Permasalahan rumit dalam upaya penuntasan kasus kejahatan korupsi di Indonesia adalah begitu mudah dan banyaknya pelaku kejahatan korupsi yang lari dan bersembunyi di negara lain. Pemulangan Samadikun Hartono dari Tiongkok, 21 April lalu, awalnya jadi berita besar bagi upaya perburuan koruptor yang kabur ke luar negeri. Faktanya, pasca pemulangan Samadikun, Kepala Badan Intelijen Negara Sutiyoso justru mengonfirmasi bahwa saat ini masih ada puluhan koruptor yang bersembunyi di luar negeri (Kompas, 29/4). Alih-alih pemulangan buron korupsi dari Tiongkok ini jadi informasi yang menggembirakan dan memunculkan harapan baru upaya pemulangan para koruptor yang kabur ke luar negeri, kini muncul pertanyaantentang bagaimana dengan koruptor lain yangmasih aman bersembunyi di luar negeri. Pelaku korupsi yang lari dan bersembunyi di luar negeri ini telah melecehkan hukum Indonesia. Dengan berbagai tipu daya dan rekayasa, mereka berhasil mengelabui aparat penegak hukum untuk menyembunyikan diri dan hasil kejahatannya di luar wilayah Indonesiadan menghindari jeratanhukum Indonesia. Dalam konteks seperti ini, lembaga ekstradisi diperlukan untuk memulangkan pelaku kejahatan yang kabur ke luar negeri. Ekstradisi adalah penyerahan pelaku kejahatan yang melarikan diri ke luar negeri atas permintaan negara pemohon kepada negara di mana pelaku kejahatan ini sedang berada. Umumnya permohonan ekstradisi dilakukan jika pelaku kejahatan berkewarganegaraan negara pemohon. Ekstradisi atau penyerahan pelaku kejahatan oleh suatu negara kepada negara lain dapat dilaksanakan berdasarkan perjanjian internasional yang telah ada di antara negara yang bersangkutan, atau berdasarkan kesepakatan timbal balik. Beberapa negara, seperti Tiongkok, sangat gencar melakukan upaya ekstradisi untuk memburu para pelaku korupsi yang kabur ke luar negeri. Upaya semacam ini dilakukan dengan dua target utama, yakni memulangkan para koruptor untuk dapat diproses secara hukum, dan menyita harta kekayaan mereka yang diperoleh dengan cara-cara ilegal dan disembunyikan.
Meski demikian, upaya ekstradisi mungkin tidak dikabulkan negara tempat pelaku ini berada dengan berbagai pertimbangan. Penolakan terhadap permintaan ekstradisi dapat terjadi jika kejahatan yang disangkakan dianggap sebagai kejahatan politik; sedang dilakukan proses hukum terhadap kejahatan dimaksud di negara termohon; karena terbentur rahasia bank; ancaman pidana dianggap berlebihan; alasan demi kepentingan umum;atau kejahatan dimaksud sebagian atau seluruhnya dilakukan di negara wilayah termohon. Dalam dua dekade terakhir, masyarakat internasional telah menunjukkan komitmen sangat positif untuk memerangi kejahatan korupsi; karena korupsi dianggap sebagaitantangan multidimensi (HAM, demokrasi, aturan hukum, keamanan manusia/warga negara, pasar, kualitas hidup, dan pembangunan berkelanjutan). Dalam Konvensi PBB tentang Pemberantasan Korupsi (the United Nations Convention Against Corruption/UNCAC 2003), negara-negara didorong untuk saling bekerja sama dalam setiap aspek untuk melawan korupsi. Dalam konvensi ini, perang terhadap korupsi merupakan suatu rangkaian proses siklikal yang meliputi pencegahan; kriminalisasi dan penegakan hukum; kerja sama internasional; implementasi; pengembalian aset;danbantuan teknis termasuk pertukaran informasi. Selain upaya diplomasi dan pendekatan legal, upaya ekstradisi untuk memburu koruptor yang bersembunyi di luar negeri juga berhadapan dengan kendala dan beberapa persoalan krusial.
Hambatan bagi upaya ini, antara lain,masih adanya orang-orang yang dapat ”dibeli” untuk membantu pelaku korupsi. Bahkan ada pihak yang ikut membantu melakukan gangguan atas proses peradilan yang sedang berjalan atas pelaku yang tertangkap dan sedang dalam proses hukum. Berikutnya, upaya memburu koruptor yang kabur ke luar negeri memerlukan langkah sinergis di antara lembaga terkait. Faktanya, sering kali prosedur administratif/birokrasi yang ada sangat berliku sehingga koordinasi dan tindakan pre-emptive measures sangat lemah. Prosedur administratif yang ruwet itu telah memberi keleluasaan para koruptor untuk menghindari proses hukum, termasuk kabur ke luar negeri. Masalah lain yang tidak kalah peliknya adalah bagaimana menyeimbangkan kepentingan politik dengan kepentinganhukum, baik di negara pemohon (negara asal pelaku) maupun di negara tempat pelaku kejahatan sedang bersembunyi.
Sejatinya, keberhasilan penegak hukum memanfaatkan lembaga ekstradisi untukmemburudan menghukum para koruptor yang lari dan bersembunyidi negara lain memiliki makna positif bagi upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Pertama, upaya ini memiliki fungsi penggentaran dan pencegahan, sehingga bagi yang belum melakukan korupsi diharapkan tidak melakukannya. Sementara bagi yang telah jadi tersangka dan atau terpidana kasus korupsi akan berpikir ulang untuk kabur dan bersembunyike luar negeri. Kedua, dengan ekstradisi ini, upaya perburuan koruptor yang lari dan bersembunyi di luar negeri akan menjadi bukti keseriusan negara dalam memerangi kejahatan korupsi. Publik akan percaya, mengapresiasi, dan mendukungsetiap langkah penuntasan kasus korupsi, dengan atau tanpa diminta, manakala aparat hukum menunjukkan komitmen dan langkah nyata. Ketiga, upaya ekstradisi para pelaku kejahatan darinegara lain ke Indonesia akan meningkatkan kerja sama internasional dalam penegakan hukum sebagaimana diamanatkan UNCAC. Keempat, upaya ekstradisi terhadap para koruptor yang kabur ke luar negeri akan meningkatkan kapasitas penegak hukum Indonesia dalam mencegah dan memerangi kejahatan korupsi yang bersifat lintas batas. Kelima, upaya ini jugabermakna bagi pengembalian aset negara yang dirampok dan disembunyikan para koruptor.
sumber: http://print.kompas.com/baca/2016/05/14/Ekstradisi-dan-Perburuan-Koruptor