Tidak heran selama aku kuliah dulu di daerah surakarta, banyak teman sekampus ku yang mencoba mendekati, namun hatiku terpaut pada Mas Hendra saja.
Bukan materi yang aku kejar pada dirinya, namun karena sikapnya yang santun padaku. Teman2 bilang aku terlalu pilih2, namun semua itu salah, dan kebetulan Mas Hendra datang ke kostan ku selalu pake BMW kadang mercy milik orang tuanya.
Tapi aku lebih suka jika ia datang dan jemput pake sepeda motor saja. Bukan apa2, di kampungku orangtuaku juga punya mobil seperti itu. Kehidupan sexualku normal dan Mas Hendra pun tau ttg seleraku. Ia amat mengerti kapan kami bisa berhubungan badan dan kapan tidak.
Aku pun tidak mau Mas Hendra terlalu memprosir tenaganya untuk melakukan kewajibannya. Sebagai wanita jawa aku di tuntut untuk menerima dan pasrah saja. Kami tinggal di surakarta dan menempati rumah pemberian orang tua Mas Hendra. Di rumah yang luas dan asri ini, kami tinggal dan ditemani dua orang pembantu suami istri.
Kedua pembantu itu telah lama ikut dengan orang tua Mas Hendra. Umur mereka kira2 65 tahun, yang perempuan bernama Mak Imah dan Pak Bidin. Kami mempercayakan rumah kepada mereka jika kami pergi kerja. Setiap hari aku kekantor kadang di antar Mas Hendra dan kadang aku nyetir sendiri.
Suatu saat aku pulang kantor dan mau kerumah, aku tanpa sengaja menyerempet sebuah sepeda yang di kemudikan oleh seorang pria setengah baya. Pria itu jatuh dan aku karena takut dan kaget, maka aku lari kan saja mobil ku kearah rumah. Sesampai dirumah aku, masukkan mobil dan diam di kamar.
Masih terbayang oleh ku, pria itu jatuh dan memanggil manggil aku untuk berhenti, namun aku tancap gas. Di rumah perasan ku tak tenang dan itu aku diamkan saja dari Mas Hendra.
Setelah kejadian itu besoknya aku minta di antar ke kantor oleh Mas Hendra. hampir tiap malam aku bermimpi bertemu dengan pria yang ku tabrak itu. Sampai2 Mas Hendra heran akan sikap ku yang berubah dingin dan gelisah.
Lalu Mas Hendra menanyakan sebab perubahan sikapku itu. Akupun berterus terang dan Mas Hendra memahaminya. Lalu ia sarankan aku untuk mengambil seorang sopir, untuk mengantarku. Akupun setuju, sebab aku memang trauma sejak saat itu menyetir sendiri.
Beberapa hari kemudian, datanglah sopir yang di cari Mas Hendra itu. Alangkah kagetnya aku, soalnya itu adalah orang yang aku tabrak tempo hari. Ia pun kaget, namun aku berusaha mengatur sikap ku, aku yakin ia pun masih ingat dengan ku saat ku tabrak.
Supaya Mas Hendra tak curiga pada orang yang ku tabrak itu, maka aku setuju saja jika ia jadi sopirku. Aku pikir itung2 balas jasa atas kesalahanku saat itu. Namanya Pak Rojak, umurnya kira2 66 tahun, namun masih kuat dan sehat.
Sejak saat itu aku slalu di antar Pak Rojak kemana aku pergi, baik kekantor atau belanja. Setiap pagi ia telah ada di rumah, dan siap2 membersihkan mobil ku.
Suatu hari saat mengantar aku ke kantor sambil bincang2 Pak Rojak, ia bilang padaku, "Bu.. kalau ndak salah ibu dulu, nabrak saya dengan mobil ini kan?".. tanyanya. Aku terdiam dan Pak Rojak pun berkata, "Ibu,,, kejam dan tidak bertanggung jawab."
Lalu ku jawab, "Maaf pak.. waktu itu memang salah saya,, saya tergesa-gesa saat itu", jawabku. "Alahhhh kalian orang kaya memang begitu.. menganggap orang lain sampah", lanjutnya.
Lalu ku jawab, "Tidak begitu, pak. Saya waktu itu karena takut, pak", kataku lagi. Lalu ia pun diam dan aku pun diam.
Saat itu, hingga sampai di rumah. Sejak kejadian itu sikapnya terhadap ku jadi lain dan aku tidak ambil pusing. Aneh memang kenapa sejak saat Pak Rojak bertanya kepadaku saat itu, aku merasakan adanya sensasi tersendiri dalam hatiku saat menatap matanya.
Perasaanku kepada Pak Rojak serasa ingin terus bersama dengannya. Jika ia pulang sore harinya, aku merasa ada yang hilang dalam hidup ku. Dan pagi jika ia datang untuk mengantar ku rasa itu jadi senang dan seperti kasmaran. Perasanku kepada Mas Hendra biasa saja.
Jumat sore, saat ia menjemput ku, entah kenapa aku minta Pak Rojak untuk mampir dulu untuk singgah di sebuah restoran. Disitu aku mengambil tempat agak kesudut dan suasananya amat romantis. Pak Rojak kuajak makan. kami duduk berhadap hadapan, ia pandangi terus mata ku. Akupun demikian seperti aku memandang Mas Hendra.
Baca Selengkapnya: KLIK DI SINI