Aku menemukan satu kampung unik ini secara kebetulan. Temanku yang bekerja di salah satu kementerian suatu hari mengajakku melakukan survey advance. Demikian istilah yang sering mereka gunakan untuk mempersiapkan suatu acara seremonial besar. Acara yang dipersiapkan adalah “Panen Raya Kedelai”.
Temanku ini bekerja di bagian biro protokol, sehingga tugasnyalah menyiapkan segala sesuatu untuk kelancaran acara bagi menteri. Aku dengar malah bukan hanya menteri yang akan hadir, tetapi juga Presiden.
Aku berdua dengan temanku sebut saja namanya Johan meluncur dengan kendaraan dinasnya ke arah Kabupaten Subang. Jam 9 pagi kami sudah berada di kantor Kabupaten Subang untuk melakukan koordinasi dengan pejabat setempat sekaligus membawa penunjuk jalan untuk menuju lokasi. Kami sempat rapat sebentar dengan Bupati dan segenap Muspida untuk persiapan acara ini.
Akhirnya dipersingkat saja ceritanya aku dan Johan serta staf Dinas Pertanian Subang sampai di lokasi. Perkampungan yang agak jauh dari jalan raya. Tadi kuingat, dari Subang mengarah ke Pamanukan lalu membelok ke arah Timur. Dari jalan raya kami melalui jalan perkebunan tebu hampir satu jam baru sampai ke lokasi. Tempat yang kami datangi memang menghampar tanaman kedelai. Tempat acara sudah dipilih oleh pejabat setempat, suatu petak sawah yang kedelainya siap dipanen.
Selesai meninjau lokasi kami melakukan rapat berlarut-larut di kantor kelurahan yang baru tuntas sekitar pukul 5 sore.
“Pak menginap di sini saja pak, dari pada harus kembali ke Subang,” kata Lurah. Dia lalu memperkenalkan kepada kami kepada seorang wanita dengan umur kitaran 26 tahun yang memperkenalkan diri bernama Siti. Dia adalah Sekretaris penggerak PKK desa setempat.
Mbak Siti kemudian ikut mobil kami untuk menunjukkan dimana kami akan menginap. Siti membawa kami ke kampung . Mobil berhenti di sebuah bangunan yang bagian depannya terdapat warung kopi. “ Pak mari turun, ini rumah saya,” katanya.
Aku dan Johan diajak masuk ke dalam rumahnya. Lumayan lega juga di dalam.
“Bapak nginap di sini saja, ini ada 3 kamar kosong, tapi ya keadaannya sederhana, maklum di desa,” kata Siti.
Kami lalu diajak meninjau kamar, seperti kami meninjau kamar hotel. Untuk ukuran desa kamar yang dimiliki Siti cukup lumayan dan bersih. Aku kagum, karena tempat tidurnya semua adalah spring bed. Aku jadi bertanya-tanya siapa Siti, apa kerjanya dan mana suami dan anak-anaknya.
Kami setuju dan Siti mengarahkan agar kami bertiga mengambil kamar sendiri-sendiri. “Santai saja pak, di sini tidak perlu buru-buru kayak di Jakarta,” kata Siti.
Rumah Siti cukup besar dan sejak aku datang sampai selesai mandi dan ngopi aku belum menemukan suaminya atau anak-anaknya. “ Kamu tinggal sama siapa mbak, “ tanyaku penuh penasaran.
“Sendiri saja pak, paling ya ditemeni sama yang kerja di warung itu. Saya sudah tidak punya suami lagi pak, sudah jomblo,” katanya genit.
Aku menanyakan kenapa rumahnya punya banyak kamar, seperti hotel.
“ O itu biasalah pak, sering ada yang nginap, kadang-kadang dari Jakarta juga, mereka kan mau rileks di sini,” kata Siti sambil senyum genit.
Ketika Siti ke belakang Pak Asep, staf Dinas Pertanian Subang menjelaskan kepada kami bahwa di daerah ini kehidupan sangat bebas. Siapa saja yang kita inginkan, baik dia sedang punya suami, janda atau masih perawan bisa diajak tidur. Aku jadi berpandang-pandangan dengan Johan. Kami berdua memang penjahat kelamin.
