Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LKIP) pernah melakukan sebuah penelitian mengenai ancaman terorisme di lingkungan pendidikan di kawasan Jabodetabek, di mana hasilnya cukup mencengangkan, yakni sebanyak 49 persen pelajar pro terhadap aksi radikalisme. Alasan utama ke-49 persen suara pro tersebut adalah karena faktor kebanggaan semu terhadap agama yang dianutnya. Umumnya mereka menganggap bahwa agama yang dianutnya adalah yang paling benar, sedangkan yang lain salah, bahkan dianggap kafir. Atas dasar hal tersebut, mereka pun seakan mengamini bahwa radikalisme adalah bagian dari perjuangan melegitimasi agama yang diyakininya terhadap komunitas lain. Harus diakui bahwa memang peggunaan simbol-simbol agama di ruang publik kian mencolok. Selain itu, semangat untuk meninggikan keyakinan yang dianutnya juga semakin tinggi sehingga menimbulkan persaingan ego antar komunitas.
Kehidupan moderat pun terancam eksistensinya, dan terorisme pun kian mendapatkan angin segar untuk melancarkan tujuannya. Bahkan beberapa kali sempat ditemui fakta mengenai kalangan muda yang memuja pelaku teror sebagai pahlawan. Penting bagi kita semua untuk menyadari bahwa kalangan muda rupanya telah mulai teracuni oleh paham radikal sehingga menimbulkan rasa benci terhadap mereka-mereka yang tidak sepaham dengannya. Ambilah contoh tersangka kasus teror bom buku, Pepi Fernando, yang sempat menghebohkan publik di akhir dekade awal 2000-an. Bagi masyarakat di lingkungan tempat tinggalnya, Pepi dikenal sebagai pemuda yang sopan dan taat beribadah.
Ketika akhirnya ia ditangkap, banyak orang pun terkejut dan bahkan menangis melihatnya. Pepi adalah satu dari sekian banyak pemuda yang rupanya terjerat indoktrinasi radikal sehingga berkembang menjadi kalangan yang memiliki sifat keekskusivan semu. Selain itu, indoktrinasi tersebut juga membuat anak muda tidak menghargai perbedaan, namun justru bersedia untuk menggunakan kekerasan untuk mempertahankan apa yang mereka yakini sebagai hal yang paling benar. Salah satu faktor yang mendorong terjadinya intoleransi tersebut berasal dari ranah pendidikan, khususnya mengenai pendidikan agama. Sebuah penelitian bahkan pernah menyebut bahwa sebanyak 40 persen guru agama di Indonesia cenderung kurang memahami pentingnya toleransi dan menghargai perbedaan.
Seharusnya guru, sebagai bgian vital dalam proses pengajaran di lembaga pendidikan, memiliki wawasan multikultural dan kebangsaan sebagai bekal dalam mengajar. Hal ini bertujuan sebagai bentuk partisipasi pencegahan gesekan antar umat sekaligus menghindarkan kalangan muda dari ajaran radikalisme. Terorisme merupakan bentuk yang melenceng dari dunia pendidikan, di mana dilakukan oleh segelintir oknum yang tidak bertanggung jawab. Untuk melawannya, berarti kita juga perlu menciptakan pendidikan yang kritis dan mencerahkan. Pendidikan yang mengajarkan realitas-realitas yang tengah berlangsung, sehingga kalangan muda pun menjadi peka akan isu-siu yang berkembang di sekitarnya.
Sumber : http://www.kompasiana.com/nuninglisti/a ... 04048b456f