
Desa Selok Awar-Awar mendadak terkenal. Desa berpenduduk sekitar 8.500 jiwa (2010) yang berada di daerah pesisir selatan Kecamatan Pasirian, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, itu kini ramai diberitakan.
Adalah Salim alias Salim Kancil yang menjadikan desa yang kebanyakan penduduknya berprofesi sebagai petani itu menyedot perhatian media massa. Bermula dari Salim Kancil yang dibunuh dengan cara barbar.
Dia diculik dengan tangan diikat di hadapan anak belianya yang berusia 13 tahun oleh segerombolan preman tambang pasir, kemudian digelandang ke balai desa setempat sejauh dua kilometer dari rumahnya, lalu dianiaya beramai-ramai oleh puluhan penculik itu menggunakan senjata tajam maupun benda tumpul.
Hal yang menyedihkan, pengeroyokan itu dilakukan di halaman balai desa --simbol dari perpanjangan tangan pemerintahan daerah di tingkat paling bawah. Salim kemudian diseret ke daerah di dekat permakaman tak jauh dari balai desa, dipukuli beramai-ramai sekali lagi hingga Salim mengembuskan napas terakhirnya.
Salim merupakan pendiri Forum Komunikasi Masyarakat Peduli Desa Selok Awar-Awar. Forum ini dibentuk untuk melawan perusak lingkungan oleh para penambang pasir ilegal di pesisir Pantai Watu Pecak dan sekitarnya. Para penambang tersebut mengeruk pasir yang mengandung bijih besi itu di wilayah hutan lindung milik Perhutani. Mereka mengaku punya izin, tetapi bukan izin menambang pasir, melainkan izin pariwisata.
Namun, aksi pencurian pasir itu nyaris tak terbendung. Perlawanan warga dengan mudahnya mereka lumpuhkan.
Memang, penambangan pasir di daerah pesisir selatan sangat menggiurkan. Disebut-sebut, nilai transaksi bisnis pasir ini mencapai triliunan dalam sebulan. Pajak dari lalu-lalangnya truk pengangkut pasir saja Rp 2,1 miliar per bulan. Apakah uang pajak itu mengalir sepenuhnya ke kas daerah? Tentu kita berharap tidak ada uang yang merembes ke kantong pribadi-pribadi oknum tertentu.
Di luar persoalan bisnis haram ini, yang lebih mengkhawatirkan adalah kerusakan lingkungan. Bisa dilihat betapa bopeng-bopengnya kawasan wisata di pesisir selatan saat ini dibanding setahun lalu. Aktivitas penambangan pasir itu juga menyebabkan sarana jalan di wilayah tersebut rusak.
Dari sisi psikologis, aksi premanisme penambang pasir ilegal ini membuat warga ketakutan. Moral mereka dalam melawan penambang pasir menjadi jatuh. Dan memang itu yang menjadi target aksi teror penambang pasir.
Sebagai negara hukum, premanisme dan barbarianisme ini harus disetop. Tak hanya para pelaku penganiayaan Salim yang ditangkap, tetapi juga otak di balik bisnis ilegal yang berujung maut ini mesti dijatuhi sanksi berat. Perusakan lingkungan harus dihentikan.
Di era milenia saat ini, gerakan massa mendukung aksi Salim dan kawan-kawan melawan penambang pasir ilegal harus didukung penuh. Sokongan moral dari seluruh warga bangsa ini akan menggedor kesadaran publik bahwa ada persoalan serius dalam kasus pembunuhan Salim. Semoga tak ada kasus-kasus Salim lain di masa mendatang. Cukup Salim Kancil yang menjadi martir.
http://republika.co.id/app/salim-kancil/index