Bocornya “Dokumen Panama” atau yang sekarang ramai dikenal Panama Papers telah menjadi pemberitaan heboh di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Sekitar 11,5 juta dokumen milik firma hukum yang amat berpengaruh di Panama, Mossack Fonseca, ini memberi gambaran bagaimana firma itu bekerjasama dengan bank untuk menjajakan kerahasiaan finansial pada politikus, penipu, mafia narkoba, sampai miliuner, selebritas dan bintang olahraga kelas dunia. Dokumen ini bocor dan diperoleh oleh sebuah konsorsium jurnalis global yang tergabung dalam International Consortium of Investigative Journalists (ICIJ), bersama dengan koran dari Jerman SüddeutscheZeitung serta dianalisis oleh lebih dari 100 organisasi pers dari seluruh dunia. Dari Indonesia media yang terlibat dalam proyek investigasi ini adalah Tempo. Dokumen ini memberi banyak petunjuk, termasuk tentang 12 kepala negara (mantan dan yang masih menjabat) yang memiliki perusahaan di yuridiksi bebas pajak (offshore) yang dirahasiakan. Dilaporkan, setidaknya ada 128 politikus dan pejabat publik dari seluruh dunia namanya tercantum pada dokumen tersebut. Jangan heran jika ada sejumlah pebisnis maupun petinggi negara ini yang namanya tercantum dalam dokumen tersebut. Apalagi sekarang duet KPK dan Ditjen Pajak sedang aktif menyisir orang-orang yang diduga mengemplang pajak, tapi memiliki harta kekayaan di luar negeri. Karena umumnya mereka yang menghindar membayar pajak melalui praktik pencucian uang dan transfer pricing, sehingga di Indonesia tidak tercantum data harta kekayaan pribadinya.
Namun praktik pencucian uang dan penghindaran pajak yang dibongkar itu sebenarnya hanya sebagian kecil dari praktik serupa di dunia. Seperti pada Mei 2013, organisasi nir laba berbasis di Inggris, Oxfam, menyebutkan bahwa sedikitnya ada US$ 18,5 triliun dana yang disembunyikan oleh orang-orang kaya di dunia untuk menghindari pajak. Dari praktik penghindaran pajak itu kerugian mencapai sekitar US$ 156 miliar atau sekitar Rp1.800 triliun pendapatan pajak setiap tahun. Kerugian ini setara dengan dua kali lipat dana yang diperlukan untuk mengatasi kemiskinan ekstrem di seluruh dunia, di mana setiap orang membutuhkan sekitar US$ 1,25 atau setara Rp 16.000 per hari. Padahal untuk mengakhiri kemiskinan di dunia, menurut Brookings Institute di Amerika Serikat, setiap orang di dunia perlu mempunyai pendapatan minimum US$ 1,25 per hari. Hal ini berarti hanya membutuhkan biaya sebesar US$ 66 miliar. Lantas di mana ‘’surga pajak’’ itu? Oxfam menyebut Luksemburg, Andorra atau Malta, Pemerintah Inggris pernah menyebutkan tentang Kepulauan Channel, Gibraltar dan Anguilla. Namun diperkirakan sedikitnya ada 60 yurisdiksi lepas pantai di seluruh dunia yang menjalankan operasi ini, termasuk di Swiss, Kepulauan Channel dan Liechtenstein, dan kebanyakan di kawasan Karibia.
Jadi, satu kasus dari sebuah perusahaan di Panama, barulah bagian kecil dari praktik tersebut. Dan ini belum termasuk praktik pencucian uang yang tersebar di banyak negara, bahkan juga melibatkan bisnis dunia properti yang ‘’membersihkan’’ uang-uang dari narkotika dan dunia kejahatan lain. Sudah lama masalah ini disoroti, namun ‘’surga pajak’’ dan ‘’surga pencucian uang’’ memang tempat yang tidak mudah disentuh. Bahkan negara-negara anggota G8 pernah berjanji akan memburu para pengemplang pajak, tetapi praktik ini nyaris tidak juga tersentuh hingga kini. Belum lagi nama-nama pemimpin negara dan tokoh-tokoh terkenal dunia yang juga sangat mungkin mempunyai hubungan penting dengan pemerintahan dari negara-negara G-8. Dan dibocorkannya data dari Panama ini membenarkan apa yang disebutkan oleh Oxfam sebagai skandal yang memalukan. Bahkan Vatikan pun disebutkan digunakan untuk pencucian uang.
Masalah penghindaran pajak dan pencucian uang oleh perusahaan besar dan pemilik modal telah menjadi masalah ekonomi global. Hal ini pantas disebut sebagai skandal yang memalukan. Sebab, ada begitu banyak uang yang disimpan tanpa membayar pajak dengan membiarkan orang-orang paling mampu lolos dari keharusan membayar pajak barang dan jasa. Di sisi lain banyak pemerintah mengaku tidak memiliki dana untuk negaranya, dan tidak ada pilihan lain, kecualimemotong belanja publik dan bantuan pembangunan. Ini adal;ah sumber ketimpangan ekonomi dunia. Padahal di antara para pemimpin negara itu ada dalam deretan nama, setidaknya, yang disebutkan pada ‘’Panama Papers’’. Bagaimanapun, skandal penghindaran panjak dan pencucian uang merupakan masalah global yang serius dan juga merupakan salah satu sumber ketidakadilan secara global. Maka dibutuhkan kekuatan besar untuk mengatasinya yang dimulai dari para pemimpin negara di dunia yang bersih, bermoral dan tidak munafik, termasuk Indonesia harus siap memeranginya. Semoga