Di dalam pemerintahan yang demokratis, kehadiran partai politik merupakan suatu yang tidak bisa dihindari. Indonesia tidak terkecuali, bahkan semenjak kemerdekaan setelah almarhum Sutan Sjahrir mengusulkan kepada Wakil Presiden Mohammad Hatta agar rakyat diberi kewenangan untuk mendirikan partai politik, maka berdirilahbanyak partai politik di awal kemerdekaan itu. Usul Sjahrir itu karena Undang-Undang Dasar (UUD) yang baru disahkan itu memberikan kekuasaan yang besar kepada presiden sehingga dikhawatirkan negara yang baru dijajah fasis Jepang bisa melahirkan kepemerintahan yang fasis. Semenjak kehadiran partai politik dalam tata kepemerintahan kita selama ini, belum pernah diatur bagaimana hubungan kerja keduanya. Partai politik melahirkan jabatan-jabatan politik yang memimpin tatanan administrasi dan birokrasi pemerintahan. Setiap pemimpin suatu organisasi dilengkapi oleh kekuasaan untuk menguasai, mengarahkan semua potensi dalam organisasi tersebut. Partai politik yang kemudian berkuasa dan mengusaibirokrat atau administrator dalam sistem administrasibirokrasi pemerintah. Partai politik tiba-tiba datang dalam tata kepemerintahan dan langsung menduduki posisi sebagai pimpinan administrasi pemerintahan. Dahulu, sebelum datangnya partai politik (baca ilmu politik), ilmu administrasi negara berdimensi luas meliputi kajian yang dilakukan oleh ilmu politik, yakni membuat dan merumuskan suatu kebijakan atau policy. Ilmu administrasi negara adalah suatu kajian yang meliputi tidak hanya melaksanakan suatu kebijakan, tetapi juga membuat dan merumuskan kebijakan. Setelah ilmu politik berpengaruh terhadap proses ilmu administrasi negara, ilmu administrasi negara membatasi lingkup kajiannya hanya pada proses pelaksanaan kebijakan. Proses perumusan dan pembuat kebijakan dikaji oleh ilmu politik (Denhardt dan Denhardt, 2009). Dengan demikian, tata kerja antara politik dan birokrasi adalah politik yang kemudian dilakukan oleh partai politik memimpin birokrasi dalam sistem administrasi negara. Politik yang merumuskan kebijakan dan administrasi birokrasi pemerintahan yang melaksanakan kebijakan. Rumusan tata kerja seperti itu tidaklah berlangsung sesederhana yang kita bayangkan.
Sekarang pertanyaannya, sampai di mana netralitas birokrasi dari politik itu bisa diwujudkan sehingga bisa melahirkan sistem meritokrasi. Istilah ini mulai populer ketika Jokowi menjadi Gubernur DKI. Ketika itu, Jokowi ingin melakukan pergantian jabatan secara terbuka bagi para pejabat dan pegawai di kalangan pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota, sebagai lawan cara pergantian jabatan sebelumnya yang tidak transparan. Akan tetapi, istilah lelang ini istilah yang sering dipergunakan dalam usaha perdagangan yang biasa dipergunakan oleh para pedagang kalau akan memperdagangkan barang dagangannya. Istilah ini juga mempunyai konotasi yang mempertontonkan seluk-beluk permainan yang kurang baik. Dengan menggunakan lelang jabatan, pejabat politik dengan mudahnya mengganti jabatan atau pejabat yang tidak disukai. Cara lelang seperti initidak jauh bedanya dengan cara sebelum UU No 5 Tahun 2014. Dengan berkedok pergantian jabatan secara terbuka melalui lelang tidak jarang dijumpai permainan like and dislike terjadi. Dahulu, ketika partai politik memimpin pemerintahan di awal kemerdekaan, partai politik ingin menguasai pemerintah. Kekuasaan menjadi simbol utama dari dedikasi partai politik dalam memimpin pemerintah. Departemen pemerintah dipimpin atau diduduki oleh suatu partai politik sehingga seluruh aparat pemerintahan di departemen itu dikuasai oleh partai politik. Semua potensi departemen dari sumber daya manusia, sumber daya budget, dan sumber daya lainnya dikuasai untuk menyiapkan kemenangan pemilu yang akan datang. Jika suatu kementerian dipimpin oleh menteri dari partai politik tertentu, seluruh departemenitu dari pucuk pimpinan sampai ke pemerintahan desa dikuasai orang partai itu.
Sekarang, semenjak era reformasi kehadiran partai politik dalam tata kepemerintahan tidak bisa berkurang. Setelah UU No 5 Tahun 2014 diberlakukan, yang catatannya harus dilakukan netralitas, maka dengan slogan lelang jabatan yang diuraikan di muka pimpinan politik dengan mudah mengganti pejabat yang tidak kalah ramainya dengan sebelum ada undang-undang itu. Sekarang ini sedang ramai diselenggarakan pergantian jabatan dengan cara lelang yang dilakukan secara terbuka. Orang-orang parpol yang memimpin birokrasi pemerintah di pemerintah pusat ataupun di pemerintah daerah sering disebut sebagai pejabat politik. Dengan demikian, pejabat tersebut selalu membawa nama partai politiknya dan bahkan membawa aspirasi partainya sehingga birokrasi dipimpin oleh partai politik. Bahkan, ada partai politik yang menempatkan orang-orang partainya dalam pemerintahan disebutnya sebagai petugas partai. Dengan demikian, pejabat politik adalah petugas partai untuk memerintah pemerintah yang jauh sekali dengan aspirasi Undang-Undang Aparatur Sipil Negara.
Selama ini, hubungan kerja yang berlangsung antara pejabat politik dan pejabat birokrasi adalah hubungan antara atasan dan bawahan. Suatu hubungan yang normal atau hubungan Weberian dalam setiap bentuk organisasi. Hubungan semacam ini mengimplementasikan hubungan antara penguasa dan pelaksana yang dikuasai, dan hal ini membawa pengaruh fungsi birokrasi sebagai subordinasi sebagai mesin politik dan pelengkap dari eksistensi pejabat politik. Sebagai bawahan dan pelengkap, kehadiran birokrasi tak bisa ikut berperan menentukan tata politik pemerintahan yang baik. Model semacam ini dalam teori administrasi publik disebut executive ascedency. Untuk menciptakan tatanan pemerintahan yang mengutamakan meritokrasi, pejabat politik bisa mengubah cara yang ascendency tersebut dengan cara team work sehingga melahirkan cara kerja bureaucratic subblation. Dalam cara ini, keahlian dan profesionalisme pejabat birokrasi diperhatikan sehingga pejabat birokrasi tidak dianggap sebagai bawahan dan pelengkap yang kurang berperan, melainkan dijadikan sebagai suatu kekuatan penyeimbang dari kekuatanpejabat politik. Dengan demikian, hubungan kerja antara birokrasi dan politik tidak terbelah antara aspirasi partai politik dan keinginan pejabat birokrasi yang mengharapkan tatanan pemerintahan yang efisien dan rasional. Barangkali dengan cara semacam ini netralitas birokrasi dari intervensi politik seperti yang diinginkan oleh Undang-Undang Aparatur Sipil Negara bisa tercapai.