seperti tulisan saya diatas:
Adanya klasifikasi sumber sejarah primer dan sekunder seperti disebut diatas membedakan nilainya sebagai sumber sejarah. Sumber sejarah primer yang memberikan informasi langsung dari pelaku atau saksi mata jelas lebih tinggi nilainya sebagai sumber bila dibandingkan dengan sumber sekunder yang memberikan informasi bukan dari pelaku atau saksi mata.
Meskipun demikian, sumber sekunder dapat dipergunakan sebagai sumber bila sumber primer tidak ada, dengan catatan, untuk memperoleh fakta (bukan data) harus dilakukan prosedur koroborasi, yaitu pendukungan suatu data dari suatu sumber dengan data lain yang berasal dari sumber lain, yang tidak ada hubungan kepentingan di antara sumber-sumber itu atau kedudukan sumber itu bebas (merdeka).
Dukungan dari berbagai sumber yang merdeka bisa menghasilkan fakta yang mendekati kepastian (certainity fact), sedangkan bila dukungan kurang mungkin fakta yang dihasilkan hanya sebatas dugaan (alleged fact). Bila koroborasi tidak bisa dilakukan karena ketiadaan data atau sumber lain, nilai sumber itu, baik sumber primer atau sumber sekunder dianggap sebagai pembuktian sejarah yang sangat lemah (Garraghan, 1946 : 297-304).
Sebuah sumber dapat dipercaya bila lolos dalam pengujian sebagai berikut :
1. apakah sumber tersebut mampu (kompeten) untuk menyatakan kebenaran.
2. apakah sumber mau menyatakan kebenaran.
Kemampuan untuk menyatakan kebenaran, antara lain, ditentukan oleh faktor-faktor sebagai berikut :
1. kedekatan dengan peristiwa, artinya sumber informasi hadir dalam peristiwa tersebut.
2. usia dan kesehatan mental/fisik.
3. keahlian.
4. tingkatan perhatian.
1. Kedekatan dengan peristiwa, artinya sumber informasi hadir dalam peristiwa tersebut.
2. usia dan kesehatan mental/fisik. Seorang tua yang sudah pikun tidak mungkin mampu menceritakan masa kecilnya, atau seorang anak kecil berusia 3 tahun tidak akan mampu menceritakan kembali secara akurat apa yang diperdebatkan tersebut.
3. keahlian. sebagai contoh seorang petugas keberhasilan lulusan sekolah dasar yang hadir dalam ruangan tempat terjadinya perdebatan seru antara dua orang ahli politik tidak akan mampu menceritakan kembali secara akurat apa yang diperdebatkan tersebut.
4. tingkatan perhatian. seorang pedagang Belanda yang datang ke Batavia pada awal abad ke 18 hanya bisa menceritakan bagaimana situasi perdagangan di Batavia waktu itu, tetapi tidak akan bisa menceritakan bagaimana budaya pribumi waktu itu karena tidak menjadi pusat perhatiannya (focus of interest).
Ilmu sejarah membedakan suatu peristiwa sejarah yang terkait dengan peristiwa lainnya walaupun bersamaan waktu dalam suatu periode. Meskipun peristiwa-peristiwa tersebut memiliki hubungan sebab akibat, namun peristiwa-peristiwa tersebut bisa saja berdiri sendiri dengan sudut pandang yang berbeda walaupun obyek pelaku maupun subyeknya sama. Dalam contoh di atas, jelas terdapat 2 peristiwa yang bisa berdiri sendiri, yaitu ; 1) Peristiwa tumbangnya pohon yang disebabkan oleh angin ribut. 2) Peristiwa tewasnya sang Presiden. Bila yang dibahas adalah peristiwa pertama, maka yang menjadi secunder scope adalah kematian sang presiden sebagai akibat dari tumbangnya pohon. Sebaliknya yang dibahas dalam sejarah adalah peristiwa yang kedua, maka tumbangnya pohon merupakan secunder scope yang merupakan penyebabnya.
Jadi menurut sejarah sebagai ilmu pengetahuan, telah ditetapkan bahwa tidak semua peristiwa pada masa lampau bisa dikategorikan sebagai Sejarah. Memang, sangat kontradiktif dengan pengertian sejarah secara harafiah seperti dijelskan sebelumnya.
