oleh Gitta-chan
Mata anak itu menatap lurus ke arah wanita paruh baya yang berwajah cantik dan tinggi itu. Anak itu terpaku menatap sosoknya yang bagaikan bayangan. Bayangan kegelapan. Rambut coklat tua wanita tersebut di ikat sederhana ke belakang. Kacamata minusnya sedikit berembun, membuat matanya yang berwarna merah samar-samar terlihat. Mata merah yang jarang di miliki orang kebanyakan. Wanita itu terus memotong-motong tanpa henti dengan wajah bahagia. Wajahnya yang putih mengembangkan senyum yang berbeda dari biasanya. Senyum yang sangat spesial. Terlihat dari balik kacamatanya, matanya yang berwarna merah menyala-nyala bagaikan kobaran api.
Cahaya remang-remang lampu ruangan tersebut sepertinya tak bisa menerangi ruangan tersebut. Semilir angin yang dingin dari lubang ventilasi berembuk lembut melewati bahu anak tersebut. Suara potongan itu hanya berupa suara “duk” kecil yang sama sekali tak menarik. Namun hasil dari potongan tersebut sangatlah menarik. Potongan-potongan tersebut menjadi dadu-dadu kecil yang sudah tak di ketahui bentuk awalnya. Kubus simetris yang berlumuran darah dengan sesuatu berwarna putih yang mencuat dari dalamnya. Tulang.
Anak tersebut berdiri terpaku. Rambut coklat panjangnya di sibakan ke belakang. Secara fisik, anak tersebut benar-benar serupa dengan wanita tersebut. Mata mereka sama-sama berwarna merah, dan rambut mereka berwarna coklat lurus bercahaya yang sangat indah. Namun entah apa yang ada di dalam diri mereka masing-masing. Entah sama maupun tidak.
Tiba-tiba anak perempuan itu bertanya dengan wajah datar ke pada wanita tersebut. “Mama, mama sedang apa?” tanya anak itu polos masih menatap ke arah wanita itu, sedangkan wanita tersebut masih sibuk dengan pekerjaan memotong-motongnya.
Wanita tersebut berhenti memotong. Pisau khusus yang sangat tajam di tangan kanannya masih ia cengkeram erat. Ia terduduk di sebuah bangku kecil bercat hitam, melepas lelah dan penat beberapa saat, kemudian menoleh ke arah anaknya. “Mama sedang memotong, Sayang.” jawabnya lugas seraya tersenyum. Senyumnya yang untuk kesekian kali lagi-lagi menghiasi bibirnya, namun senyum yang berbeda dengan senyum ketika ia sedang memotong.
Ia menatap tubuhnya sebentar. Baju putih terusannya masih putih tak bernoda. Sama sekali tak terlihat bercak darah di tubuhnya, maupun di tangannya. “Ada apa?”
“Apa itu papa?” tanya anak itu sambil menunjuk potongan-potongan dadu tersebut. Wanita tersebut tersenyum, kemudian mengangguk.
Anak tersebut hanya diam beberapa saat. Wajahnya masih sama seperti tadi. Datar. Kemudian ia berjongkok, dan memeluk lututnya. Sama sekali tak terlihat kegentaran pada rona wajahnya. Ia hanya menatap hampa dengan raut wajah kosong seperti yang selalu ia lakukan. Ia mengalihkan pandangan, kemudian menatap baik-baik dadu-dadu tersebut.
Wanita tersebut mengambil sehelai kain, lalu ia lapkan ke wajahnya yang putih mulus. Rambutnya yang hitam di biarkan terurai. Sesekali ia menatap ke arah anaknya, masih dengan senyum manis di bibirnya. Kakinya di biarkan terayun ke depan dan kebelakang, layaknya anak gadis umur 12 tahun yang tengah bermain ayunan.
Anak itu berhenti menatap dadu tersebut, kemudian mengalihkan pandangannya lagi ke arah mamanya. “Kenapa mama memotong papa?” tanya anak tersebut. Nada bicaranya bukan menyorotkan ketakutan maupun kemarahan. Nada bicaranya lebih ke arah keingin tahuan. Keingin tahuan anak kecil umur 5 tahun akan alasan dadu-dadu kecil di depannya itu.
Wanita tersebut berhenti mengelap, kemudian menatap anaknya dengan tatapan lembut. “Karena mama menyukainya.” jawab wanita itu seraya beranjak dari bangku kecil di belakangnya dan berjongkok ke samping anaknya.
Anak itu menatap ibunya. “Apa memotong itu menyenangkan?”
“Tidak hanya memotong. Menyayat, menguliti, dan menusuk juga menyenangkan.” ujar ibunya singkat, sambil merogoh-rogoh sebuah kantung plastik di saku rok kanannya.
“Kenapa menyenangkan?”
Wanita tersebut membuka plastik hitam tersebut, sambil memasukkan potongan-potongan dadu di depannya dengan sarung tangan putih karet. Raut wajahnya seakan-akan menampilkan kebahagian yang tak terlampaui. Kebahagian tak terbatas yang berwarna hitam pekat. “Rasanya sangat mendebarkan.”
Anak itu membantu ibunya. Ia mengambil beberapa dadu di dekatnya, kemudian memasukkannya ke dalam kantung plastik itu dengan tangannya yang berwarna putih pucat dan mungil. Tangan itu kini berwarna merah. “Apa ini pekerjaan mama?”
Wanita tersebut mengucapkan “terima kasih” singkat, kemudian menjawab. “Tidak. Ini hobi mama.”
Masih membantu ibunya, anak tersebut bertanya lagi. Kali ini dengan sorot mata agak bingung yang jarang-jarang ia keluarkan. Namun tetap saja dengan wajah datar seperti biasa. “Hobi? Kalau begitu, apa pekerjaan mama?”
Wanita itu diam sebentar, kemudian menatap anaknya sambil tersenyum. “Rahasia,” ucapnya misterius. “tetapi yang pasti, pekerjaan mama lebih buruk daripada hobi mama ini.” lanjutnya kini sambil kembali memasukkan dadu-dadu. Wanita tersebut memang memilik pekerjaan yang lebih buruk dari hobinya. Ya. Pekerjaan yang sangat kelam. Pekerjaan yang bahkan tak pernah di bayangkan pembunuh bayaran profesional sekali pun.
“Apa mama tak takut dosa?”
Wanita tersebut menatap kosong dadu-dadu di depannya. Matanya sedikit menurun, sayu. “Tentu saja mama takut dosa. Tetapi kalau dosa, sejak kecil pun mama sudah berdosa,” matanya menerawang. Matanya yang berwarna merah mendadak menjadi kelam. “Jadi ya, mau bagaimana lagi?”
“Mama profesional.” ucap anak tersebut tiba-tiba. Seakan-akan mengacuhkan perkataan ibunya tadi.
“Kenapa?”
-bersambung-