Agama adalah jembatan penghubung di antara perbedaan-perbedaan. Ketika agama menjadi api penyulut konflik, maka agama justru akan menjadi hantu gentayangan yang menebar ketakutan. Maka, heran saja ketika suasana Idul Fitri 1436 Hijriah yang sejatinya menyemai kebersamaan, silaturahim, dan saling memaafkan, justru dirusak oleh aksi kekerasan sebagaimana terjadi di Karubaga, Tolikara, Papua, 17 Juli 2015. Sekelompok orang memprovokasi dan melakukan aksi pembakaran sejumlah kios dan sebuah mushala ketika sedang berlangsung shalat Id. Kala itu, memang ada dua kegiatan hampir bersamaan dari dua agama: kaum Muslim menggelar shalat Id dan Gereja Injili di Indonesia (GIDI) tengah mengadakan pertemuan juga. Berdasarkan laporan media yang sama-sama kita saksikan bahwa terjadi miskomunikasi sehingga kekerasan meletup. Akan tetapi, provokasi dan kekerasan seperti itu tidak dapat dibenarkan.
Tindak tegas
Dan, aksi pembakaran tersebut, apa pun motifnya, adalah tindak pidana. Karena itu, pemerintah harus benar-benar tegas menindak para pelakunya. Wakil Presiden Jusuf Kalla memerintahkan aparat kepolisian mengambil tindakan tegas terhadap pelaku kekerasan tersebut. Presiden Joko Widodo juga sudah memerintahkan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Sutiyoso mewaspadai potensi konflik atau kekerasan di daerah lainnya. Apalagi, sesungguhnya peristiwa pembakaran tersebut berimplikasi lebih berat lagi karena merusak kohesi sosial masyarakat yang terjalin baik, serta menimbulkan kecurigaan dan ketakutan. Kita percayakan saja kepada pemerintah untuk menuntaskan kasus kekerasan tersebut. Dan, seperti konflik agama yang marak terjadi di negeri ini sejak lebih dari satu dekade lalu, ternyata tidak berakar pada agama itu sendiri. Konflik bukan karena persoalan agama, melainkan oleh faktor-faktor lain yang justru tak bertalian dengan agama. Agama justru menjadi sentimen yang selalu ditumpangi. Padahal, penggunaan simbol-simbol keagamaan dalam konflik sungguh sangat destruktif karena bersifat ideologis. Sebab, simbol-simbol agama dapat dijadikan dasar legitimasi untuk melakukan tindakan apa saja.
Komodifikasi
Becermin dari konflik agama di negeri ini, seharusnya makin disadari bahwa konflik agama dan juga konflik etnis menjadi sebuah komodifikasi: berubah dari sebuah nilai-nilai luhur dan otentik justru menjadi "komoditas seksi" oleh kelompok-kelompok tertentu atau provokator. Oleh karena itu, dalam konflik, anatomi yang perlu diperhatikan adalah interaksi sosial, sumber konflik seperti perbedaan identitas/kepentingan atau perlakuan diskriminatif, pihak-pihak yang berseteru, proses konflik (potensi dan eskalasi), ekspresi konflik (verbal atau tindakan), dan jalan keluar. Dalam konteks itulah konflik atau kekerasan tidak pernah terjadi secara tunggal. Konflik tak lepas dari kondisi yang hidup di masyarakat. Apabila kondisi masyarakat penuh tekanan dan beban berat, bisa jadi menimbulkan kekecewaan dan rasa frustrasi. Kondisi ekonomi yang sulit dan kondisi politik yang terus-menerus gaduh sekarang ini menjadi lahan subur tumbuhnya rasa frustrasi. Jika sudah demikian, agama begitu mudah dikomodifikasi, sekecil apa pun faktor pemicunya (trigger factor). Inilah yang kemudian menjadi konteks pendukung (facilitating context) konflik.
Dalam bahasa Charles Tilly (From Mobilization to Revolution, 1977), kekerasan dan konflik tidak tumbuh dari tindakan yang tidak intrinsik kekerasan. Dalam kasus-kasus kekerasan banyak ditemukan keterlibatan aparat negara yang bertindak represif. Rasanya terlalu indah negeri ini dikoyak oleh konflik agama. Negeri ini penuh warna: etnis, agama, tradisi, kultur, dan sebagainya. Menurut Nur Syam (Tantangan Multikulturalisme Indonesia: dari Radikalisme Menuju Kebangsaan, 2009), dengan konsep syu'uban wa qabailan (bersuku-suku dan berbangsa-bangsa), Islam telah mengajarkan dan sangat menghargai perbedaan. Tentunya semua agama mesti mengedepankan hal sama. Toleransi atau tasamuh sudah hidup sejak berabad-abad silam di bumi Indonesia. Bukankah kita diciptakan berbangsa-bangsa untuk saling kenal-mengenal, bukan saling cakar-mencakar.