Menghadirkan pemerintahan daerah yang demokratis, dan melayani masyarakat dalam mendorong terbentuknya daya saing, kreatifitas dan inovasi dengan mengandalkan kekhasan daerah demi terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Merupakan upaya pemerintah daerah untuk merapatkan barisan, dan bahu-membahu menampilkan kinerja semaksimal mungkin untuk memberikan pelayanan publik guna mewujudkan masyarakat yang berdaya saing tinggi dan mandiri dalam mencapai kesejahteraan yang hakiki dalam kerangka NKRI. Perkembangan wilayah pada kurun waktu tertentu akan tumbuh menjadi suatu megapolitan area. Gabungan kota kota dalam suatu megapolitan area memiliki ciri kehidupan yang sangat efisien dan efektif. Fenomena perkembangan di negara yang sudah maju denag di Indonesia tentu memiliki perbedaan karena tingkat kemajuan ekonomi, kondisi sosial politik dan budaya yang tidak sama dengan negara negara tersebut. Di Indonesia, pola perkembangan wilayah sebelum tahun 1998 mengalami perubahan sejak bergulirnya era reformasi setelah tahun 1998. Fenomena tersebut merupakan konsekuensi dari perubahan kebijakan sentralisasi menjadi desentralisasi (otonomi daerah). Otonomi daerah bukanlah tujuan, melainkan sebuah mekanisme demokratis untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh unsur masyarakat daerah tanpa terkecuali. Implementasi otonomi daerah adalah pemerintah daerah, kewenangan itu diperoleh karena pemerintah daerah dipilih melalui mekanisme Pemilu yang jujur, adil dan demokratis. Argumen yang mendasari pemikiran ini adalah substansi demokrasi dan demokratisasi itu sendiri yang meniscayakan terwujudnya cita-cita kedaulatan rakyat yang mayoritas berada di daerah-daerah.
Kebijakan Otonomi Daerah
Kebijakan otonomi daerah sesungguhnya ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam naungan wilayah NKRI yang semakin kokoh melalui strategi pelayanan kepada masyarakat yang semakin efektif dan efisien dan adanya akselerasi pertumbuhan dan perkembangan potensi daerah yang semakin cepat. Dalam bahasa yang sederhana yaitu untuk mewujudkan pembangunan yang lebih adil dan lebih merata. Masing masing daerah otonom didorong dan dipacu untuk tumbuh dan berkembang secara mandiri sesuai kewenangan yang diberikan untuk mengelola potensi daerahnya masing masing. Realita lain yang terjadi, banyak daerah-daerah yang memiliki sumber daya alam berlimpah, namun tidak memiliki penanganan yang baik dan profesional, maka untuk merealisasikan terwujudnya otonomi daerah hendaklah terlebih dahulu mengamati keadaan sosio kultur dan geografis suatu daerah, pengelolaan alam yang baik dan profesional, untuk mewujudkan itu perlu tenaga yang ahli pada bidangnya untuk menghasilkan daeah-daerah yang siap menyongsong otonomi seluas-luasnya demi terwujudnya asas desentralisasi. Dengan demikian diharapkan bangsa Indonesia di masa datang akan lebih mampu bersaing dengan bangsa bangsa lain di dunia dalam persaingan global yang semakin ketat.