Dalam aspek Historiografi, penulisan sejarah manusia dibagi menurut pembabakan (periodesasi), misalnya; penulisan tentang sejarah bangsa Indonesia yang dibagi atas; jaman pra-Sejarah, Jaman Kerajaan Hindu, Jaman Kerajaan Islam, Jaman penjajahan bangsa barat, Jaman Jepang, Jaman Kemerdekan, Jaman Orde Lama, Jaman Orde Baru dan Jaman Reformasi.
Periodesasi sejarah seperti ini didasarkan pada sudut pandang masing-masing sejarawan terhadap lingkup dan obyek yang menjadi sasaran bahasan. Sasaran ilmu sejarah menyangkut data tertulis dan fakta lapangan. Obyek dan fakta yang terjadi pada masa lampau sebelum ditemukannya data tertulis (tulisan) di suatu tempat disebut dengan istilah jaman pra-sejarah, sedangkan masa sesudah ditemukannya data tertulis dikenal dengan jaman sejarah.
Sejarah juga bisa diibaratkan dengan siaran berita, dimana data dan fakta lapangan dipaketkan sedemikian rupa sehingga sifatnya informatif. Sejarah dan siaran berita sama-sama menjawab pertanyaan; Apa ? Siapa ? Kapan ? Bagaimana ? dan sebagainya. Penyampaian esensi informasinya juga masih menggunakan analisa dan tafsiran subyek terhadap obyek karena faktanya tidak bisa berbicara sendiri. Hal ini tidak berlaku terhadap data dokumen asli sebelum ditafsirkan oleh subyek (penyampai) ke dalam bentuk paket informasi yang akan disampaikan.
Ditinjau dari aspek ilmu, sejarah juga identik dengan Filsafat tapi sejarah bukan filsafat walaupun keduanya dimulai dengan bertanya. Seperti halnya siaran berita, sejarah dan filsafat juga sama-sama berusaha mencari jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas. Sama-sama menggunakan Hukum Kausalitas. Perbedaan esensial antara sejarah dan filsafat terletak pada metode dan pendekatan yang digunakan.
Semakin kritisnya masyarakat modern saat ini terhadap hasil penulisan (sejarah) menimbulkan pertanyaan, misalnya; Apakah sejarah tidak pernah berdusta ? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita harus memisahkan terlebih dahulu antara esensi peristiwa (kejadian masa lalu) yang berdiri sendiri dan bersifat obyektif dengan hasil penulisan (rekontruksi sejarah) dari sejarawan yang bersifat subyektif. Sumber sejarah yang dihimpun, baik berbentuk dokumen (tulisan), gambar, hikayat, ceritera dan lain sebagainya bila direkonstruksikan menjadi sebuah sejarah tertulis tidak terlepas dari masalah subyektifitas. Di sini dikenal adanya subyektifitas dan obyektifitas dalam ilmu sejarah.
Sebagai ilustrasi, kita ambil contoh misalnya tokoh Sultan Babullah di Ternate pada pertengahan abad ke-16 yang oleh sejarawan Belanda (Penulisan Eropa Centris) tokoh ini disebut sebagai seorang Pemberontak terhadap usaha monopoli perdagangan rempah-rempah di Maluku waktu itu. Sedangkan dalam sejarah Indonesia (Penulisan Indonesia Centris) ia disebut sebagai seorang Pejuang atau Pahlawan yang berani dan sanggup mengusir penjajah yang mengeruk kekayaan di tanah leluhurnya. Kedua hasil rekontruksi sejarah tersebut berbeda, tapi benar bagi masing-masing pihak. Padahal tokoh sebagai obyek pelaku sejarah adalah itu juga dan peristiwanya-pun itu-itu juga, namun keterangan dan makna peristiwa yang dijelaskan sudah berbeda.
Contoh lain misalnya sejarah di Belanda menyatakan Bangsa Jepang adalah penjahat dalam perang, dan sejarah di Jepang menyatakan Belanda-lah yang disebut penjahat karena menjajah bangsa lain selama ratusan tahun. Sedangkan sejarah Indonesia mempermaklumkan bahwa keduanya sama saja. Mereka adalah sama-sama imperialis dan sama-sama penjajah. Dari sini kita melihat adanya subyektifitas dan sejarah.
Bertolak pada pemikiran tersebut, maka pertanyaan segera timbul; Mengapa terdapat dua sejarah atau lebih yang berbeda terhadap suatu kejadian yang sama ? Kalau ditinjau dari segi filsafat, perbedaan itu sengan sendirinya pasti ada. Rekonstruksi sejarah atau hasil penulisan sejarah adalah bikinan manusia. Pikiran manusia-lah yang membuat sejarah. Karena pikiran manusia tidak sama, maka tidak sama pula hasilnya. Jadi penulisan sejarah berbeda menurut ruang dan waktu.
