
Jakarta - Pelaku penembakan Lembaga Pemasyarakatn Cebongan, Seleman, Yogyakarta akhirnya terkuak, namun bukan berarti keresahan masyarakat berakhir. Pasalnya, aksi premanisme yang melibatkan oknum aparat masih terjadi, bahkan kian merajalela.
Penembakan terhadap Kepala Rumah Sakit Bhayangkara di Makassar oleh oknum polisi yang belum lama terjadi sebagai salah satu contohnya. Padahal, mata publik sebelumnya telah terbuka olah penembakan sporadis di Lapas Cembongan yang menewaskan empat penghuninya itu.
Berbagai pertanyaan pun timbul jika melihat realistis yang terjadi belakangan ini. Misalnya, mengapa aksi premanisme oleh oknum aparat meningkat? Dapatkah aksi-aksi tersebut dihentikan?.
Kriminolog asal Universitas Padjajaran (Unpad) Bandung, Yesmil Anwar tak menampik pristiwa-pristiwa penyimpang yang dilakoni oleh sejumlah oknum penegak hukum maupun oknum aparat keamanan. Menurut Yesmil, kejadian tersebut terjadi karena disebabkan beberapa faktor. Salah satunya yakni menurunya kwalitas penegakan hukum di indonesia. Dalam istilah hukum, Yesmil menyebut ada transisi sistem nilai hukum dimasyarakat yang menyebabkan anomie (salah satu penyebab terjadinya tindak atau prilaku kriminal).
"Kalau dilihat, terjadi perubahan di masyarakat, karena menurunnya kwalitas penegakan hukum. Kemudian terjadi transisi nilai, misalnya orang menggap itu baik, tapi justru itu bertentangan dengan aturan. Sedangkan UU masih tetap sama, tetapi tuntutan masyarakat berubah. Apalagi penegakan hukum dapat dikatakan sudah lumpuh. Itu bukan hanya di masyarakat, di penegakan hukum juga terjadi anomi, makanya seperti itu," kata Yesmil saat berbincang dengan CentroOne.com, Rabu (10/04/2013).
Lebih lanjut Yesmil mengatakan bahwa kekerasan itu terjadi karena kontrol sosial di masyarakat itu sendiri sudah tidak ada. Ditambah lagi, masyarakat dapat dikatakan tidak percaya pada sistim hukum dan penegakan hukum itu sendiri.
"Jadi teori labelingnya sudah hilang, karena ditenggarai penegakan hukum sudah lumpuh," jelasnya.
"Perubahan sosial yang cepat, dimana masyarakat tidak bisa selaras dengan keadaan, sehingga anomi, lalu timbul kekerasan," ditambahkan Yesmil.
Anehnya prilaku menyimpang pada oknum penegak hukum dan oknum keamanan itu justru di 'back up' oleh isntitusinya sendiri. Disitulah dapat dikatakan terjadi perubahan dan keanehan. Kekerasan di lapas Cembongan merupakan salah satu tanda jika hukum di Indonesia sudah menjadi hukum rimba.
"Seolah itu (penyerangan Lapas Cembongan) seperti pahlawan. Selalu terjadi pembenaran," ujarnya.
"Subtansi, struktur, dan budaya hukum kita masih dalam keadaan tidak baik, masih mengalami masalah," ditambahkan Yesmil.
Dalam penegakan hukum sendiri, kata Yesmil, ada beberapa faktor atau unsur, seperti aturan atau UU, penegak hukum, sarana dan prasarana, masyarakat, dan budaya hukum. Hal itu dapat mempengaruhi penegakan hukum jika berjalan sesuai dengan koridornya.
"Baik atau tidaknya, tergantung itu," imbuh Yesmil.
Agar kondisi kekerasan itu tak kembali terulang dikemudian hari, kata Yesmil, maka seluruh pihak harus melakukan pembenahan hukum. Yesmil tak menampik jika hirarki tertinggi, yakni Presiden harus campur tangan memulai pembenahan hukum. Kemudian, elit politik, tokoh agama, tokoh masyarakat, dan penegak hukum.
"Kalau (kekerasan) bisa dihentikan, dimulai dari atas. Ya kembali lagi ke Presiden," tegasnya.
Apa yang akan terjadi jika perubahan itu tak terjadi atau tidak dilakukan?
