Klenteng yang pasti bukan tempat ibadah Konghucu, dulu waktu kecil saya ikut kebaktian Konghucu di Litang (tidak ada dewa dewi) cuma ada satu patung Konghucu dan tempat duduk seperti di gereja. Boen Bio di Surabaya dulunya adalah tempat sembahyang Dewa Kebudayaan baru diubah untuk pemujaan Konghucu 1906. Pemujaan Konghucu seperti itu memang baru ada di Indonesia sejak 1900an. Di Cirebon sebuah rumah abu yang diubahsuaikan menjadi tempat pemujaan Konghucu, itupun setelah 1900an, rupang Konghucu baru didatangkan dari Singapura setelah 1930an.
Sebagian besar klenteng yang ada di Indonesia adalah klenteng bercorak Buddhis dan Tao, sejak masa RA Kartini (1800an) pun sudah demikian, makanya saat RA Kartini diobati di Klenteng Welahan dan sembuh ia menyebut dirinya "Anak Buddha" dan mulai bervegetarian, dalam sebuah suratnya kepada Mrs. Abendanon. Jadi dapat disimpulkan bahwa sejak 1800an pun orang yang bersembahyang ke klenteng adalah umat Buddha, makanya seorang Kartini pun menyebut demikian. Klenteng-klenteng tertua di Indonesia awalnya bernama Kwan Im Teng, tempat untuk memuja Avalokitesvara Bodhisatva, rupang yang dibawa Bhiksu Fa Xian waktu berkunjung ke Jawa (300 M) juga patung Dewi Kwan Im, dan tertulis dalam catatan perjalanannya (Record of Buddhistic Kingdoms) bahwa mantra Avalokitesvara lah yang diucapkannya pada saat beberapa kali kapal yang mereka tumpangi terjebak dalam badai.
Agama Konghucu sebaiknya mendirikan rumah ibadah sendiri, dengan nama Litang atau lainnya. Klenteng yang bercirikan Tao murni juga sangat sedikit di Indonesia, silakan baca buku mengenai dewa-dewa Tao maka sulit menemukannya di Indonesia.