Republik Indonesia sudah berusia 70 tahun. Seiring dengan perjalanan mengisi kemerdekaan itu, sudahkah keadilan pendidikan dirasakan bagi seluruh rakyat Indonesia? Pertanyaan di atas tak terlalu sulit. Jawabannya: belum. Belum seluruh rakyat Indonesia merasakan keadilan akan pendidikan. Pemerintah bukannya tidak bekerja. Beberapa upaya digiatkan beberapa tahun belakangan ini demi membuka akses pendidikan, antara lain program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) di jenjang pendidikan dasar, beragam model beasiswa, dan Kartu Indonesia Pintar.
Juga bukan berarti selama 70 tahun tak ada pencapaian di bidang pendidikan. Setidaknya, secara statistik, kerja pemerintah tecermin antara lain dalam pencapaian Angka Partisipasi Murni (APM) 2012/2013. Menurut Pusat Data dan Statistik Pendidikan 2013, pada SD/MI sederajat, angka partisipasi murni mencapai 95,97 persen. Pada jenjang SMP/MTs sederajat, Angka Partisipasi Murni mencapai 78,43 persen. Pencapai pendidikan dasar didorong dengan wajib belajar 9 tahun. Angka partisipasi murni ialah jumlah anak pada kelompok usia tertentu yang sedang menempuh pendidikan sesuai jenjang usianya dibandingkan dengan jumlah seluruh anak pada kelompok usia itu. Intinya, itu menjadi ukuran proporsi anak yang menempuh pendidikan tepat waktu.
Namun, statistik punya sudut pandang sesuai kebutuhan. Nyatanya, belum seluruh rakyat Indonesia dapat mengakses pendidikan. Siapa saja mereka? Data Badan Pusat Statistik dan Pusat Data Statistik Pendidikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menyebutkan ada 4,9 juta anak yang tidak tercakup pendidikan. Mereka tercerabut dari pendidikan karena kemiskinan, tinggal di daerah yang secara geografis sulit, atau terpaksa bekerja. Jika melihat data Angka Partisipasi Murni berdasarkan provinsi, akan terlihat betapa anak-anak yang tinggal di provinsi di Indonesia timur tertinggal dari teman-temannya di belahan barat Indonesia. Contohnya, Angka Partisipasi Murni SMP/MTs sederajat di Papua Barat 63,31 persen, Gorontalo 70, 61 persen, Papua 62, 91 persen, dan Nusa Tenggara Timur 66,98 persen. Bandingkan dengan Angka Partisipasi Murni pada jenjang pendidikan serupa yang tertinggi di DKI Jakarta, 95,55 persen, Yogyakarta 92,01 persen, dan Sumatera Barat 87, 55 persen.
Di Nusa Tenggara Timur angka putus sekolah dasar dan menengah pertama mencapai 6.800 orang per tahun. Penyebab putus sekolah lagi-lagi soal kemiskinan, infrastruktur buruk, dan kurangnya pemahaman akan arti penting pendidikan. Di pelosok Papua, keadaannya tak lebih baik. Ambil contoh di Lanny Jaya, Papua, seorang guru dari program Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal, Rani Situmeang (24), menghadapi kenyataan pahit. Muridnya di SMP 2 Tiom, sebagian masih belum bisa membaca dan menulis. Di Kabupaten Lanny Jaya, angka melek huruf hanya 36,93 persen pada tahun 2013.