H Rosihan Anwar
Lebih baik terlambat daripada tiada pernah. Inilah sebuah cerita tentang
seorang anak bangsa, pejuang kemerdekaan pada zaman revolusi: Letnan Jenderal TNI- D (Purn) R Hidayat Martaatmadja.
Hidayat termasuk urang Sunda yang pada zaman kolonial beroleh kesempatan menuntut pelajaran pada Akademi Militer Kerajaan di Breda untuk menjadi officier atau perwira tentara KNIL, Tentara Kerajaan Hindia Belanda. Urang Sunda yang lain ialah Didi Kartasasmita yang tamat sekolah menengah HBS Bandung pada tahun 1934 naik kapal menuju Breda. Mereka kemudian dilantik sebagai letnan dua KNIL. Sementara itu, sebelum pecah perang dengan Jepang tahun 1941 Hidayat yang sudah letnan satu keluar dari KNIL. Alasan formal karena sakit. Alasan sebenarnya karena Hidayat tak tahan melihat diskriminasi Belanda terhadap inlander alias pribumi.
Orang Indonesia lain yang jadi perwira KNIL adalah Mayor Oerip
Soemohardjo (yang pada awal revolusi sebagai letnan jenderal menjabat Kepala Staf Tentara), Mayor Suryo Santoso (yang memihak kepada tentara Nica-Belanda), Soedibio (yang sebagai mayor jenderal TNI mengepalai POPDA atau Panitia Oeroesan Pengembalian Djepang dan APWI), Suryadarma (yang kelak jadi Kepala Staf AURI).
Akhir September 1945 Didi bertemu dengan Menteri Penerangan Amir
Syarifudin untuk menjelaskan mengapa eks perwira KNIL bersikap menunggu untuk bergabung dengan tentara nasional. Sebabnya mereka dulu bersumpah setia kepada Ratu Belanda.
Ajak mereka bergabung dengan Republik ujar Amir. Maka Didi dibantu oleh rekannya Soedibio dan Samidjo pergi ke Bandung serta Yogya menemui eks perwira KNIL, agar mereka menandatangani surat pernyataan setuju masuk tentara nasional. Dari 20 orang, 14 menandatanganinya. Dia bertemu dengan Letnan Satu KNIL Hidayat di Bandung, yang lalu mencari kontak dengan orang-orang Akademi Militer Bandung yang lebih muda usianya dan belum diambil sumpahnya sebagai officier. Kecuali satu orang, seluruh kelompok Bandung, sekitar AH Nasution dan TB Simatupang, menandatangani surat keterangan yang dibawa oleh Didi
Kartasasmita.
Setelah terbentuk tentara nasional pada tahun 1945 Didi mengepalai
Komandemen I (Jawa Barat) di Purwakarta, sedangkan Hidayat adalah kepala staf. Kemudian Hidayat jadi Wakil Panglima Siliwangi di Tasikmalaya. Setelah aksi militer Belanda pertama tanggal 21 Juli 1947 tentara Siliwangi di Jawa Barat bergerilya melawan Belanda.
Panglima Kolonel AH Nasution tinggal di satu tempat saja, berbeda dengan Hidayat yang mobile bergerak dari satu tempat ke tempat lain. Kemudian Hidayat menjadi Kepala Staf Angkatan Perang (AP) I. Waktu PM Amir Syarifudin berunding di Jakarta menjelang perjanjian Renville, Hidayat ikut dalam delegasi Indonesia sebagai penasihat militer. Pada kesempatan itu saya berkenalan pertama kali dengan Hidayat. Orangnya santun, bisa bergaul dengan saya, wartawan yang tujuh tahun lebih muda usianya. Hidayat didikan Breda jadi biasa bercakap-cakap dengan saya dalam bahasa Belanda.
Pembentukan PDRI
Hidayat dipindahkan ke Sumatera menjadi Panglima Komando Sumatera. Mengingat situasi waktu itu, dia harus berjalan kaki untuk menginspeksi unit-unit tentara dengan didampingi oleh Kapten Islam Salim (putra Haji Agus Salim) sebagai ajudannya.