Sekembalinya Siti bergabung dengan kami pak Asep tanpa basa basi menanyakan ke Siti mengenai teman tidur yang bisa disediakan malam ini. “ Bapak-bapak mau yang model apa, “ tanya Siti.
Agak repot juga menjawab pertanyaannya.
“ Ya udah nanti pada saya panggilin, bapak-bapak tenang saja, ada yang abg ada yang stw,” kata Siti lalu berlalu. Dia berbicara dengan pembantu lakinya yang tidak lama kemudian pembantu itu pergi membawa sepeda motor.
Sekitar 2 jam setelah kami makan malam, kami diajak melihat warung di depan. “ Itu pak anak-anaknya, bapak-bapak tinggal pilih saja yang mana itu ada 8 orang yang bisa siap malam ini nginap.
Aku dan Johan menyapu pandangan ke seluruh cewek yang duduk di warung. Cukup lumayan juga. Johan dan Asep sudah menentukan pilihan. Siti memanggil mereka yang terpilih. “ Bapak yang mana,” tanya Siti kepadaku.
“Wah agak susah juga nih menyebutnya, “ kataku.
“ Kenapa pak gak ada yang cocok ya, nanti biar dipanggil lagi yang lain, “ kata Siti.
“Nggak bukan itu , ndak perlu manggil lagi, tapi saya dari tadi naksir sama yang punya rumah,” kataku terus terang.
“ Ah bisa aja si Bapak, saya mah udah tua, udah kendor pak, takutnya nanti ngecewain,” katanya tersipu malu dengan pandangan genit.
“ Ah tapi pandangan saya, yang punya rumah yang terbaik dari semua itu,” kataku mulai melambungkan pujian.
Siti lalu memberi kode ke pada pembantunya laki-laki dan kepada perempuan yang tidak terpilih satu persatu meninggalkan warung.
Asep dan Johan langsung menggiring pasangannya masuk ke kamar, sementara aku masih ngobrol dengan Siti. Aku banyak mengorek keterangan mengenai kehidupan di kampung ini.
Menurut Siti masyarakat di kampung ini bebas terhadap masalah sex. Dia tidak tahu bagaimana awalnya sampai adat kampung ini demikian. “ Kalau bapak tinggal di sini baru bisa merasakan bahwa di sini masyarakatnya ramah dan masalah sex bukan hal yang tabu,” katanya.
“Tapi bagaimana istri orang kok bisa diajak nginep,” tanyaku.
“ Disini uang kan susah pak, Kalau istrinya dibooking, berarti kan dia dapat duit, seratus duaratus sudah besar di kampung, pak” katanya.
“Pak kita terusin ngobrolnya dikamar saya saja pak,” kata Siti sambil menggandeng tanganku.
Di dalam kamar Siti melepas semua pakaiannya, BH nya tinggal celana dalam dan dia memakai sarung setinggi dada. Dia tidak malu-malu bertelanjang di depan saya. Susunya cukup besar dan pahanya juga tebal sekali.
Aku tidak perlu menceritakan secara rinci bagaimana pertempuranku dengan Siti. Dia memulai dengan memijat seluruh tubuhku lalu mengoral dan akhirnya kami mengayuh birahi. Permainannya cukup trampil dan memeknya bisa dia mainkan sehingga penisku seperti di pijat-pijat. Kami bermain dua ronde lalu tertidur lelap sampai pagi.
Pagi-pagi Siti sudah menyiapkan nasi goreng dengan telur mata sapi serta dua telur ayam kampung setengah matang untuk kami masing-masing.
Aku merasakan ketenangan dan kedamaian di desa yang teduh. Hari ini aku dan Johan melanjutkan rapat koordinasi untuk ancara Panen Raya Kedelai. Soal apa yang kukerjakan kurang menarik untuk diceritakan, tetapi, ketika semua rampung sekitar pukul dua siang kami berdua kembali ke rumah Siti. Pak Asep kembali ke Subang.
Siti menyambut kami, kami mengobrol sebentar. Saat Johan ke kamar mandi, Siti mendekatiku, “ Pak ada janda baru cerai masih muda, anaknya cantik, saya lagi suruh dia di bawa kemari,” kata Siti.
Baca Selengkapnya KLIK DISINI BOSS
Sumber : Cerita Lendir 168