Sejarah direkonstruksi oleh manusia berdasarkan fakta lapangan. Manusia di sini adalah subyek, sedangkan fakta kejadian adalah obyek. Bagaimanapun obyektifitas diusahakan, obyektifitas itu tenggelam dalam ke-subjektif-an, sebab untuk menjadikan fakta sebagai sejarah, obyek itu harus ditafsir oleh subyek. Tanpa penafsiran subyek, maka fakta tersebut akan menjadi psudo sejarah. Obyek dan fakta ingin memberikan gambaran tentang dirinya tidak hanya berbicara sendiri melainkan subyeklah yang lebih banyak mendapat kesempatan untuk berbicara. Sebagai ilmu, sejarah haruslah obyektif, tapi subyektifitas-lah yang banyak berbicara.
Masyarakat dalam menghadapi keragaman penafsiran tentang suatu kejadian di masa lalu (fakta sejarah) apalagi diantaranya saling kontradiktif, akhirnya dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab, misalnya; Dalam keragaman tersebut manakah yang paling benar ? Pertanyaan tersebut dijawab oleh ahli sejarah Enno van Gelder bahwa sejarah yang benar adalah sejarah terkini (modern). Selanjutnya dikatakan bahwa sejarah yang ditulis oleh subyek pada masa berlakunya peristiwa tidak dipisahkan dari unsur subyektifitas yang sifatnya empiris. Totalitas kebenaran sejarah harus dilihat secara menyeluruh.
Jika kedudukan subyek di berada di luar ataupun berada di dalam kurun waktu kejadian tersebut menganalisa secara jujur tentang data dan fakta tersebut berdasarkan metode pembuktian sejarah, maka hasilnya-pun berbeda pula. Jika sejarah ditulis tanpa kesadaran dan tanpa usaha se-obyektif mungkin, maka yang terjadi adalah; pendustaan terhadap sejarah.
Pada era teknologi informasi seperti sekarang ini, sumber tertulis serta dokumentasi elektronik maupun digital yang suatu saat nanti akan menjadi sumber sejarah sangatlah banyak kita jumpai. Data sumber dari media ini nanti menjadi sejarah dan dijelaskan oleh subyek yang akan merekonstruksinya dengan menggunakan bahasa tafsiran. Sementara kebenaran fakta kejadiannya yang berdiri sendiri kadang dibungkam oleh gaya dan pola rekonstruksi. Meskipun ada, namun minim sekali. Seandainya fakta kejadian itu bisa menjelaskan kembali dengan bahasa manusia, maka tidak akan pernah ada sejarah yang keliru.
Dalam kontek ini, realitas yang terjadi di dalam penulisan sejarah Indonesia saat ini sudah mulai dipersoalkan ke-obyektifan-nya, terutama sejarah Indonesia seputar suksesi kepemimpinan dari Presiden Sukarno kepada Presiden Suharto (persoalan Surat Perintah 11 Maret). Selain itu penulisan sejarah Indonesia yang dikomandoi oleh almarhum Prof. DR. Nugroho Noto Susanto seputar peristiwa tersebut beserta peristiwa terkait dengannya serta sejarah perjalanan bangsa Indonesia sesudah itu hingga sampai era tahun 1990-an yang ditulis dalam buku sejarah untuk SD, SMTP dan SMU dinilai dilakukan tanpa usaha seobyektif mungkin dan terlihat sangat subyektif karena dipengaruhi oleh kekuasaan. Hal ini dapat kita sebut sebagai; manipulasi sejarah.
Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa; peristiwa yang terjadi masa lalu menjadi sejarah pada hari ini, lalu kejadian pada hari ini dikemudian hari akan menjadi sejarah dan peristiwa pada masa yang akan datang akan menjadi sejarah bagi generasi sesudahnya. Dimensi sejarah mengajari kita bahwa; dengan mengerti dan mengetahui masa lampau, orang dapat memahami keadaan masa kini. Dengan memahami keadaan masa kini orang dapat merencanakan apa yang akan dilakukan nanti pada masa yang akan datang.
Oleh karena itu sebagai manusia Indonesia yang bijak, siapapun (penulis) yang hendak menyampaikan suatu fakta pada masa yang sudah dilewati haruslah berbuat adil dan obyektif karena suatu saat nanti, masyarakat akan memahami kebenarannya melalui pembuktian sejarah.