Untuk sampai di Kotaraja, Aceh, mereka berjalan kaki. Suatu prestasi
fisik luar biasa. Ketika pecah aksi militer Belanda ke-2, 19 Desember 1948,
Hidayat berada di Sumatera Tengah. Soekarno-Hatta-Sjahrir-HA Salim sudah ditawan oleh militer Belanda, diasingkan ke Prapat dan Bangka.
Telegram yang dikirim dari Yogya oleh kabinet tak pernah sampai kepada Syafrudin Prawiranegara, menteri yang bertugas di Bukittinggi. Toh, Syafrudin mengambil langkah untuk membentuk sebuah pemerintah darurat.
Pembicaraan kurang lancar karena Syafrudin yang sarjana hukum berpikir terlalu legalistis. Datanglah Hidayat dan Islam Salim dan mereka mendesak supaya mengambil keputusan bersifat politis. Maka lahirnya PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia) yang diketuai oleh Syafrudin untuk melanjutkan perjuangan melawan Belanda. Tidak banyak orang yang tahu, inklusif sejarawan, mengenai peranan Hidayat dalam pembentukan PDRI.
Kedaulatan
Setelah penyerahan kedaulatan tanggal 27 Desember 1949 Kolonel Hidayat memimpin misi pembelian barang dan senjata di luar negeri. Dia sempat dituduh oleh Kolonel Suhud melakukan korupsi yang sama sekali tidak benar adanya.
Karena Kolonel AH Nasution sebagai KSAD tidak berbuat apa-apa, maka
Hidayat memilih keluar dari TNI. Ia pindah ke Cipanas, tinggal di sebuah gubuk di daerah pegunungan, sampai saatnya dia direhabilitasi nama baiknya oleh PM Wilopo dan Menteri Djuanda.
Hidayat lalu menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Kementerian Pertahanan. Dia pernah dipanggil oleh Presiden Soekarno dan ditanya apakah mau menjadi KSAD menggantikan Nasution. Hidayat menolak. Alasannya? Ini soal corps d'sprit, ujarnya. Baginya penting mengutamakan semangat korps tentara dan setia kawan ketimbang mempromosikan kepentingan pribadi. Bung Karno kemudian mengangkat Hidayat sebagai Menteri Perhubungan Darat dan Pariwisata. Selanjutnya dia menjabat sebagai Duta Besar RI di Kanada dan Australia.
Keluar dari jabatan pemerintah Hidayat bekerja di bidang bisnis. Ia punya hubungan dengan Cygma Insurance, dengan perusahaan Jerman Eisenbau Ferrostahl yang berperan dalam proyek Krakatau Steel di Banten. Namun, dia tidak pernah menonjol karena tabiatnya yang suka berada di latar belakang dan menegakkan profil rendah.
Dia setia kepada istrinya, Ratu Aminah, yang 10 tahun lebih tua usianya.
Mereka menikah tahun 1941. Pada zaman Jepang hidup mereka cukup susah. Hidayat pernah menjadi sopir mobil. Bahkan pada zaman Republik, Hidayat tidak punya rumah. Lalu ada rumah di Jalan Cik di Tiro dan dia berkata kepada Kolonel Suprayogi yang menteri, Ibu belum punya rumah.
Harga rumah itu Rp 40.000 dan dengan pertolongan pengusaha Markam yang mengasih duit, rumah bisa dibeli Hidayat yang menemukan dalam diri Ratu Aminah, his soulmate, yang apabila sakit dijaga dan dirawatnya dengan penuh dedikasi.
Sifat Hidayat adalah tidak suka bicara jelek tentang orang lain. Dia
orang yang religius sekali. Waktu jadi dubes dia taat melakukan shalat lima
waktu. Dia selalu berkata money is not everything, uang bukanlah segala-galanya.
Ratu Aminah berbeda dengan Hidayat yang aktif di dunia politik. Semasa muda Ratu pengagum Bung Karno. Kemudian dia jadi Ketua Umum Partai IPKI (Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia). Setelah Ratu Aminah meninggal dunia, Hidayat menikah lagi dengan seorang janda, yakni Bu Annie, dari keluarga Natakusuma.
Annie adalah temannya satu sekolah di HBS Bandung zaman Belanda. Bu Annie merupakan cucu Prof Snouch Hurgronje, ilmuwan dan advise voor Inlandsche Zaken Pemerintah Hindia Belanda, pakar dalam masalah Aceh dan agama Islam, yang kawin dengan gadis Sunda.