Rumah Candu, Hall of Opium, Rabu (15/2/2012) siang. Bangunan seluas 5.600 meter persegi itu terletak di pertemuan perbatasan Thailand-Myanmar-Laos, di tepi Sungai Mekhong, di kota kecil Chiang Saen, sekitar 60 kilometer dari kota Provinsi Chiang Rai, Thailand Utara.
Rumah ini bukan sekadar museum, tetapi juga rumah edukasi, dan inspirasi melawan candu. Bak mengunjungi rumah hantu, pengunjung dibawa menyusur lorong redup bercahaya merah bata, berlantai merah bata, dengan dinding berelief panjang yang berkisah tentang penderitaan mereka yang terjerat narkoba.
Sebagian tubuh mereka terpahat tinggal rangka. Diujung lorong, dengan cahaya ruang yang masih redup, sampailah pengunjung di lobi. Beberapa dinding segitiga berdiri diterangi cahaya kuning pucat.
Seorang pemandu menjelaskan tentang isi dan seluruh ruang di Rumah Candu. Dari tempat itu, pengunjung berjalan menuju ruang berkubah dengan dinding-dinding yang dilengkapi perangkat multimedia. Tiba-tiba salah satu dinding menyala. Layar tipis menampakkan salah satu kota di Sumeria.
Lewat pengeras suara yang merata ke seluruh ruang berkubah itu, berkisah lah dinding tersebut tentang candu yang dikonsumsi bangsa Sumeria, Yunani, Roma, dan Mesir kuno ribuan tahun yang lalu. Mereka mengonsumsi candu sebagai obat dan sebagai bagian dari upacara spiritual mereka.
Selanjutnya, dari dinding ke dinding, dari ruang ke ruang, perangkat multi media, dan peraga lainnya menjelaskan tentang sejarah candu dari Barat hingga ke Timur, perang candu Inggris-China pada pertengahan abad 19, candu di Thailand, candu yang berkembang sebagai obat di abad ke 19 sampai meluasnya penyalahgunaan dan perdagangan gelap narkoba. Banyaknya korban yang berjatuhan kemudian menimbulkan reaksi keras negara-negara melawan sindikat narkoba.
Seperti halnya museum, rumah candu ini memiliki koleksi puluhan alat penghisap candu dari yang paling mewah dan rumit terbuat dari gading, perak, dan emas berukir halus, sampai yang paling tua dan sederhana dari kayu.
Dengan sentuhan jari tangan pada tombol otomatis, munculah tayangan film tentang proses membuat candu, kegiatan perdagangan gelap dan korban-korban narkoba, termasuk perang melawan para sindikat narkoba.
Rumah candu yang dibangun tahun 2005 dengan investasi 10 juta dollar AS dan direnovasi tahun 2006 ini, memberi lebih banyak ruang pada kisah tentang perang candu Inggris-China pada pertengahan abad 19.
Tampilan pada bagian ini pun lebih kaya. Selain manekin-manekin dan tayangan tentang perang candu, di salah satu ruang dibuat tiruan rumah-rumah madat China berlantai dua. Rumah-rumah madat ini berlatar negeri China dan kawasan pecinan yang menyebar di Asia Tenggara, termasuk di Pulau Jawa.
Di lemari kaca terpasang potret-potret lama, sketsa dan lukisan para pemadat di rumah madat. Salah satu potret lama tersebut diambil di Batavia, Jakarta!
Rumah candu yang didanai oleh bantuan keuangan pemerintah Jepang dan Kementerian Pariwisata Thailand ini juga memiliki ruang studi kasus, ruang refleksi, dan ruang inspirasi yang mengajak pengunjung menjawab pertanyaan, "Apa yang bisa aku lakukan untuk ikut menanggulangi bahaya narkoba?"
Perang candu
Tahun 3400 sebelum Masehi, di Mesopotamia para petani telah menanam candu yang dikonsumsi sebagai obat maupun untuk cemilan pelepas lelah atau bersenang-senang. Tahun 1600, candu mulai meluas ke Persia dan India. Para pedagang dari Portugis lalu membawa candu dari India ke China.
Seratus tahun kemudian, para pedagang Belanda mengikuti jejak para pedagang Portugis. Mereka bukan saja membawa candu dan pipa-pipa penghisap candu dari India ke China, tetapi juga ke Asia Tenggara.
Meluasnya dampak negatif candu di China membuat Kaisar Yung Cheng tahun 1729, melarang rakyatnya mengonsumsi candu, kecuali untuk pengobatan. Tetapi hal itu tidak membuat ekspor candu dari India ke China surut. Buktinya, tahun 1767 kongsi dagang British East India Co (BEC) --pesaing kongsi dagang VOC-- mengekspor candu ke China sampai 2000 peti dalam waktu setahun. Satu peti berisi 60 kilogram candu.
Meluasnya candu yang dibawa kongsi dagang Eropa ke Asia Tenggara, terutama Thailand, membuat Raja Thailand, Rama II tahun 1811, melarang rakyatnya mengonsumsi candu. Bahkan pewarisnya, Raja Rama III menetapkan hukuman mati bagi pengedar candu, tetapi bisa dibilang gagal karena kuatnya lilitan pasar candu.
Tahun 1839-1842, pecah Perang Candu. Inggris akhirnya mengalahkan China dalam perang tersebut. China dipaksa tetap membuka jalur perdagangan candu antara lain dengan menyerahkan Hongkong. Inggris lalu memanfaatkan Hongkong sebagai gudang transit candu dari India ke China.
Tahun 1856-1860 pecah Perang Candu Kedua. Inggris dan Perancis bersekutu memaksa China membuka pasar candu selebar-lebarnya. Tak ingin devisa-nya terkuras, China akhirnya juga menanam candu.
Langkah China memaksa Inggris dan Perancis mendekatkan pasar candu di China dengan mengendalikan ladang candu di kawasan Segi Tiga Emas, di perbatasan Thailand-Myanmar-Laos. Tetapi setelah Myanmar mendapat kemerdekaan dari Inggris tahun 1948, monopoli kedua negara Eropa di ladang candu Segi Tiga Emas berakhir.
bersambung...