Tahun 1999 saya ditempatkan di Muara Wahau, sebuah daerah di pedalaman Kalimantan Timur. Waktu itu karena krismon dan kekacauan politik mengakibatkan pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur menjadi terbengkalai. Akses jalan ke samarinda sebagai ibukota provinsi benar-benar terputus, orang sana kalo ingin ke samarinda atau daerah lainnya hanya bisa naik perahu menyusuri anak sungai mahakam.
Dengan akses keluar yang terbatas tersebut maka otomatis semua kebutuhan bahan pokok di sana menjadi sangat mahal, termasuk juga kebutuhan utama kami yaitu bahan bakar solar untuk menggerakan semua alat berat yang kami miliki.
Kami yang ditugaskan perusahaan untuk membuka kembali jalan yang sempat terputus tersebut kesulitan dalam pemenuhan bahan bakar solar, padahal harga solar di muara wahau waktu itu berkisar antara 1000-1200 rupiah per liter, bandingkan dengan harga resmi nasional yang hanya Rp. 550,- ..!!
Selidik punya selidik ternyata solar tersebut lebih banyak diselundupkan ke malaysia yang harganya memang sangat mahal, subsidi bagi masyarakat sana hanya jadi mimpi waktu itu.
Waktu berganti, saya lebih banyak ditempatkan di daerah sumatera dan pemerintah mulai membuat kebijakan dualisme harga, ada solar industri dan solar subsidi. Dan tidak pernah terpikirkan sebelumnya, ternyata solar subsidi itu sangat mudah untuk diselewengkan..!
Ternyata banyak pengusaha jasa kontruksi merangkap juga jadi pengusaha SPBU, dan tentu saja dengan mudah kita membayangkan bagaimana alur proses pemenuhan bahan bakar solar mereka. Bagi yang tidak punya SPBU apakah mereka kesulitan? nampaknya tidak. Tinggal kerja sama dengan aparat maka kita mendapatkan solar dengan harga miring, masalah keamanan jangan ditanya, solar black market tersebut diangkut dengan tangki solar industri yang berwarna biru. Dan kalo liat di tv tentang pengerebekan para penimbun solar yang kadang hanya beberapa drum saja, maka saya hanya bisa tersenyum masam, terlalu kelas teri...!!!
Saya baru bicara di dunia kontruksi saja, coba di cari dunia industri lainnya. Sudah pasti berapa trilyun uang subsidi tersebut menguap karena dualisme harga tersebut