Jusuf Ronodipuro yang membacakan dan menyiarkan naskah Proklamasi 17 Agustus 1945 lewat radio hingga kemerdekaan Indonesia itu diketahui oleh banyak negara di dunia, meninggal dunia pada 27 Januari 2008 atau berselisih sekitar 10 jam dengan kematian Soeharto. Namun pemberitaan tentang sosok pejuang dan wartawan itu rupanya tak menarik para juniornya sesama wartawan dibanding berita kematian Soeharto, sang Jenderal Besar.
TAK banyak yang tahu termasuk kalangan wartawan siapa H.M. Jusuf Ronodipuro. Namanya sudah tenggelam atau mungkin ditenggelamkan sejak dia ikut meneken Petisi 50 bersama Ali Sadikin, A.H. Nasution, H.R. Dharsono dan sebagainya pada 5 Mei 1980. Petisi itu ditujukan antara lain untuk mengoreksi langkah-langkah Soeharto sebagai Presiden RI yang dianggap melenceng. Namun Jusuf harus dikenal dan dikenang bukan karena keterlibatannya dalam Petisi 50. Dialah pejuang yang membacakan naskah Proklamasi 1945 melalui stasiun radio milik Jepang, Hoso Kyoku di Jakarta yang disiarkan ke seluruh dunia hingga banyak negara tahu dan kemudian mengakui kemerdekaan Indonesia.
Bersama antara lain Bahtar Lubis, Jusuf pada zaman itu memang bekerja sebagai penyiar pada stasiun radio Jepang yang kemudian setelah kemerdekaan menjadi RRI. Sebelum pembacaan naskah Proklamasi itu, sejak 15 Agustus 1945 Jepang mengisolasi Jusuf dan pekerja lain, agar tidak mendengar tentang kekalahan Jepang dalam PD II: karyawan di dalam kantor dilarang keluar dan yang berada di luar tidak boleh masuk. Siaran luar negeri pun dihentikan.
Hingga dua hari kemudian, ketika Soekarno membacakan naskah Proklamasi pada Jumat legi 17 Agustus 1945 dari Jalan Pegangsaan Timur 56 Jakarta sekitar pukul 10 pagi, Jusuf dan karyawan yang lain masih tetap berada di kantor stasiun radio Jepang. Karena diisolasi Jusuf dan karyawan yang lain, tentu saja tak mendapat informasi apa pun soal kemerdekaan Indonesia itu. Baru pada sorenya (pada hari yang sama), ketika menyiapkan buka puasa, Jusuf dikejutkan dengan kedatangan penyusup di kantornya.
Penyusup itu lalu menyerahkan selembar yang ditulis oleh Adam Malik yang meminta Jusuf dan teman-temannya membacakan lampiran dari surat tersebut. Harap berita terlampir disiarkan. Lampiran itu adalah salinan naskah Proklamasi yang telah dibacakan oleh Soekarno pada pagi sebelumnya.
Jusuf bersama Bahtar dan kawan-kawan yang lain lalau memutuskan untuk menyiarkan naskah Proklamasi Kemerdekaan lewat radio Jepang itu, seperti diminta Adam Malik. Singkat kata akhirnya Jusuf membacakan naskah itu di depan corong selama 15 menit di ruang siaran luar negeri, yang sudah ditutup oleh Jepang sejak 15 Agustus menyusul hancurnya Nagasaki dan Hiroshima akibat dijatuhi bom atom oleh Amerika Serikat. Belakangan pihak Jepang mengetahui adanya siaran itu. Jusuf dan Bahtar diinterogasi dan disiksa. Pembacaan naskah Proklamasi itu lima tahun kemudian disiarkan ulang pada 17 Agustus 1950 dari gedung pola.
Jusuf lahir pada 30 September 1919 dan sempat menjabat posisi penting di era Soekarno dan Soeharto. Dia misalnya pernah menjabat sebagai Sekjen Departemen Penerangan, pernah bertugas di Inggris dan PBB. Terakhir dia tercatat sebagai Duta Besar RI untuk Argentina sebelum kemudian ikut bergabung dalam Petisi 50.
Pada medio Juni 2007 Jusuf terserang stroke dan sejak itu beberapa kali dia harus dirawat di rumah sakit. Terakhir Jusuf masuk rumah sakit pada Desember 2007 dan mengembuskan napas pada 27 Januari 2008 malam, berselisih 10 jam dengan kematian Jenderal Besar Soeharto. Namun kematian Jusuf rupanya tak menarik untuk diberitakan, seperti halnya kematian Soeharto yang hampir 24 jam disiarkan oleh hampir seluruh stasiun televisi secara langsung, bak kisah kematian seorang raja yang agung dan dicintai rakyatnya. Sebagai pejuang dan wartawan, Jusuf meninggal justru jauh dari liputan wartawan para juniornya yang sedang meliput kematian Soeharto dan pernak-perniknya.
:(