Tantangan Otonomi Daerah
Kebijakan otoda kedepan menghadapi berbagai tantangan dan tuntutan ditengah-tengah kemajemukan ditingkat lokal, regional dan nasional. Otoda dituntut untuk menumbuhkan kemandirian, tatakelola pemerintahan daerah yang aspiratif, transparan dan akuntabel. Otoda dituntut pula untuk mengharmoniskan pemanfaatan sumber daya lokal, kearifan daerah yang merefleksikan perlunya meningkatkan kapasitas pengetahuan dan keterampilan masyarakat, terutama bagi generasi muda yang pada 10 sampai 20 tahun mendatang menghadapi bonus demografi. Otoda juga ditantang untuk dapat mengelola daerah-daerah otonom, baik provinsi, kabupaten dan kota. Saat ini, terdapat 548 daerah otonom yang terdiri dari 34 provinsi, 415 kabupatan dan 93 kota. Jumlah yang masig ini disatu sisi memerlukan pengaturan yang generik untuk menjamin sinergitas dan pembangunan sarana nasional, disisi lain karakteristik setiap daerah tetap diakomodir termasuk daerah yang bersififat khusus maupun istimewa. Sinergitas perencanaan dan pembangunan ditingkat lokal dan nasional akan menjamin upaya kita mewujudkan pembangunan jangka menengah dan jangka panjang, termasuk dalam upaya kita menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia. Menegaskan kembali tentang visi dan misi Nawa Cita Presiden RI yaitu membuat pemerintah tidak absen dengan membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif dan demokratis dan terpercaya. Berbagai faktor yang perlu mendapatkan perhatian pemerintah daerah dalam upaya memperkuat kebijakan otonomi daerah yakni pelaksanaan otoda memerlukan eksistensi kelembagaan daerah yang di isi SDM aparatur profesional, berbagai lembaga daerah baik berupa dinas, kantor dan badan harus menyelenggarakan fungsi-fungsi yang benar-benar dibutuhkan oleh masyarakat. Kualitas pelaksanaan otoda memerlukan pengembangan kapasitas daerah, baik dalam hal regulasi, sistem dan sumber-sumber pendanaan di daerah. Daerah harus dapat mengidentifikasi dengan tepat kapasitas yang dimilikinya untuk dapat menghasilkan berbagai kemajuan-kemajuan yang diinginkan. Keberagaman masyarakat merupakan suatu fakta yang menjadi acuan bangsa. Untuk itu perhatian kepada penataan daerah, difokuskan pada daerah-daerah terpencil, pulau-pulau terluar, daerah rawan bencana dan daerah rawan konflik agar dapat menciptakan pusat-pusat pertumbuhan baru serta ketersediaan pelayanan dengan tetap memperhatikan skala ekonomi dalam pelaksanaannya.
Harapan Otonomi Daerah
Sebagai bagian integral dari agenda demokrasi, keadilan dan kesejahteraan rakyat di tingkat nasional. Perspektif baru otonomi daerah tersebut paling tidak harus mencerminkan visi yakni pertama, otonomi daerah harus dipandang sebagai instrumen desentralisasi-demokratisasi sebagai ikhtiar untuk mempertahankan keutuhan dan keberagaman bangsa kita dalam kerangka bhinneka tunggal ika. Kedua, otonomi daerah harus didefinisikan sebagai otonomi bagi rakyat daerah, bukan otonomi bagi pemerintah daerah dalam arti wilayah/teritori tertentu di tingkat lokal. Ketiga, otonom daerah merupakan hak rakyat daerah yang sudah wajib mencantumkan agenda demokrasi di dalamnya. Dengan begitu, otonomi daerah tidak bisa ditafsirkan sekedar sebatas ‘penyerahan urusan’ atau ‘pelimpahan wewenang’ dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Penyerahan dan pelimpahan kewenangan hanyalah instrumen administratif bagi implementasi hak daerah dalam mengurus rumah tangganya secara lebih luas, mandiri dan bertanggung jawab. Keempat, pemerintah daerah tidak bisa lagi dilihat sebagai subordinasi pemerintah pusat. Hubungan pusat daerah harus dipandang bersifat komplementer bagi keduanya, dalam arti saling membutuhkan secara timbal-balik. Kelima, mengingat begitu beragamnya potensi dan kemampuan berbagai daerah yang ada, otonomi daerah yang bersifat fleksibel atau kondisional bisa diterapkan di tingkat kabupaten, kota, provinsi atau gabunguan dari beberapa kabupaten/kota di dalam provinsi yang sama. Ini berarti perlu dibuka peluang bagi daerah, melalui wakil-wakilnya untuk memilih dan menentukan, apakah mengambil hak berotonomi pada tingkat kabupaten/kota, provinsi atau gabungan beberapa kabupaten/kota dalam provinsi yang sama. Dengan begitu, perdebatan tentang titik berat otonomi daerah menjadi tidak relevan. Mudah-mudahan dengan adanya Otoda mendorong munculnya para pemimpin daerah yang kapabel dan akseptabel melalui pemilihan kepala daerah secara langsung, termasuk juga untuk mendapatkan pemimpin daerah yang peduli serta dapat merespon cepat terhadap berbagai permasalahan masyarakatnya.