Konstitusi negara Indonesia memberi amanat yang jelas dan tegas kepada pemerintah dan bangsa Indonesia untuk terlibat aktif dalam upaya menciptakan perdamaian dunia. Rumusan yang dinyatakan dalam alinea 1 dan 4 Pembukaan UUD 1945 merupakan dasar hukum sekaligus tujuan ideal yang harus diperjuangkan segenap bangsa Indonesia dalam interaksi luar negerinya. Hal itu kemudian diturunkan Mohammad Hatta ke dalam doktrin politik luar negeri bebas aktif. Di luar perdebatan mengenai makna dan praktik dari konsep itu, politik bebas aktif sejauh ini telah menjadi pemandu sekaligus identitas politik luar negeri Indonesia. Dalam konteks pemerintahan Presiden Joko Widodo, pelaksa- naan politik bebas aktif di Timur Tengah mengalami tantangan yang tak ringan. Selain persoalan tradisional, seperti masalah tenaga kerja Indonesia dan isu Pales- tina, ada dua hal yang benar-benar menguji konsistensi bangsa Indonesia dalam pelaksanaan politik luar negeri yang bebas dan aktif akhir-akhir ini. Pertama adalah permusuhan Arab Saudi dan Iran yang meng- eskalasi secara dramatis sesudah ofensif koalisi Arab pimpinan Arab Saudi ke Yaman, konflik Suriah, Irak, eksekusi hukuman mati Sheikh Nimr Baqir al-Nimr, dan peristiwa lanjutannya. Eksekusi Sheikh al-Nimr begitu mengakselerasi ketegangan itu. Sebelumnya isu perang Suriah juga membuat Pemerintah Indonesia ditarik-tarik berpihak kepada salah satu pihak. Dan, Pemerintah Indonesia pada masa Presiden SBY sempat maju mundur terkait masalah Suriah. Kedua adalah ajakan Arab Saudi kepada Indonesia bergabung ke dalam ”aliansi militer Islam” yang dipimpin negara itu. Arab Saudi bahkan mengklaim bahwa Indonesia telah tergabung dalam aliansi yang beranggotakan 34 negara berpenduduk mayoritas Muslim itu.
Dua hal ini sungguh merupakan tantangan yang tak mudah sebab Indonesia memiliki kepentingan nasional yang demikian besar, terutama kepada Arab Saudi dan negara-negara Arab Teluk sekutunya. Arab Saudi adalah negara destinasi haji dan umrah sekaligus pengatur jumlah kuota haji yang merupakan persoalan krusial bagi Muslim Indonesia. Negara itu adalah tempat jutaan warga negara Indonesia mencari kerja. Negara itu adalah investor yang paling menjadi rebutan banyak negara termasuk Indonesia. Kepentingan Indonesia atas Arab Saudi dan negara lain sedemikian besar. Faktanya, Pemerintah Indonesia masih memiliki nyali yang besar menolak ajakan dan klaim itu cukup tegas. Ini tentu sesuatu yang membanggakan bagi segenap bangsa Indonesia kendati juga mengandung risiko tak kecil terkait kepentingan bangsa ini di negara itu. Penolakan itu rupanya didasarkan kepada garis politik luar negeri bebas dan aktif yang menolak membangun aliansi militer dengan negara mana pun. Yang lebih melegakan adalah tekad pemerintahan saat ini untuk terlibat aktif dalam upaya mediasi perdamaian antara Arab Saudi dan Iran. Ini benar-benar mengingatkan bangsa Indonesia akan peran besarnya di masa- masa perjuangan kemerdekaan bangsa terjajah. Jika Indonesia mampu memainkan peran penting tersebut, itu adalah catatan begitu berharga dalam sejarah diplomasi Indonesia sebab di antara persoalan menonjol yang mendera dunia Islam dari Maroko hingga Indonesia saat ini adalah ancaman konflik yang berbau sektarianisme SunniSyiah dan ekstremisme.
Setelah KTT LB OKI di Jakarta, peran Indonesia untuk Palestina juga mengakselerasi. Rekonsiliasi Hamas-Fatah merupakan isu yang cukup ideal bagi Indonesia untuk terlibat. Indonesia memiliki hubungan baik dengan kedua faksi yang berseteru sejak 2007 itu. Tantangan terberat bagi Indonesia memang masalah perdamaian Israel-Palestina. Indonesia tak memiliki hubungan resmi dengan Israel kendati akhir- akhir ini Tel Aviv tampak berupaya lebih keras membujuk Indonesia membuka hubungan resmi. Ini memang dilematis. Di satu sisi, Indonesia berupaya menjaga konsistensi mendukung Palestina dengan tidak membuka hubungan dengan Israel. Di sisi lain, peran mediasi perdamaian antara kedua pihak itu tentu mustahil dilakukan tanpa memiliki hubungan resmi dengan kedua pihak. Namun, upaya penciptaan perdamaian di Timur Tengah khususnya Arab Saudi-Iran memang amat pelik sebab durasi, kedalaman, dan dimensi konflik itu sedemikian lama dan kompleks dan telah mewujud dalam konflik proxy di berbagai wilayah di Timur Tengah, seperti Irak, Suriah, Yaman, Bahrain, dan wilayah Timur Tengah lain, serta dalam kontestasi yang kian mengeras di hampir semua dunia Islam lain.
Karena itu, persoalan peran Indonesia dalam upaya perdamaian di Timur Tengah yang dibicarakan sejumlah ahli dan praktisi di UIN Yogyakarta 14 April 2016 menjadi isu penting saat ini. Di samping sebagai pelaksanaan amanat konstitusi dan memperkuat capaian kepentingan nasional di Timur Tengah, isu itu juga signifikan sebagai promosi ”model” (pengalaman) demokrasi Indonesia dan keislaman Indonesia ke Timur Tengah dan dunia Islam lain. Indonesia memiliki modal cukup besar untuk memainkan peran dalam upaya penyelesaian konflik di berbagai negara di Timur Tengah. Modal itu adalah hubungan historis dan mendalam antara Indonesia dengan negara-negara di Timur Tengah terutama dalam upaya memerdekakan diri dari penjajahan, dan hubungan itu tetap terpelihara hingga sekarang. Modal lainnya adalah profil Indonesia sebagai negara Muslim demokratis terbesar di dunia dengan demokrasi yang terbukti tahan guncangan, serta kebersamaan Indonesia dengan negara-negara Timur Tengah dalam berbagai organisasi internasional. Peran dengan profil tinggi di Timur Tengah dan dunia terbukti pernah dimainkan Pemerintah Indonesia pada masa Soekarno yang kemudian meninggalkan bekas yang mendalam di hati sebagian rakyat Timur Tengah hingga sekarang.