takut dengan PKI yang semakin kuat dan mulai memilih jalan parlementer. Di sisi lain, beberapa
partai juga takut akan Islam yang mempunyai organisasi yang teratur. Semua partai setuju dengan penundaan pemilihan kecuali PKI, dan sistem parlemen ditolak. Setelah itu terlihat bahwa partai-partai politik tidak memiliki
hubungan yang nyata dengan masyarakat, kecuali bahwa mereka dapat menggerakkan beberapa pendukung untuk melakukan aksi di jalan. Masalah utama dari demokrasi terpimpin adalah bahwa militer sering mengambil keputusan sendiri. Fenomena menarik dari periode ini adalah bahwa banyak perwira yang menjadi kaya raya, mereka berada di kabinet dan juga menjadi sangat aktif dalam bidang politik di setiap propinsi. Satu hal yang juga menonjol adalah banyak perwira-perwira militer yang menikah dengan putri dari elite aristokrat.
Tahun 1965 terjadi kudeta yang sebenarnya dilakukan oleh militer. Sebenarnya terjadi dua kali kudeta, dimana kudeta yang pertama gagal total dan yang kedua berhasil luar biasa. Tanpa bukti-bukti yang kuat, PKI disalahkan dan dianggap bertanggung jawab dalam kudeta ini. Pada pertengahan bulan Oktober 1965, unit militer dikirim untuk menghancurkan kekuatan politik lokal dan sejumlah besar anggota PKI yang dianggap menghalangi dihabiskan. Tidak ada seorangpun yang tahu berapa jumlah orang yang mati. Diperkirakan sekitar 500 ribu sampai 1 juta orang mati. Satu pertanyaan yang patut diperhatikan: Berapa banyak orang yang mati dalam suatu rejim?
* Tahun 1950 - 1957 tidak banyak orang yang mati.
* Tahun 1958 - 1965 cukup banyak orang yang mati.
* Sejak tahun 1965, beratus-ratus bahkan beribu-ribu orang mati.
Apalagi orang-orang ini mati di tangan pemerintahan negara mereka sendiri.
Banyaknya orang yang mati karena tindak kekerasan pemerintah ini bukanlah suatu hal yang mengherankan dalam negara yang berdasarkan militer. Hal ini disebabkan karena militer memiliki keahlian tertentu, dan ketika mereka berkuasa, keahlian inilah yang dijadikan landasan untuk bertindak yaitu: pakai kekuatan, pemaksaan, dan pembunuhan. Militer sangat ahli dalam membunuh; sedangkan tugas utama dari pemimpin politik adalah berargumen, berdebat, berkompromi, dan sebisa mungkin menghindari pembunuhan.
Mulai tahun 1965 lahirlah Orde Baru, setelah Soekarno dijatuhkan oleh Jenderal Soeharto. Jendral Soeharto adalah seorang yang sangat pandai, walaupun terjadi banyak perdebatan mengenai hal ini. Yang jelas, keahlian-keahlian Soeharto yang sangat bergantung kepada kekuatan yang besar berdasarkan militer. Dan dengan segala maksud dan tujuan, rejim Orde Baru ini adalah rejim militer, walaupun ada beberapa ahli ekonomi yang berasal dari kaum sipil. Ini berarti, kalau ada krisis, baik politik maupun ekonomi, militer dipergunakan - termasuk polisi yang pada tahun 1967 dimasukkan dalam Angkatan Bersenjata dan harus mengikuti hukum militer. Presiden Soeharto memang selalu bersikeras bahwa semuanya berjalan berdasarkan hukum, tapi pada kenyataannya itu tidak benar. UUD '45 dilarang untuk disempurnakan. Alasannya adalah karena UUD '45 ditujukan sebagai lambang untuk kalangan militer dan jaman revolusi, dan UUD '45 tidak untuk dipergunakan dan diperhatikan secara serius.
Dan Lev merasa bahwa tidak ada seorangpun dalam Orde Baru - militer atau
sipil - kalau ditanya mengenai UUD '45 akan tahu apa isinya karena hal itu
tidak penting. Satu-satunya arti UUD '45 dalam Orde Baru adalah sebagai dasar pemberlakuan hukum. UUD '45 dipergunakan secara strategis untuk
kelompok-kelompok tertentu yang membutuhkan kekuatan konstitusi. Yang dilakukan oleh Soeharto untuk mempertahankan rejimnya selama 32 tahun adalah menjamin bahwa orang-orang diberi kesempatan untuk menikmati rejim Orde Baru.