"Kita akan terus mengalami anomie. Maka orang akan mencari jalan masing-masing. NKRI akan pecah. Kalau (negara) nggak bisa (dilakukan perubahan atau perbaikan) ya jangan sebut negara," jawabnya.
Sementara, Anggota Komisi III, Taslim Chaniago menilai premanisme oleh aparat meningkat disebabkan beberapa faktor. Salah satunya adalah kurangnya pengawasan dari para pemimpinnya. Politisi PAN ini juga tak menampik jika premanisme muncul karena kurangnya disiplan aparat itu sendiri, serta rendahnya penegakan hukum pagi aparat yang melakukan pelanggaran disiplin.
"Menurut saya disebabkan oleh kurangnya disiplan aparat itu sendiri, rendahnya penegakan hukum pagi aparat yang melakukan pelanggaran di siplin, kurangnya pengawasan dari para pemimpinnya," ucap Taslim kepada Centroone.com.
"Saya kira itu bisa diberantas dengan jalan penegakan disiplin, memberantas judi di tengah masyarakat saja bisa seperti apa yang dilakukan oleh Kapolri Jend Sutanto waktu itu, tentu akan lebih mudah mengatasi premanisme di internal," ujarnya.
Lantas apa sikap Komisi III menyikapi hal tersebut?
"Sebagaimana fungsi DPR pengawasan maka komisi 3 akan selalu meningkat fungsi pengawasan sampai ke tingkat seperti langsung turun ke Polda-polda tidak hanya tingkat Kapolri," jawabnya.
Hal yang tak jauh berbeda juga diungkapkan Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW), Neta S Pane kepada CentroOne.com. Neta juga menegaskan pentingnya pengawasan dari para pemimpin institusi agar aksi premanisme aparat dapat dikurangi, bahkan dihilangkan. Neta juga tak menampik jika aksi backing membackingi preman yg dilakukan oknum aparat keamanan masih sangat marak, terutama di kota-kota besar. Jadi tak salah jika prilaku aparat yang melakukan tindak kriminal tak ubahnya seperti aksi preman-preman di jalanan. Lagi-lagi hal itu menunjukan jika penegakan hukum masih sangat rendah.
"Ini terjadi karena tidak adanya pengawasan maksimal dari atasan maupun institusi. Sementara hukuman yg dijatuhkan pun sangat rendah," ucap Neta.
"Aksi backing preman ini mulai menunjukkan fenomena yang mengkhawatirkan, yakni para preman yang dibacking oknum aparat mulai mengadu domba oknum aparat tersebut. Kasus Hugos Cafe di Jogja adalah satu gambaran betapa kelompok preman sudah berhasil mengadu domba antara oknum polisi dan oknum TNI, yang berbuntut pada penyerangan dan pembantaian di LP Sleman," ungkapnya.
Sebagai lembaga yang melindungi sejumlah saksi terkait penyerangan Lapas tersebut, LPSK memberi kritikan kepada langkah penegakan hukum. LPSK meneggarai jika aksi kekerasan aparat dari kesewenang-wenangan dan Arogansi.
"Aksi-aksi itu pasti dapat dihentikan kalau pimpinan tegas, adil dann mengedepankan penegakan hukum serta tidak menomer satukan orang-orang ber'kekhususan' itu," kata anggota LPSK, Lili Pintauli kepada CentroOne.com.
Menurut Lili, aparat penegak hukum sudah seyogyanya bersikap tindak seusai peraturan atau Undang-undang. Terlebih, selama ini tak dapat dipungkiri bahwa ada oknum-oknum aparat di Indonesia yang masih dapat 'dibeli'. Sehingga memberi putusan yang membuat masyarakat kecewa. Oleh sebab itu, LPSK hadir untuk memberikan bantuan kepada saksi atau para korban.
"LPSK perlu mengetahui posisi pemohon dalam kasus tersebut sebagai apa, maka berdasarkan kebutuhan dia lah lpsk memberi pelayanan perlindungan. Bentuk-bentuknya disesuaikan dengan kebutuhannya. Tugas LPSK, memberi perlindungan untuk mendapat rasa aman, nyaman, tidak merasakan intimidasi dan tekanan, dan juga memastikan secara psikis dan fisik siap memberi kesaksian, karena LPSK bertujuan membantu agar terang suatu peristiwa pidana," jelasnya.
Oleh: Rangga Tranggana - Editor: Vivi Irmawati